http://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=901&ik=31
Fatwa Golput, Perlukah? Sabtu 13 Desember 2008, Jam: 9:13:00 Muncul wacana baru untuk memfatwaharamkan golput (sikap tidak menggunakan hak pilih) pada pemilu. Hidayat Nurwahid, politisi Partai Keadilan Sejahtera yang kini memimpin MPR, mengajukan usulan itu kepada majelis ulama Indonesia (MUI). Salah satu alasannya, sikap apatis (tidak mau peduli) di kalangan rakyat terhadap pemilu saat ini cenderung menguat. Kita bersyukur karena MUI kali ini tidak langsung latah untuk ikut masuk ke persoalan yang sangat kental dengan nuansa politis seperti masalah golput. "Jangan-jangan nanti ada yang minta MUI menfatwakan angin," kata KH Amidhan, Ketua MUI. Ia bermaksud menggambarkan sikap MUI yang hati-hati dan lebih dulu akan mempelajarinya. Usulan tentang fatwa haram bagi golput tidak dapat dilepaskan dari ajakan mantan presiden Abdurrahman Wahid kepada warga NU untuk tidak usah mencoblos pada pemilu kali ini. Ajakan golput yang disampaikan Gus Dur berulang-ulang itu terkait kekalahannya dalam konflik internal PKB dengan keponakan sendiri, Muhaimin Iskandar. Ajakan semacam itu sangat kita sayangkan. Apalagi disampaikan oleh seorang Gus Dur, tokoh NU yang oleh banyak pihak diharapkan mengambil posisi sebagai bapak bangsa, bukan sekadar politisi. Lebih disayangkan lagi, kemudian sama sekali tidak ada respons dari aparat dan lembaga-lembaga pelaksana pemilu terkait ajakan golput semacam itu. Padahal UU Pemilu mengancamkan pidana kepada mereka yang secara terbuka mengajak masyarakat untuk golput. Apapun alasannya, apalagi bila itu lebih bersifat pribadi. Dalam pandangan kami, sikap golput bisa kita pahami, tetapi mengajak rakyat menjadi golput jelas tidak bijaksana. Dalam konteks demokrasi, pemilu adalah kesempatan bagi setiap warga negara untuk ikut menentukan jalannya pengelolaan negara selama lima tahun ke depan. Artinya, mereka yang golput telah membuang kesempatan itu dan konsekuensinya jangan ikut menuntut pertanggungjawaban pemerintahan. Meskipun demikian, menggunakan otoritas agama seperti MUI untuk mengharamkan golput juga bukan cara yang tepat. Fatwa akan menjadi jalan pintas yang secara substansial tidak mengatasi persoalan. Kewibawaan MUI malah akan jadi taruhan ketika, misalnya, fatwa kemudian tidak dipatuhi. Kita sependapat, apatisme rakyat cenderung meningkat, antara lain tercermin pada tingginya angka golput di banyak pilkada. Pada dasarnya apatisme terhadap politik, termasuk pemilu, mencerminkan akumulasi kekecewaaan rakyat ketika kuasa kehilangan makna karena tak kunjung melahirkan kesejahteraan. Ironisnya, banyak sikap dan perilaku pemangku kepentingan politik, seperti parpol, politisi, pejabat publik yang malah menyakiti atau mengkhianati kepercayaan rakyat. Dalam keadaan seperti ini, kualitas politik termasuk pemilu hanya bisa ditingkatkan melalui koreksi, evaluasi, dan pembenahan diri para pelakunya. Bukan malah melempar tanggungjawab kepada ulama dengan minta fatwa haram golput atau fatwa wajib ikut pemilu.**