Suatu pernyataan yang sifatnya dikatakan atau ditulis mau
tidak mau bersifat mengikat, pasti dan tidak relatif. Tidak akan mungkin
sesuatu yang sifatnya sudah dikatakan atau ditulis bersifat tidak mengikat dan
relatif karena mau tidak mau sudah mengandung judgement (penghakiman) di
dalamnya. Mau kumpulan perkataan apapun itu dinamakan relatif, liberal, dlsb
sekalipun tetap tidak bisa lepas dari kondisi bahwa; Suatu pernyataan yang
sifatnya dikatakan atau ditulis mau tidak mau bersifat mengikat, pasti dan tidak
relatif.
Suatu hal masih bisa bersifat tidak mengikat dan relatif
bilamana masih bersifat pengalaman yang sifatnya random sampling yang belum
diberi kesimpulan.
Seperti dalam tulisan saya;…
Titik Awal dan Titik Akhir
Ditulis oleh : Vincent Liong dan Anton Widjojo
Tempat, Hari, dan Tanggal : Jakarta, Selasa, 4 November 2008
Gara-gara ada titik, selanjutnya orang belajar membuat garis. Setelah bisa
membuat garis, lalu membuat gambar di bidang yang datar; misalnya dengan
membuat
tattoo di tangan atau melukis di tembok goa, untuk melukiskan hal-hal yang dia
kenal dalam hidupnya. Akibat bisa menggambar, selanjutnya orang bisa
merencanakan untuk membangun
bangunan ruang.
Gara-gara duduk di atas kompor lima menit terasa satu jam, dan duduk di atas
pangkuan wanita satu jam terasa lima menit; maka terdefinisilah dimensi waktu
yang relatif. Gara-gara waktu dipahami sebagai dimensi, maka ditemukanlah hukum
kekekalan energi.
Setelah adanya pemahaman ‘kompatiologi’ bahwa yang tadinya titik tanpa
dimensi itu, ketika dia memiliki ‘range’(jangkauan dan skala) maka dia
menjadi berdimensi; yaitu berupa garis sehingga kita kenal bahwa garis itu
adalah satu dimensi. Ini dapat dikembangkan terus diharapkan menjadi
dimensi-dimensi selanjutnya.
Ada hal-hal yang sifatnya hasil akhir yang kita anggap pasti. Ketika kita
melihat ada suatu garis kita menganggapnya sebagai suatu kepastian, seperti
kita
melihat; gambar di permukaan bidang datar, melihat sebuah bangunan ruang, atau
tepat jam berapakah detik ini…
Bagaimana kalau kita mengamati situasi di sekitar kita dengan sudutpandang yang
berbeda. Bilamana diri kita adalah sebuah titik; kita bisa menjadi bagian dari
suatu garis, bagian dari suatu gambar, bagian dari suatu bangunan ruang, atau
bagian dari perjalanan waktu; atau bagian dari kesemuanya… Apa yang akan
terjadi ?
Lalu mengenai point agama…
Manusia memiliki kemampuan mengukur hal-hal di sekitarnya, lalu
mengambil pilihan yang tidak terbatas hanya untuk sekedar ikut arus adalah
seperti kemampuan pencipta yang maha tahu, maha bisa, dlsb.
Masalahnya manusia itu makhluk yang bisa dikatakan mendekati
100% Allah tetapi tetap terikat pada keterbatasan 100% Manusia. Ketika seorang
manusia menentukan suatu keinginan dan berusaha mencapainya dengan segala
kemahaannya maka keinginan itu akan tercapai tetapi selalu saja ada yang kurang
sempurna sehingga pilihan apapun yang terkabul tidak akan pernah bisa memuaskan.
Agama (yang sang Penciptanya bukan buatan manusia)
dibutuhkan manusia agar dalam menjalani hidupnya manusia bisa selalu menyadari
bahwa selama dirinya masih hidup dalam ruang dan waktu maka manusia itu tidak
akan bisa lepas dari distorsi keterbatasan manusiawinya. Distorsi kemanusiaan
itu tidak bisa dihilangkan, atau dilepaskan; yang bisa dilakukan adalah
disadari bahwa distorsi kemanusiaan itu akan tetap melekat selama manusia itu
masih hidup.
Terjadi penyelewengan-penyelewengan dimana manusia membuat
konsep penciptanya sendiri yang selalu sesuai dengan keinginan manusiawinya,
hingga akhirnya pencipta yang ditemukannya adalah berhala ciptaan dirinya
sendiri yang memiliki sifat dan kemampuan yang setara dengan manusia. Pencipta
yang sekedar berhala ciptaan seorang manusia tentu akan mengecewakan si manusia
karena tidak lebih dari manusia itu sendiri, hingga akhirnya penyembah berhala
itu kecewa dan setelah itu mulai membenci konsep-konsep keTuhanan karena tidak
menemukan Tuhan yang Esa. Kemudian ia menyamakan berbagai agama yang
penciptanya bisa buatan manusia atau bukan buatan manusia bahwa semuanya sama
saja…
Tentunya seorang manusia yang berotak kecil ini tidak akan
mungkin memahami pikiran sang pencipta.
Ttd,Vincent Liong
--- On Sun, 14/12/08, Deby Sartika <debysart...@yahoo.com> wrote:
From: Deby Sartika <debysart...@yahoo.com>
Subject: “Semua adalah relatif” Re: Kebenaran"
To: cikeas@yahoogroups.com
Cc: "Ahmadi Agung" <ag...@kaochem.co.id>
Received: Sunday, 14 December, 2008, 6:52 AM
Mari kita disuksikan di milis Cikeas
Ahmadi Agung <ag...@kaochem.co.id> wrote: Oleh : Redaksi 14 Oct 2008 - 6:30
pm
oleh: Hamid Fahmi Zarkasy *
Untuk menguasai agama tidak perlu beragama, demikian kata kaum liberal. Itulah
sebabnya mereka membuat
“teologi-teologi” baru. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu
logikanya
“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman
postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika.
Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai
undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa
partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat
manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan,
bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang
menilainya.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir
Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan
mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang
tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan
persahabatan dan persaudaraan
tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran
dari pada persahabatan.
Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai
agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin
logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka
lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan
dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi”
pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent
Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global di
ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana
konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka
berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran
itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan
menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum
tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu
jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar.
Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak
Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu
tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum
munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah
kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu
“haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini.
Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus
dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar
atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat syetan
Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu
itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama
anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.
......................
Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS)
_______________________ Regards" < D | e | b | y >
Get the world's best email - http://nz.mail.yahoo.com/