=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun Spirit, Demokrasi, 
           Nasionalisme, Kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism Democration & Pruralism Indonesia Quotient] 
MEMPERINGATI 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL, 20 Mei 1908 
MERAYAKAN 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA, 28 Oktober 1928 
MERAYAKAN 60 TAHUN DEKLARASI HAK ASASI MANUSIA-PBB, 10 Desember 1948 
  
Gelombang Balik Korupsi Politik Indonesia 
Oleh : J. Kristiadi 
Selasa, 16 Desember 2008 | 00:07 WIB 
Semakin mendekati bulan April 2009, semakin nyaring suara rakyat yang 
menyatakan ketidakpedulian terhadap pemilu. Pemilu yang awalnya disambut dengan 
penuh gairah dan harapan perubahan dikhawatirkan hanya penuh tebaran retorika 
ikrar politik para elite. 
Sikap sinikal dan skeptik masyarakat terhadap pemilu tersebut tidak muncul 
tiba-tiba. Gairah masyarakat menyambut pemilu dapat disaksikan pada Pemilu 
1999. Pemilu pertama yang demokratis sejak runtuhnya Orde Baru disambut rakyat 
dengan bergelora dan antusias. Ekspektasi terjadinya perbaikan nasib sedemikian 
besar sehingga masyarakat bersedia membiayai kampanye parpol dengan membuat 
kaus sendiri, mendirikan posko, membeli bensin, dan lainnya. 
Akan tetapi, sayangnya, pemilu berikutnya, tahun 2004 serta ratusan pemilihan 
kepala daerah langsung yang dimulai sejak juni 2005, memunculkan perubahan 
dramatis. Politik uang menggantikan politik cita-cita. Gelombang korupsi 
politik semakin besar, sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi kontestasi 
politik di tingkat lokal. 
Para elite politik berlomba- lomba mengumpulkan dana politik yang tidak dapat 
dikontrol. Kekuasaan yang diperolehnya dengan janji-janji muluk dikonversi 
menjadi kekayaan pribadi dan kelompok untuk biaya mempertahankan dan 
mengukuhkan kekuasaan. 
Penyalahgunaan wewenang menjadi berkelanjutan. Pada tataran masyarakat, 
gelombang korupsi kekuasaan telah menggulung dan meluluhlantakkan harapan dan 
impian rakyat untuk hidup lebih baik. Akibatnya, rakyat menjadi frustrasi, 
kecewa, dan merasa dibohongi. 
Kepercayaan yang diberikan kepada para elite politik dengan harapan memberikan 
perbaikan hidup ternyata hanya menjadi mimpi buruk. 
Luka batin tidak mudah disembuhkan atau dinetralisasi hanya dengan memberikan 
penjelasan bahwa demokrasi perlu kesabaran, mengingat yang dibangun bukan hanya 
struktur politik, melainkan juga peradaban baru. 
Lebih-lebih masyarakat setiap hari dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Rakyat 
juga melihat bagaimana para penguasa menghamburkan uang negara. Angka ”golput” 
yang tinggi mencerminkan kekecewaan mereka. 
Gelombang balik 
Sikap skeptis masyarakat berbanding terbalik dengan nafsu para caleg yang 
”menjajakan” dirinya melalui berbagai poster dan spanduk yang penuh percaya 
diri. 
Namun, di balik sikap yang penuh percaya diri itu, kita juga perlu tahu bahwa 
para caleg tersebut sangat kecewa atas perilaku masyarakat yang sangat 
berorientasi pada uang. 
Setiap upaya untuk mendekati calon pemilih potensial selalu dibarengi dengan 
tuntutan penyediaan dana, termasuk perjanjian sekelompok orang yang bersedia 
menggalang wilayah tertentu dengan budget puluhan hingga ratusan juta rupiah. 
Kalau transaksi politik tersebut ditolak, tawaran akan disampaikan kepada caleg 
lain. Intinya, semua harus serba duit. 
Para caleg merasa seperti menjadi ”anjungan tunai mandiri” (ATM). Bahkan, 
sebagian caleg merasakan tuntutan konstituen sebagai teror yang menakutkan 
sehingga mereka enggan sering berkunjung ke daerah pemilihannya. Mereka bahkan 
menganggap sikap sebagian masyarakat sudah keterlaluan dan kehilangan rasa 
kepatutan. 
Perilaku masyarakat yang dianggap terlalu berorientasi kepada uang itu 
ditengarai sebagai gelombang balik korupsi politik yang telah dilakukan secara 
blakblakan oleh para elite politik. Sikap itu bisa jadi merupakan resultante 
perilaku koruptif para pemegang kekuasaan yang telah melupakan sumber kekuasaan 
itu sendiri, yaitu rakyat. 
Rendahnya tingkat kredibilitas parpol dan lembaga perwakilan rakyat menunjukkan 
bahwa politisi bukan orang yang mulia, tetapi juga sosok yang lebih banyak 
mementingkan dirinya atau kelompoknya. 
Gelombang korupsi politik tidak hanya akan melanda para penguasa, tetapi ia 
juga dapat menenggelamkan bangunan demokrasi tatanan politik yang beradab. 
Keganasannya telah terbukti meruntuhkan kredibilitas tidak saja lembaga-lembaga 
politik, tetapi juga lembaga penegak hukum dan peradilan. 
Kalau dibiarkan, dikhawatirkan politik Indonesia akan dikuasai mereka yang 
mempunyai dana besar. Hitungan kasar akan menemukan angka sekitar Rp 3,5 
triliun apabila harga setiap anggota parlemen memerlukan dana Rp 5 miliar-Rp 10 
miliar. 
Konstatasi dramatis dan kekhawatiran di atas bukan sikap yang pesimistis. 
Ulasan di atas lebih didorong oleh semangat agar Pemilu 2009 lebih bermakna. 
Perjuangan melawan korupsi politik harus menjadi komitmen bersama, terutama 
bagi para calon wakil rakyat periode 2009-2014. 
Jangan biarkan rakyat bertambah kecewa terus-menerus. Salah satu cara yang 
dapat dilakukan adalah segera melakukan kontrol ketat terhadap keuangan parpol, 
terutama dana kampanye mereka. 
Parpol juga dapat memperdebatkan dana kampanye lawan politik mereka, khususnya 
budget yang dipergunakan untuk iklan politik yang diyakini bakal sangat besar. 
---- 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
  
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke