=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun Spirit, Demokrasi, 
           Nasionalisme, Kebangsaan dan pruralisme  Indonesia ."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism Democration & Pruralism Indonesia Quotient] 
MEMPERINGATI 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL, 20 Mei 1908 
MERAYAKAN 80 TAHUN SUMPAH PEMUDA, 28 Oktober 1928 
MERAYAKAN 60 TAHUN DEKLARASI HAK ASASI MANUSIA-PBB, 10 Desember 1948 

Kesetiakawanan di Tengah Krisis Global 
Jumat, 19 Desember 2008 | 00:25 WIB 
Oleh : Bambang W Soeharto 
Setelah mengampanyekan jargon ”There is No Day Without Solidarity” (2007), 
tahun ini peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional bertema ”Bersama dan 
Peduli”. 
Tema itu dimaksudkan untuk membangkitkan nilai-nilai solidaritas dalam 
kehidupan berbangsa-bernegara. Sebab, kebersamaan sebagai jati diri bangsa amat 
diperlukan guna menghadapi tiap tantangan kebangsaan. 
Perwujudan kesejahteraan rakyat di tengah krisis global saat ini, merupakan 
tantangan yang harus dihadapi bersama. Dalam situasi yang tidak menguntungkan 
itu, tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menggerakkan program-program 
pembangunan yang dijiwai semangat kesetiakawanan sosial nasional. 
Terkikis zaman 
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang 
dimiliki bangsa Indonesia . Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), 
kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest 
Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran 
kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat 
mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”. 
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor 
penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan 
mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN 
sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam 
mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang 
dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi 
senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa. 
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat 
ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela 
kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang 
mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas 
belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, 
maupun personal. 
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya 
kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang 
memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat 
dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan. 
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus 
nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena 
globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau 
tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat. 
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat 
kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme. 
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para 
kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan 
ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara 
masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan. 
Menemukan kembali 
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat 
dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah 
saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka 
masalah kebangsaan. 
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand 
solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity 
adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, 
tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah 
upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, 
program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang 
diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses 
permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana 
memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual 
ikannya (akses market). 
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di 
permukiman miskin membantu satu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian 
sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di 
tingkat negara maupun kehidupan masyarakat. 
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan 
jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian 
dalam menghadapi tantangan kebangsaan. Seperti apa yang selalu dikatakan Bung 
Karno samen bundeling van alle krachten van de natie. [Bambang W Soeharto Ketua 
Panitia HKSN 2008; Pimpinan Harian Dewan Koperasi Indonesia ] 
------ 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! “ 
  
Best regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke