Refleksi: Panglima perang yang tidak pernah merasa kalah, seklipun kenyataannya 
tidak menang peperangan artinya  kaputt!

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/22/WAW/mbm.20081222.WAW129032.id.html

44/XXXVII 22 Desember 2008

Megawati Soekarnoputri:
Saya Tidak Pernah Merasa Kalah
PELUNCURAN buku Mereka Bicara Mega di Hotel Sultan, Jakarta, awal Desember 
lalu, semarak. Ratusan orang memenuhi ballroom, termasuk Sri Sultan Hamengku 
Buwono X, yang spesial datang dari Yogyakarta. Namun, "sripanggung" hari itu 
tentulah Megawati Soekarnoputri, dan buku yang diluncurkan merupakan kumpulan 
tulisan kolega dan tokoh politik tentang diri Ketua Umum Partai Demokrasi 
Indonesia Perjuangan itu. 

Menjelang Pemilihan Umum 2009, Megawati makin membuka diri. Selama ini, ketika 
calon presiden lain gencar membangun citra lewat iklan dan media, Megawati 
banyak diam sehingga tmbul kesan tertutup-tentu tak bagus bagi calon pemimpin. 

Kesan itu mulai berubah. Perempuan 61 tahun itu kini lebih sering memberikan 
wawancara media. Bersama keluarga, ia tampil dalam acara televisi. Rabu pekan 
lalu, ia menerima Tempo di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. 

Didahului makan malam bersama Taufiq Kiemas, suami Megawati, dan Ketua PDI 
Perjuangan Jakarta, Adang Ruchiatna, dengan menu nasi goreng, sate ayam, 
lontong, ayam goreng, dan kerupuk udang, Tempo kemudian menemui Megawati di 
ruang tamu yang disekat partisi bertatahkan ayat suci Al-Quran. Hampir dua jam, 
ibu tiga anak itu menceritakan latar belakang pencalonannya sebagai presiden, 
dan berbagai isu menyangkut dirinya. 

Megawati malam itu bergaun terusan bermotif mawar kecil berwarna merah dan 
biru. Ia menjawab lancar pertanyaan, meski sedang flu. Suaranya terdengar 
sedikit serak dan sengau. Selama wawancara, tujuh kali ia menyeka hidung dengan 
tisu, dan empat kali batuk kecil. Beberapa kali pula ia menyesap teh dari 
cangkir putih untuk memulihkan suaranya. 

Apa yang mendorong Anda maju kembali sebagai calon presiden? 


  Dalam kongres di Bali 2005 ditetapkan, ketua umum terpilih otomatis menjadi 
calon presiden dari PDI Perjuangan. Lalu kami rapat kerja nasional. Di situ 
keputusan diperteguh dengan permintaan dari seluruh jajaran struktur partai. 
Kemudian diulangi lagi dalam rapat koordinasi nasional. Akhirnya, saya 
bersedia. Bukan sombong, jabatan (presiden) itu pernah saya emban. Yang mau 
saya lihat adalah bagaimana kesiapan Partai. Sebab, tanpa persiapan lebih baik, 
terutama dari pengalaman 2004, kami bakal menghadapi kesulitan besar. 
Sejumlah pengurus DPP PDI Perjuangan terkejut karena tak menduga jawaban Anda 
secepat itu? 


  Orang boleh saja ngomong, bersuara. Tapi kan yang ditanya saya? Nanti kalau 
saya tidak cepat menjawab, bisa saja saya dikatakan peragu. Dalam rapat 
koordinasi nasional, terkumpul seluruh aspirasi warga PDI Perjuangan yang ada 
dalam struktur partai, juga yang duduk di legislatif dan eksekutif. Saya 
melihat, kita perlu persepsi yang sama, baik di jajaran eksekutif, legislatif, 
maupun struktur partai. Ini tantangan, karena mengorganisasi 16 ribu peserta 
bukan hal mudah. Kita harus bisa mendisiplinkan mereka. Mereka datang, dan 
semua pendanaannya dilakukan gotong-royong. Menurut saya, sebagai Ketua Umum 
PDI Perjuangan, sekarang kondisi Partai sudah jauh lebih baik daripada 2004.
Pada 2004 ada 40 juta orang yang memilih Anda. Anda yakin mereka masih 
mendukung pada 2009 nanti? 


  Sampai sekarang pun saya tak pernah menyatakan kalah. Waktu itu media 
menyatakan saya tidak kesatria, tidak menyatakan kekalahan. Saya bilang, aduh, 
ini orang ngomong kok enak saja, ya. Sebagai pejuang, tak pernah saya merasa 
kalah. Ini untuk memberikan semangat ke warga saya. Saya menyatakan bahwa saya 
kurang suara. Mari kita rebut kembali. Saya tahulah sebetulnya permainan yang 
dilakukan pada waktu itu. 
Permainan apa? Kalau ada kecurangan, kenapa Anda tidak protes? 


  Begini, ya. Pemilihan langsung itu saya yang membuat. Waktu itu, sebagai 
presiden, saya dihadapkan pada pilihan: menguntungkan PDI Perjuangan-yang 
posisi puncaknya dengan sendirinya akan saya raih lagi sebagai presiden-atau 
memberikan kepada nation ini suatu hal yang konkret. Bahwa pemilu langsung bisa 
dilakukan di Indonesia. Waktu itu, media dan pengamat banyak yang bilang pemilu 
ini tidak akan berhasil, berdarah-darah, mungkin mundur, dan sebagainya. 
Kenapa, sih, komentar seperti itu yang harus dibesar-besarkan? Kapan kita akan 
maju kalau hanya negative thinking yang disebarkan, yang membuat rakyat 
akhirnya takut dan ragu? Makanya saya pikir, ya sudah, bismillah, pemilu 
langsung harus dilakukan. Waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan 
saya sudah entah ke mana. Betul, kan? Di suatu pemerintahan, yang namanya 
menteri itu seharusnya ada di posnya. Saya bilang ingin menyukseskan pemilu, 
bukan untuk saya, tapi untuk republik ini. Orang asing waktu itu semua tanya 
pada saya, apa betul bisa dilakukan pemilu langsung tanpa guncangan. Saya 
bilang, bisa. Mengapa? Rakyat saya bukan rakyat yang tak beradab. Itu yang saya 
katakan kepada banyak kedutaan yang ingin bertemu dengan saya. Dan buktinya 
(pemilu) memang sukses, alhamdulillah.
Waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan beralasan tidak diundang ke 
Istana, bahkan sampai sebulan? 


  Ya, sekarang cari saja orang yang punya kompetensi untuk menerangkan 
persidangan pada waktu itu. Jangan lupa, adik ipar beliau (Brigjen TNI Eddie 
Wibowo) adalah ajudan saya sampai last minute. Jadi, kurang apa lagi? Orang 
bisa saja membuat alasan. Kalau pada waktu itu saya hanya terdorong emosi, 
hanya mengikuti arus ingin berpolemik, bisa dibayangkan ke mana bangsa ini 
terseret. 
Anda merasa sakit hati terhadap SBY? 


  Saya enggak merasa sakit sati. Saya hanya enggak mau ketemu saja dengan orang 
yang menurut saya kok sikapnya seperti itu. Tidak boleh? Ya, boleh saja, itu 
kan hak saya.
Tapi Taufiq Kiemas boleh bertemu dengan SBY? 


  Enggak apa-apa, kok. Memang kenapa? Keluarga saya ini demokratis. Kemarin 
Puan (Puan Maharani, putri Mega) juga baru ketemu di Yogyakarta ketika mewakili 
saya. 
Kalau Pak SBY minta bertemu, apa bisa diterima? Atau ada syaratnya? 


  Ya..., diemin sajalah. Kalau mau ketemu, terus untuk apa? Kok ya minta 
ketemunya hari-hari ini.
Sampai sekarang Anda masih percaya bahwa sistem pemilihan presiden secara 
langsung itu baik? 


  Secara substansi memang harus, kalau kita mau berdemokrasi. Makanya saya 
enggak setuju ketika banyak pengamat bilang tidak apa-apa golput. Saya juga 
"dipukul" ketika saya mengatakan jangan golput. Menurut saya, dalam hak dan 
kewajiban warga negara itu tidak ada gray area. Kita punya hak dipilih, lalu 
kewajiban kita memilih. Jadi, enggak ada itu, sebagai warga negara kalau tidak 
senang, lalu diam, golput. Kalau secara teknis banyak kekurangan, namanya juga 
pertama kali dilakukan setelah 1955. 
Di beberapa pemilihan kepala daerah, angka golput malah sampai 40 persen.. 


  Ya, karena didorong-dorong. Rakyat kita yang masih belum mengerti dan masih 
banyak kendalanya dalam proses (pemilihan) itu sendiri akhirnya ikut.
Tokoh yang mendorong golput termasuk Gus Dur.. 


  Saya bilang sama Gus Dur, "Gus, jangan begitulah memberi pelajaran. Masak, 
disuruh golput?"
Ada prediksi, Pemilu 2009 merupakan pertarungan antara Anda dan SBY saja. Yang 
lain hanya penggembira.. 


  (Tertawa) Itu kan omongan orang, silakan saja. 
Anda sendiri kenapa yakin maju? 


  Buat saya, semuanya wajar saja. Mereka yang mau mencalonkan diri tentu merasa 
memiliki kekuatan. Makanya yang paling penting buat saya adalah memberikan 
pendidikan politik pada rakyat. Kita selalu mengatakan, rakyat Indonesia perlu 
pendidikan yang baik. Enggak ada yang akan ngomong tidak, pasti ya semua. Tapi 
bagaimana kalau pada tataran pelaksanaannya kita sendiri sering tidak 
konsekuen? Kalau rakyat terus didorong tidak memilih, bagaimana? Mau uji coba 
apa lagi? Anda punya ide baru? 
Mungkin akan kembali ke yang dulu, sistem perwakilan? 


  Bayangkan sekarang kalau itu dilakukan, kita akan mundur, set back itu. Untuk 
apa bereformasi dengan segala jerih payah, korban, air mata, darah, dan 
sebagainya. Kemudian (mundur) karena enggak puas pada si A atau si B. Memangnya 
manusia ada yang sempurna?
Apa penilaian Anda terhadap kondisi masyarakat di bawah pemerintahan SBY-JK? 


  Saya tidak mau menilai di luar dulu. Saya menilai internal saya dulu, karena 
itulah sumber kekuatan saya. Ngapain saya menilai di luar ketika tidak tahu 
rumah sendiri?
Dari mana Anda tahu banyak yang tidak puas dengan keadaan sekarang? Apakah 
mereka menyatakan akan mendukung Anda lagi? 


  Mereka kan bilang, "Kami ini salah pilih, Bu". Ya, saya diam saja, memang mau 
bagaimana? Saya mesti menghibur atau bagaimana?
Banyak yang berbicara seperti itu? 


  Banyak. Perorangan atau organisasi. Dalam kampanye, saya kira sangat jelas: 
beri saya waktu lagi. Saya sebagai presiden terhitung hanya tiga tahun. Banyak 
orang lupa itu, menyangka saya memimpin lima tahun. Boleh dilihat dalam tiga 
tahun itu, success story cari sendirilah. 
Kenapa sekarang memilih masalah sembako sebagai tema kampanye? 


  Karena, selama saya berkeliling ke daerah, topik yang saya tanyakan masalah 
ekonomi. Di sana sangat tergambarkan, keluhan masyarakat adalah persoalan 
sembako. Mereka bilang kenapa waktu zaman saya tidak semahal sekarang. Mereka 
bisa hafal harga beras, cabai, daging. Lantas saya bilang, "Ya, karena kamu 
ndak milih saya." 
Anda dikritik kurang Islami. Di buku Mereka Bicara Mega malah ada saran 
mengubah penampilan pakai kerudung? 


  Sekarang saya mau tanya, masalah Islami itu sebetulnya opo to? Makanya saya 
bilang, biarkan saja orang bicara, berkomentar. Saya juga kapan-kapan boleh 
dong komentar. 
Mungkin karena PDIP konsisten dengan isu pluralisme? 


  Siapa yang bilang Islam tidak pluralis? Saya sendiri orang Islam. Keluarga 
saya orang Islam. Menurut pandangan saya, kalau kita bicara tentang Nabi 
Muhammad, coba saja baca, apa beliau tidak pluralis? Dia sangat pluralis.
Apa tanggapan Anda tentang penolakan terhadap pemimpin perempuan? 


  Menurut saya, kita perlu berhati-hati kalau agama dibawa ke ranah politik. 
Agama yang khusyuk dan sakral bisa jadi kacau-balau. Saya bukan ahli, saya 
bicara dan diskusi dengan Siti Musdah Mulia. Saya tanya, "Sebetulnya salah kita 
ini apa ya, Mbak? Yang Di Atas itu kan sudah Maha, berapa nama Dia punya. 
Kenapa di-create perempuan?" Saya dalam doa juga sering bertanya, "Sebetulnya 
apa sih kami (perempuan) ini di mata-Mu? Padahal Kamu buat kami, perempuan, 
menjadi satu bagian yang, menurut saya, kalau enggak ada, musnahlah yang 
namanya wangsa manusia." Mbak Musdah menjawab, "Kenapa mesti serius banget 
ditanggepin, Mbak?" (Mega tertawa). 
Sampai sekarang kampanye menolak pemimpin perempuan masih dilakukan. Seperti 
yang dialami Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur.. 


  Saya sendiri sampai guyon dengan Khofifah: "Lucu ya, Mbak, kalau 
dipikir-pikir, kita ini katanya kaum lemah, tapi ternyata ditakuti, lho." (Mega 
tertawa). Iya, kan? Harusnya, kalau wanita lemah, kan dibiarin saja, ya? 
(Tertawa) 
Bagaimana tentang calon wakil presiden Anda, apa sudah mulai mengerucut dari 
enam nama itu? 


  Kalau mau demokratis, silakan saja mengajukan nama. Tapi, jangan lupa, 
sebagai ketua umum, setelah menerima mandat kongres, saya punya hak prerogatif. 
Yang akan menjalankan itu kan saya? Menurut UUD 1945, wakil presiden itu 
membantu presiden. Menurut saya, tafsir membantu itu serius. 
Maksudnya, wakil presiden itu cuma ban serep? 


  Contoh konkret, ketika saya jadi presiden, Pak Hamzah (Haz) kan wakilnya? Dan 
kami bukan paket, tapi dipilih MPR. Saya bicara terbuka dengan beliau, 
bagaimana pengertiannya membantu. Pak Hamzah mengatakan: "Lho, saya membantu 
Ibu." Jadi, kita memang harus mempertemukan dua sosok ini. Alhamdulillah, 
sepanjang saya dengan Pak Hamzah, beliau memang membantu saya. Dalam arti, ada 
hal yang memang harus diputuskan oleh presiden, itu yang beliau katakan. 
Bukankah sejak reformasi posisi wakil presiden sekarang lebih menonjol? 


  Kalau mau sharing power, apa mungkin? Sekarang kita perhatikan, kalau seorang 
wakil presiden bertindak-istilah saya "one step ahead"- nuansanya bisa sampai 
ke bawah. Ketika saya jadi wakil Gus Dur, mereka sudah reka penugasan yang 
diberikan kepada saya, harusnya saya bagaimana. Saya berbicara pada diri saya, 
menyangkut moral dan etika berpolitik. Tidak pernah saya katakan pada Gus Dur: 
"Oh, Gus, ini sudah saya selesaikan." Saya selalu katakan, "Bapak Presiden, ini 
hal-hal yang telah kita siapkan. Silakan, maunya bagaimana." 
Dalam acara peluncuran buku kemarin, Anda menekankan agar wakil presiden jangan 
sampai berperan sebagai presiden? 


  Ya..., itu toh siapa saja, terserah siapa yang merasa. (Tertawa)
Mengenai calon pendamping, apakah ukuran ideal yang diperhitungkan? 


  Kalau ukurannya ideal, karena saya perempuan, menurut saya, ya saya ini cukup 
cantik. Nanti yang di sebelah saya mestinya paling tidak bisa sesuai (Mega 
tersenyum). Mungkin joke-nya seperti itu. Lalu juga dalam diskusi kita bisa 
sama-sama. Jangan bondo kosong (modal kosong). Itu kan joke saja (tertawa). 
Tapi maksudnya bukan materi, lho. Masak saya tanya, bondomu piro (hartamu 
berapa). 
Anda percaya bahwa pasangan presiden dan wakil presiden harus mencerminkan 
kombinasi militer-nonmiliter, Jawa-luar Jawa, partai nasionalis-religius? 


  Itu merupakan bagian dari kriteria, tapi bukan kepastian mutlak. Alangkah 
sulitnya kalau hal itu dijadikan patokan kunci. Saya bilang ke anak- cucu, 
kalian ini turunan gado-gado, apa enggak pusing? Seperti saya ini, kan bunglon, 
dalam hal positif? Mau dibilang Sumatera bisa, karena saya memang ada keturunan 
Sumatera. Luar Jawa? Boleh juga, karena saya (keturunan) Bali dan Sumatera. 
Tapi kalau dibilang bukan Jawa, no, no..., saya Jawa juga. Jadi, gado-gado. 

--------------------------------------------------------------------------------

DIAH PERMATA MEGAWATI SETIAWATI SOEKARNOPUTRI 

Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 23 Januari 1947 

Pendidikan: 

  a.. SD Perguruan Cikini Jakarta, 1954-1959 
  b.. SMP-SMA Perguruan Cikini, Jakarta, 1960-1965 
  c.. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, 1965-1967, tidak selesai 
  d.. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 1970-1972, tidak selesai 
Karier politik: 

  a.. Anggota GMNI, Bandung, 1965 
  b.. Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, 1986 
  c.. Anggota Fraksi PDI DPR-RI, 1987-1997 
  d.. Ketua Umum PDI versi Kongres Luar Biasa Surabaya, 1993-1999 
  e.. Ketua Umum PDI Perjuangan, 1999-sekarang 
  f.. Wakil Presiden RI, Oktober 1999-23 Juli 2001 
  g.. Presiden RI, Juli 2001-2004

Kirim email ke