Makna Imam

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang 
membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti 
Al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan 
demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: 
maju ke depan, petunjuk dan bim¬bingan, kepantasan seseorang menjadi uswah 
hasanah, dan kepemimpinan.

Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya; “(Ingatlah) pada suatu 
hari (yang pada hari itu) kami me¬manggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” 
(Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam 
(pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan ja¬dikanlah kami imam bagi 
orang-orang yang bertakwa.”
 (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan 
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi 
seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya 
(Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing 
Kami jadikan orang-orang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai 
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah 
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan 
zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada 
orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka 
pemimpin dan menja¬dikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); 
“dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka, 
dan pada hari kiamat
 mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah 
pemimpin-pemimpin orang kafir, karena se¬sungguhnya mereka adalah orang-orang 
(yang tidak dapat dipe¬gang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)

Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua 
pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar 
digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. 
Pada sisi lain—pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan 
makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh 
bebe¬rapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan 
tidak memperdulikan, apakah ia akhir¬nya akan berjalan ke arah yang lurus atau 
arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengandung 
makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana
 juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan 
perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk 
memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. 
Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan 
memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar 
diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus 
masalah umat Islam.

Para ulama berbeda pendapat mengenai penamaan khalifah: apakah khalifah saja 
(tanpa embel-embel), atau khalifah Rasulullah dan khalifah Allah? Sebagian 
ulama membolehkan penggunaan gelar khalifah Allah, dengan merujuk kepada ayat 
Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa “Dia menjadikanmu khalifah-khalifah atau 
pewaris bumi.” Namun, jumhur ulama tidak membolehkan penanaman gelar khalifah 
Allah—karena ayat Al-Qur’an tidak
 berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar. Bahkan, Abu Bakar sendiri telah 
melarang pemanggilan dirinya dengan khalifah Allah. Abu Bakar menegaskan, “Aku 
bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat 
oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. 
Menurut Dhiauddin, gelar khalifah setelah Ra¬sulullah digunakan untuk menjadi 
antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran—sebuah pemerintahan individu 
yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.

Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn 
Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, 
Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, 
“Itu adalah bagian dari ciri khas kekha¬lifahan dan itu diciptakan sejak masa 
para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; 
yaitu wazan (bentuk kata) fa’il
 dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr 
Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada 
waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang 
sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.

Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keha¬rusan adanya kepemimpinan 
dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan 
suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam 
karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga 
negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut 
ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai 
pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.

Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara 
(seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan
 (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera 
lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk meng¬halangi gerak dan 
cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang 
baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku 
Quraisy.

Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepemimpinan politik tertentu yang 
harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan 
negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan 
dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik 
seperti negeri kita, sebagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk 
mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, 
atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri 
kaum Syi’ah, memiliki sistem politik yang didasarkan atas konsep wilayat al 
faqih dimana ayatullah
 ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus. 

Sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
agussyafii


      

Reply via email to