================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Orang Desa dan Dramaturgi Politik Oleh : ANIEK NURHAYATI Ingar-bingar politik menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sebenarnya jauh dan “jangkauan” masyarakat desa. Di tengah melonjaknya harga pangan dan alam yang sedang tidak bersahabat, orang desa bergulat untuk tetap survive memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Data menunjukkan simpul kemiskinan banyak terdapat di pedesaan yang notabene merupakan daerah pertanian. Hal itu bisa dipahami karena mayoritas petani adalah net cornsumer (mengonsumsi lebih banyak dari pada yang dihasilkan). Sekitar 75 persen petani hanya sebagai buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Namun, masyarakat pedesaan yang menjadi mayoritas populasi di Indonesia terlalu besar untuk diabaikan politik. Pada masa Orde Baru, reformasi, hingga Pemilu 2004, partai politik dan calon presiden berlomba menanik simpati orang desa agar memilih mereka. Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon anggota legislatif dengan suara terbanyak yang berhak memperoleh kursi, dapat dipastikan pada tahun 2009, selain capres dan parpol, para caleg juga akan berebut simpati untuk mendapatkau suara orang desa Pertanyaannya, apa yang di peroleh masyarakat desa dan proses ini? Michael Lipton dalam Why Poor People Stay Poor (1985) melihat fenomena masyarakat pedesaan yang sementara jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, juga lebih miskin, tidak jelas, dan tidak teratur. Secara nasional, mereka berusaha untuk bergabung dengan politik dan kekuasaan, tetapi kolaborasi itu tidak dimaksudkan oleh orang desa untuk kekuasaan dan pendapatan bagi kemajuan sektor pedesaan. Dengan kata lain, para politisi yang notabene banyak berasal dari kalangan perkotaan sebenarnya tidak banyak melakukan kontribusi bagi pembangunan di pedesaan. Namun, sekali lagi, suara orang desa amatlah besar untuk diabaikan. Maka, politisi menciptakan panggung teater untuk meraih suara itu. Panggung teater Pendeknya, para politisi menampilkan apa yang disebut Erfing Goffman sebagai “mana kesan”, yaitu fenomena dramaturgi tentang bagairnana individu menyatakan tindakannya dalam suatu setting yang melibatkan panggung dan pelaku.. Goffman membagi wilayah sosial individu menjadi panggung depan, panggung belakang, dan wilayah yang ada di luar keduanya, yang disebutnya sebagai the out side. Perspektif dramaturgi Goffman yang “menantang” adalah tesisnya tentang panggung depan, yaitu wilayah ekspresi sosial yang selalu melekat pada individu atau aktor di manapun ia pergi, misalnya jenis kelamin, umur, status sosial, gaya bicara, dan gerak tubuh (Zeitlin, 1995). Dalam penampilan itu, aktor cenderung membimbing dirinya dengan nilai resmi yang ada pada masyarakat dan melangkah dengan menghadirkan versi yang telah diidealisasikan terhadap dirinya sendiri. Dalam menyajikan gambanan ideal dirinya itu, aktor harus menyembunyikan berbagai hal di panggung depan yang mungkin dimilikinya, seperti kesenangan rahasia yang menjadi kebiasaan, kekeliruan pada masa lain, serta kemungkinan “kerja kotor” yang dilakukan dalam proses menampilkan “pentas”. Kerja kotor ini meliputi tugas-tugas yang semi legal, kejam, maupun tindakan yang merendahkan martabat (Ritzer, 2008). Sementara itu, panggung belakang merujuk pada wilayah sosial aktor yang lepas dari panggung depan dan para penonton. Aktor menggunakan topengnya di panggung depan dan melepasnya di panggung belakang. Di panggung belakang inilah dunia nyata aktor dan Goffman menyebut di panggung inilah sesungguhnya seseorang dapat mendeteksi karakter yang mengesankan atau tersembunyi dan aktor tersebut Teater orang desa Dengan berbagai macam persoalan yang melingkupinya, seperti kemiskinan, buruknya infrastruktur, kompleksitas permasalahan pertanian, maupun rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, semua bisa menjadi “komoditas yang bisa dijual” oleh politisi untuk mendapatkan suara orang desa. Karena itu, tidak heran bila sejumlah politisi dari parpol telah menggelar “panggung teater” di mana alam pedesaan dan orang-orangnya terlibat dalam tutur dan gamban. Di era komunikasi, media adalah sarana efektif bagi politisi untuk membuat manajemen kesan dalam rangka menunjukkan panggung depan mereka. Ini bisa dilihat dari gambar yang didesain dari partai politik yang menyajikan eksotisme desa yang berbalut wajah-wajah tidak berdaya karena tersingkir dari pembangunan. Dengan nilai resmi di masyarakat bahwa politisi ideal adalah mereka yang dekat dan peduli dengan rakyat, politisi menciptakan panggung depannya untuk menunjukkan kepedulian bahwa mereka siap mengentaskan segala problem itu. Tampilan para politisi di poster, spanduk. dan baliho yang bertebaran di desa-desa juga bagian dan manajemen kesan itu. Bagaimana dengan tampilan iklan dari parpol yang menjadi pemegang kendali pemerintah? Panggung yang diciptakan adalah suksesnya pembangunan dengan wajah para petani desa yang riang serta anak-anak yang menikmati pendidikan murah. Maka, panggung depan yang diciptakan adalah bagaimana kepuasan grang-orang desa agar bisa dilanjutkan dan ditingkatkan. Bagaimana dengan panggung belakang politisi? Wilayah yang disebut Goffman sebagai wilayah dimana aktor membuka topengnya ini tentu tidak banyak diketahui orang desa. Ini disebabkan mayoritas politisi adalah orang kota dan orang desa akan menikmati saja panggung teater politik 2009 atau mereka acuh saja. Dan, ketika pemilu selesai, akankah teater pemilu ini menjadi kenyataan? Orang-orang desa menunggu. [ANIEK NUEHAYATI, Mahasiswi S-3 Sosiologi Pedesaan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang - Kompas] ----------- Praktik Kampanye di Pedesaan Kelangsungan hidup bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi dan dinamika kehidupan orang-orang desa. Pun demikian dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb. Lebih-lebih di saat menghadapi perhelatan besar pemilu lima tahunan 2009 kali ini….. Semua partai berhias diri, memantas2kan diri, agar lebih cocok, pantas dan layak untuk bisa mewakili kontituennya diantaranya adalah orang-orang desa yang jumlahnya sangat signifikan. Maka jangan heran di pojok2 sawah, pematang sawah, gardu, jembatan, tanah lapang, pinggir jalan, pinggir hutan, pinggir balong, di atas kali, diatas gapura, di atas pohon, di atas rumah banyak terpasang, bendera, poster, baliho berbagai caleg dan parpolnya. Orang-orang desa memang sudah terbukti dari sejak dahulu, selalu meyimpan lumbung bagi kebutuhan orang-orang kota. Mulai dari hasil pertanian; padi, jagung, palawija sebagai 9 bahan pokok, serta hasil sayur-sayuran untuk dijual ke kota, juga tenaga kerja murah. Nah, di saat-saat seperti ini, banyak lalu lalang, aktifitas dan kesibukkan orang desa di sela-sela masa panen, atau bahkan yang gagal panen, kebanjiran, longsor dsb masih juga diharapkan lumbungnya oleh orang-orang kota..... tidak lain adalah lumbung suara nya. Maka dinamika hukum ekonomi antara permintaan dan penawaran kemudian sering muncul dan terpaksa dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan langsung. Ada yang merasa punya lumbung suara banyak, sehingga berani menjualnya sebagai bandar, di lain pihak ada pula yang merasa punya modal, sehingga kalo perlu harus membelinya. Ada yang lebih halus, sopan dan praktis, dengan tukar guling, misalnya dengan mengaspal 1-2 km jalan masuk desa, pasang listrik penerangan desa, dengan membuat MCK, pengobatan gratis, membagi sembako, atau menukar dengan memperbaiki atau membuat bangunan tempat ibadah, dsb. Semua itu disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingannya. Itulah iklan politik dan dinamika politik menjelang pemilu yang sering terjadi di pedesaan, apapun partainya semua bersimpati untuk memajukan masyarakat di pedesaan yang sementara menjadi panggung dari sebuah dramaturgi politik lima tahun sekali ini. Semakin baik ia bekerja dan bermanfaat bagai masyarakat, maka masyarakat pun akan menilainya dan semakin fokus pada pilihannya. Jadi silakan majukan infrastruktur jalan, pertanian, perikanan, irigasi dan perhatikan pendidikan, kesehatan orang-orang di pedesaan…. Otomatis mendorong orang kota pun akan lebih maju. Selamat berkampanye di berbagai penjuru kota di Indonesia, dan menikmati praktik kampanye simpatik di lumbung suara orang pedesaan. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm ---------
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3