http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009030306130173
Selasa, 3 Maret 2009 OPINI 'Khilafah' atau Demokrasi? Gugun El-Guyanie Sekjen Lembaga Kajian Keagamaan dan Kebangsaan PW GP Ansor Yogyakarta Tepatnya 3 Maret 1924, umat Islam merasakan sebuah dentuman dahsyat yang meruntuhkan khilafah Islamiah di Turki. Turki Utsmani dibubarkan Mustafa Kemal Attaturk--sekuleris yang memisahkan paham agama dengan negara. Umat Islam merasa pascaruntuhnya Turki Utsmani, Islam tenggelam oleh derasnya arus peradaban Barat sekuler. Namun, lambat laun banyak bermunculan cendekiawan Islam yang menyadari bahwa khilafah bukanlah hal sakral yang merupakan perintah Tuhan untuk diterapkan dalam kehidupan sosial. Sebagaimana analisis yang menarik dari Yudian Wahyudi, guru besar filsafat hukum Islam, membaca kondisi Turki modern selaku pewaris Ottoman yang menghadapi dilema. Antara ancaman sekutu di satu sisi dan perlawanan orang-orang Arab di sisi lain. Pada tahun 1918, Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, sementara khilafah merupakan simbol kekuasaan Ottoman. Untuk menghindari kemungkinan bencana lebih besar, kata Yudian, yaitu dicaplok sekutu dan atau dijajah Arab, Atatturk membubarkan khilafah dan mengorientasikan Turki modern ke Eropa sebagai pemenang perang. *** Hingga detik ini, perdebatan yang membagi dua kelompok pemikiran pro-khilafah dan tetap ngotot memperjuangkan kembali sistem politik Islam tersebut dan kelompok kontra-khilafah, yang banyak mengemas pemikiran politik modern seperti demokrasi, masih berlangsung. Pandangan khilafah banyak dikemas tokoh seperti Hassan Al Banna, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha memberikan pernyataan posisi umat Islam yang telah tercabik-cabik kolonialisme Barat akan makin hancur ketika terpecah belah, tidak memiliki satu komando yang jelas. Maka khilafah Islamiah tetap dipegang menjadi cita-cita yang mulia dan suci. Satu kelompok yang merasa gembira ketika khilafah dibubarkan adalah kelompok yang memiliki pandangan bahwa Islam tidak pernah memiliki sistem politik tertentu dan Islam tidak pernah mendirikan negara sepanjang sejarahnya. Orang pertama yang berani berijtihad kontroversial adalah Ali Abd Al-Raziq. Tokoh yang di kalangan umat Islam sendiri mendapatkan banyak hujatan ini disejajarkan dengan Mustafa Kamal Attaturk, bahkan dianggap lebih berbahaya. Bahkan Universitas Al-Azhar mencopot gelar kesarjanaannya serta terjadi takfir terhadap beliau. Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan seperti yang dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan sekularisme Barat. Abd al-Raziq tentunya memiliki wawasan dan pertimbangan matang hingga ia mengeluarkan ijtihad kontroversial itu. Pengetahuan sejarahnya yang mendalam membuatnya sangat yakin bahwa sistem politik yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma satu. Itu sangat bergantung dan dipengaruhi penguasa yang memegang pemerintahan. *** Apa yang disebut khilafah oleh setiap penguasa memiliki makna dan implikasi politis berbeda antara satu khalifah dengan lainnya. Perbedaan ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem pemerintahan yang disebut khilafah berasal dari ijtihad dan pendapat yang terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem "islami" dengan pengertian bahwa model politik dan segala implikasinya dalam kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Raziq, bisa sangat berbahaya khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada sebagian pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. Rasulullah saw. yang memiliki otoritas spiritual sebagai pemimpin agama dan otoritas temporal, pemimpin negara di Madinah, sama sekali tidak menampakkan sebagai suatu negara Islam. Sebab di bawah platform Piagam Madinah, corak pluralisme dan inklusif negara tersebut sangat kental ketimbang eksklusivisme Islam. Bahkan dalam banyak hal, pola ketatanegaraan Nabi saw. saat itu justru banyak menyerap nilai-nilai demokratis sebagaimana sekarang yang diagung-agungkan (Said Aqiel Siradj; 1999). Sebagai bukti, fenomena politik pada saat itu lebih concern terhadap prinsip-prinsip musyawarah (al-syura), kebebasan (al-hurriyah), keadilan (al-'adalah), persamaan derajat (al-musawah) serta lima prinsip universal (kulliyat al-khams). Mekanisme suksesi Khalifah Abu Bakar (w.13 H), yang tidak menganut sistem keturunan tetapi langsung dipilih rakyat juga menjadi indikasi kuat bagi pemikiran negara yang demokratis. Sebuah sistem politik yang menonjol di dunia, di tengah-tengah sistem monarki yang berlaku di seluruh dunia, terutama dua adikuasa Romawi dan Persia. Khalifah kedua, Umar ibn Khattab (w. 23 H) yang terpilih berdasarkan "waliy al-'ahd" (putera mahkota). Kemudian masa khalifah ketiga, Utsman ibn Afan (w. 35 H) yang terpilih melalui tim formatur. Khalifah keempat, Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H) terpilih melalui pemilihan secara langsung dari rakyat. Semenjak Dinasti Umayyah, umat Islam tidak lagi meneruskan sistem pemerintahan demokratis sebagimana para pendahulunya, berubah menjadi monarki sebagaimana diterapkan bangsa Romawi dan Persia. Meskipun keempat khalifah memiliki mekanisme suksesi berbeda, pada prinsipnya semuanya masih berpegang pada asas musyawarah, sistem kekuasaan terkontrol, kedaulatan di tangan rakyat serta penegakan hukum yang tidak memihak. Keempat khalifah tersebut dipandang banyak ulama masih meneruskan tradisi dan pola kepemimpinan Rasulullah saw. Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu bagi kaum muslim, dalam pandangan Abd al-Raziq, menjadi positif karena hal itu berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam. Perintah Islam sesungguhnya, pemimpin harus dipilih dari rakyat (ummah), dibai'at oleh rakyat dan diturunkan oleh rakyat. Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa pemimpin ditunjuk oleh ayat atau hadis.
<<bening.gif>>