=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Demokrasi dan Identitas Naratif 
Rabu, 4 Maret 2009 | 03:51 WIB 
Oleh : Haryatmoko 
Dalam demokrasi, legitimitas politik mencari pembenarannya melalui persetujuan 
warga negara. Persetujuan ini dilandaskan pada komunikasi (J. Habermas, 1981). 
Tidak ada norma atau nilai yang tidak dapat diperdebatkan, dipertanyakan, atau 
dikritik. Argumentasi menjadi cara mencari dasar persetujuan tindakan kolektif. 
Apakah prosedur demokrasi membantu warga negara lebih memiliki komitmen etis 
(komponen utama identitas naratif)? Acuan ke identitas naratif bisa menjadi 
ukuran sejauh mana keputusan Mahkamah Konstitusi (anggota legislatif dipilih 
berdasarkan suara terbanyak) mampu membuka dinamika politik baru. 
Dilema dan solidaritas 
Model tindakan komunikatif itu dilematis. Di satu sisi, tindakan komunikatif 
sering dikritik terlalu ideal sehingga syaratnya (tulus, benar, tepat, menunda 
kepentingan masing-masing peserta) sulit dipenuhi. Di sisi lain, upaya 
mewujudkan tuntutan itu bisa menjadi latihan guna membentuk orang yang terbuka 
dan memiliki komitmen. Seringnya perjumpaan, dalam kerangka diagnostik masalah 
dan upaya-upaya kolektif, akan menumbuhkan saling kepercayaan. 
Demokrasi deliberatif, yang memberi kesempatan kepada suatu suara mengungkap 
alasan-alasannya, menjadi tempat persemaian bagi tumbuhnya saling pengertian. 
Karena itu, diskusi jangan dibatasi oleh urgensi untuk segera mengambil 
keputusan atau segera bertindak. Peserta dituntut bisa menahan diri untuk 
menunda kepentingan masing-masing. Tuntutan ini dalam realitas politik sulit 
dipenuhi karena masing-masing pihak memiliki prioritas, motivasi, dan tujuan. 
Terkurasnya energi karena konflik kepentingan ini bila diarahkan oleh politik 
budaya yang multikultural bisa memancing kesadaran rasa kebangsaan. Mengapa? 
Ketika pilihan rasional masing-masing pihak berkutat pada kepentingan sendiri, 
dorongan ke arah kepentingan kolektif dalam bentuk solidaritas dan orientasi 
tujuan (kesejahteraan bersama, ideologi, pluralitas) kian dibutuhkan. Orang 
tidak akan sanggup terus menghadapi konflik dan ketidakpastian. Maka, tindakan 
yang hanya ditentukan oleh logika ekonomi dipertanyakan. Orang mencari kerja 
sama. Taruhannya adalah identitas dan komitmen. Komitmen merupakan dimensi 
moral yang menandai identitas naratif. 
Identitas naratif 
Identitas naratif lahir dari pemahaman kehidupan dalam bentuk kisah yang 
disatukan oleh tujuan hidup baik sehingga memungkinkan tiap orang menunjukkan 
kualifikasi etisnya (P Ricoeur, 1990:187). Tanda identitas naratif ialah meski 
selalu diterpa perubahan, tetap bisa dipercaya dan diperhitungkan. Jadi, 
identitas naratif ditandai oleh kemampuannya untuk menepati janji. Kemampuan 
menepati janji merupakan identitas lebih tinggi karena, meski ada aneka 
perubahan, masih tetap bisa diandalkan. Kemampuan menepati janji berasal dari 
kesetiaan kepada diri sendiri dan orang lain. Dari tepat janji ini tumbuh 
solidaritas. Jadi, identitas naratif suatu bangsa ditandai komitmen, kesatuan, 
dan kohesi yang teruji oleh waktu. 
  
Identitas merupakan hasil proses identifikasi dan distinction yang membantu 
kelompok sosial membangun kohesinya dan menetapkan posisinya berhadapan dengan 
bangsa lain. Maka keyakinan, loyalitas, dan solidaritas anggota-anggotanya 
terwujud bila masyarakat saling mengakui hak dan kewajibannya karena status 
mereka sama (E. Gellner, 1983:7). 
Identitas naratif lemah saat warga negara tidak mampu mengenali diri dan yang 
lain atau menafikan yang lain. Mereka ini sebetulnya buta terhadap kepentingan 
dan identitasnya. Mereka akan gagal dalam hidup bersama. Padahal, bahkan pasar, 
sebagai bentuk kerja sama dan persaingan dalam pertaruhan simbolis dan 
material, menuntut syarat adanya dialektika identifikasi dan pengakuan ini. 
Maka, menjadi penting teori identitas dan pengakuan (D. Cefai, 2007:215). 
Identitas dan pengakuan diperoleh melalui keikutsertaan dalam tindakan dan 
upaya nyata, baik sendiri maupun kolektif, dan dalam kerja sama serta 
komunikasi dengan sesamanya. 
Dalam konteks ini, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan terpilihnya 
anggota legislatif atas dasar suara terbanyak bisa membuka dinamika politik 
baru. Di satu sisi, keputusan itu memperlemah daya tawar partai politik dan 
kecenderungan berkembangnya rasa kedaerahan. Di sisi lain, keterwakilan 
konstituen kian diperhatikan meski disertai kekhawatiran merebaknya politik 
uang dan dipertanyakannya kualitas caleg. 
Ada dua implikasi politik, pertama, partai politik kian dituntut profesional 
dalam manajemen organisasi, termasuk dalam penunjukan calon anggota legislatif. 
Kedua, menghadapi primordialisme kedaerahan dan agama, pemerintah pusat harus 
mempunyai politik budaya yang tegas. Alasannya, pertama, nilai strategis budaya 
sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif; kedua, dasar identitas 
bangsa; ketiga, politik budaya berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena 
mengembangkan kreativitas (L. Bonet, 2007). Dengan demikian, keputusan MK bisa 
membuka dinamika kebangsaan baru asal mengarahkan ke universalitas konkret. 
Universalitas konkret sebagai bentuk komitmen etis merupakan komponen utama 
identitas naratif. 
Universalitas konkret 
Universalitas konkret bisa diilustrasikan dalam karya seni. Kekaguman terhadap 
karya seni merupakan bentuk universalitas. Jarang ada komentar yang mengatakan, 
karya-karya Mozart tidak bermutu. Universalitas konkret ini didefinisikan 
sebagai rekonsiliasi antara yang partikular dan yang universal (L Ferry, 
1998:246). Partikularitas ini berlaku bagi suatu budaya (agama), saat ia 
membuka makna bagi seluruh kemanusiaan. Pemeluk agama-agama dipanggil untuk 
menjadi karya seni, artinya ambil bagian dalam kehidupan bersama dan memberi 
makna bagi semua. Panggilan ini berarti masuk ke pemikiran yang diperluas, 
maksudnya akses ke universal melalui otentifikasi partikularitas. Semakin 
mendalam dan otentik penghayatan agama seseorang, justru kian terbuka bagi 
semua. 
Keterbukaan ini adalah buah kebebasan yang mampu melepaskan diri dari 
partikularisme (agama) untuk membuka diri bagi semua golongan. Orang bisa 
memahami makna karya seni ketika melihat pribadi Mahatma Gandhi, Ibu Teresa 
dari Calcutta, Muhammad Iqbal, Muhammad Hatta, dan Romo Mangun. Para tokoh ini 
adalah ungkapan universalitas konkret. 
Universal karena mereka berjasa dan diterima semua golongan, juga konkret 
karena mengakar pada partikularitas agama masing-masing. Komitmen untuk 
kemanusiaan yang mengatasi sekat agama menandai identitas naratifnya. 
Universalitas konkret mengikis primordialisme karena ukuran penerimaan bukan 
kepemilikan pada kelompok, tetapi jasa, sumbangan, dan prestasi untuk 
masyarakat. [Haryatmoko Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma 
Yogyakarta - Kompas] 
----------- 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 

  


 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke