Sumber : 
http://www.pewarta-indonesia.com/nspirasi/Serba-Serbi/kartu-pewarta-warga-bisa-lolos-tilang.html
 




Kartu Pewarta Warga Bisa Lolos Tilang? 
 
 
 



Oleh : Gita Rezki Lenny    

Sabtu, 07 Maret 2009 13:54 

Pewarta-Indonesia, Perlukah pewarta warga (citizen journalist) memiliki kartu 
anggota yang berfungsi seperti kartu pers?

Mat Bloger mengajukan pertanyaan itu ketika kami tengah membaca blog Persatuan 
Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Di situ ada posting baru mengenai pembagian 
kartu anggota untuk para blogger, pewarta warga, atau siapa saja yang berminat.

Peminat hanya perlu membayar Rp 25 ribu sampai Rp 45 ribu, tergantung domisili, 
untuk memperoleh kartu. Mereka yang ingin mendapatkan kartu itu juga diharuskan 
mengisi formulir pendaftaran, mematuhi kode etik pewarta warga, dan beberapa 
persyaratan lain. 
Dengan kartu yang berlaku selama lima tahun itu, pengurus PPWI berharap pewarta 
warga tak mengalami hambatan–terutama birokrasi–ketika menjalankan aktivitas 
mengumpulkan dan membagikan informasi kepada publik.

“Kalau ditilang polisi, kita bisa lolos dengan kartu itu nggak ya, Mas?” Mat 
Bloger menyela.

“Hush, ngawur! Ini kartu anggota Mat, bukan kartu sakti. Kalau sampean 
melanggar hukum atau aturan lalu lintas, ya, harus bayar denda. Jangan 
mentang-mentang punya kartu, lalu seenaknya saja.”

“Tapi para jurnalis seperti sampean ini kan sering memakai kartu pers untuk, 
ya, misalnya lolos dari tilang polisi, Mas,” kata Mat Blogger tak mau kalah.

“Eits, sembarangan. Kartu pers bukan untuk mengakali tilang, Mat. Pemegang 
kartu pers justru harus tunduk pada aturan hukum positif dan kode etik 
jurnalistik. Kalaupun ada yang menyalahgunakan, itu pasti oknum,” jawab saya 
sedikit tersipu.

“Lalu, untuk apa sebenarnya para pewarta warga perlu memiliki kartu anggota ya, 
Mas?”

“Begini, Mat. Menurut situs yang sedang kita baca ini, kartu anggota 
diterbitkan karena terinspirasi oleh sebuah kasus. Syahdan ada seorang pewarta 
warga Kano, Nigeria, yang gagal ke luar negeri karena tak memiliki kartu pers 
untuk mendapatkan visa liputan. Orang itu lalu menuliskan pengalamannya 
tersebut di situs pewarta warga Ohmynews.

Tapi, menurut hemat saya, persoalannya bukan pada perlu memiliki kartu anggota 
atau tidak. Menjadi pewarta warga itu pada mulanya harus dilandasi itikad baik, 
yaitu mendapatkan informasi, melaporkan peristiwa, serta membagikan temuannya 
secara jujur, akurat, dan berimbang. Pewarta warga juga harus memegang teguh 
etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal.

Seorang pewarta warga tak harus bekerja sebagaimana halnya jurnalis 
profesional, yang bekerja nyaris 24 jam, membongkar korupsi, memburu 
berita-berita kriminal dengan bertaruh nyawa, atau meliput seminar di luar 
negeri. Biarkanlah urusan seperti ini dikerjakan oleh jurnalis profesional. 
Pewarta warga sebetulnya justru lebih baik menggarap wilayah liputan yang luput 
dari radar jurnalis profesional.

“Misalnya, Mas?”

“Jangan lupa, Mat. Sebagai blogger, sampean juga berpotensi menjadi pewarta 
warga. Di blog, sampean bisa menulis tentang lingkungan terdekat sampean. 
Misalnya bagaimana pengalaman mengurus KTP di desa sampean. Mudah dan murahkah? 
Bagaimana kondisi jalan di perumahan sampean, mulus atau bolong-bolong? 
Bagaimana kondisi daerah resapan air di kampung sampean dan persiapan 
menghadapi banjir.

Kalau sampean melaporkan semuanya sesuai dengan fakta, ada buktinya, akurat, 
dan berdasarkan niat baik, niscaya tulisan sampean dipercaya orang. Kelak, 
sampean tak perlu kartu ini dan itu hanya untuk mendapatkan pengakuan dan 
kepercayaan sebagai blogger atau pewarta warga.” (Wicaksno)

Sumber: http://blog.tempointeraktif.com/?p=316 


Anda punya berita, artikel, foto, atau video? Publikasikan di sini
Kontak Redaksi di

 \n 
 reda...@pewarta-indonesia.com


my personal room at http://saintlover.blogsome.com
   


      

Reply via email to