================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." ANALISIS POLITIK Politik Hampa Darma Selasa, 17 Maret 2009 | 03:07 WIB Oleh : YUDI LATIF Momen pertemuan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, pekan lalu, dinanti banyak orang sebagai ”titik kedatangan” dengan bawaan siap pakai. Penantian yang salah sasaran karena peristiwa sesungguhnya merupakan ”titik keberangkatan” dari ekspedisi bersama mengarungi samudra ketidakpastian. Titik keberangkatan ini, dengan dramaturgi yang menarik didukung keriuhan liputan media, menjadi ritual pembuka yang seru bagi prosesi kampanye terbuka pesta demokrasi yang paling kolosal, paling heboh, paling lama, dan paling mahal di muka bumi. Rangkaian pemilihan anggota legislatif dan presiden ini bisa berlangsung dalam rentang waktu 7 bulan (April-Oktober), melibatkan 171.068.667 calon pemilih, 38 parpol nasional plus 6 parpol lokal, 11.215 caleg DPR dan 1.109 caleg DPD ditambah puluhan ribu caleg DPRD tingkat I dan II, puluhan aspiran calon presiden dan wakil presiden, serta triliunan rupiah dana kampanye dan penyelenggaraan pemilu. Ledakan kegandrungan berkuasa ini menimbulkan kerisauan. Seperti dikatakan Montesquieu, ”Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, tetapi juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung — manakala setiap orang merasa pantas memimpin.” Lantas, seperti ditanyakan Julian Benda, ”Apakah gerangan yang membuat mereka tergoda oleh dorongan nafsu politik ini? Dan kutemukan tampaknya merupakan paduan dua kehendak esensial manusia untuk menempatkan dirinya dalam kehidupan ril. Menginginkan kehidupan riil itu berarti ingin (a) memiliki keuntungan-keuntungan material dan (b) untuk menyadari dirinya sebagai individu.” Utamanya karena kontrol kaum terdidik Indonesia atas modus produksi lemah, mentalitas elitisme mereka mendorongnya menceburkan diri di dunia politik. Situasi demikian lebih tampak ketika krisis ekonomi terjadi. Individu dan kelompok intelijensia bersaing menguasai kendali atas ekonomi dan birokrasi negara. Posisi politik dan birokrasi tingkat atas terus didamba sebagai puncak pencapaian. Sebagian lagi, karena motif-motif kapitalistik untuk membuat kebijakan publik dalam kendali kepentingan privat, mendorong kaki tangannya mengambil peran dalam politik. Tetapi, kecenderungan baru dalam obsesi berpolitik juga muncul sebagai cerminan menguatnya kesadaran individualistik sebagai konsekuensi dari merosotnya kewibawaan pusat teladan. Ketika banyak orang mulai kehilangan kekaguman pada ”nama-nama besar”, secara instingtif mereka mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri. Masalahnya, bangkitnya kesadaran individualistik ini tidak didukung oleh kerangka sosialitas yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu. Dalam lemahnya kepastian hukum dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek berdaulat yang bisa melakukan learning to unlearn dari tradisi buruk. Kumpulan individu guyub tak dapat melahirkan masyarakat kreatif. Kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. ”The amount of eccentricity in a society,” ujar John Stuart Mill, ”has generally been proportional to the amount of genius, mental vigor and moral courage it contained.” Bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit orang-orang eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan pertanda buruk bagi bangsa ini. Dalam lemahnya kekuatan karakter, imajinasi dan orisinalitas, obsesi politik sebagai ekspresi pemujaan diri lebih menguatkan semangat komodifikasi yang reseptif dan konsumtif ketimbang sebagai ekspresi subyek kreatif dan produktif. Dunia politik disesaki onggokan politikus plastik, kehebohan aksi selebriti, dan jorjoran pembiayaan, tetapi miskin isi, miskin visi, hampa darma. Dalam konteks inilah, pertemuan Megawati dan Jusuf Kalla sepantasnya dimaknai. Salah satu butir kesepakatannya berkomitmen ”memperkuat sistem ekonomi untuk melaksanakan program ekonomi yang berdaulat, mandiri, dan berorientasi pada kepentingan rakyat”. Komitmen ini merupakan titik keberangkatan yang tepat. Usaha menyehatkan kehidupan politik menuntut pengurangan obsesi berpolitik dengan memperluas kesempatan aktualisasi diri di luar sektor negara. Kemungkinan ini bisa direalisasikan jika dunia perekonomian disehatkan. Syarat perlu bagi penyehatan perekonomian adalah kedaulatan menentukan pilihan-pilihan sendiri, yang akan memperluas kesempatan rakyat mengembangkan aktivitas perekonomiannya. Masalahnya, usaha mewujudkan kedaulatan ekonomi memerlukan pemimpin berkarakter kuat yang memiliki kebesaran jiwa melampaui kepentingannya sendiri. Pemimpin yang tidak memedulikan bagaimana bisa dipilih ulang, melainkan memedulikan bagaimana keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi penataan sistemik. Dalam pemilu nanti, rakyat harus menemukan pemimpin seperti itu di antara tumpukan sampah plastik. Jika tak juga menemukan, kita harus lebih giat mengembangkan ekosistem kreativitas yang dapat memasok orang-orang eksentrik pada masa depan. [Kompas] ---------- Era Baru Indonesia Nah, sekarang akhirnya kita sampai pada tahap penting perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu memasuki tahap kampanye massa. Jadi tinggal 22 hari lagi hari ‘H’ penyontrengan tiba. Di saat-saat ini pun kita akan lebih jelas lagi melihat-lihat, miling-miling, menimang-nimang calon, menimbang-nimbang lagi serta untuk mengetahui apakah pilihan kita selama ini sudah tepat?! Saat ini dimana pun kita berada, kita dapat mengetahui dengan jelas apa dan bagaimana partai, caleg, capres dan program-program serta impiannya bagi rakyat dan bangsa Indonesia ke depan. Karena saat ini mereka diberi waktu oleh panitia pemilu KPU, untuk menunjukkan diri, mempertontonkan diri, berpromosi di depan konstiuennya, di depan forum, di depan mass media dan atau di tengah lapangan. Biasanya mereka tidak menyia-nyiakan jadwal waktu yang sudah diberikan, untuk saling menunjukkan kemampuan, kapabillitas, visi, misinya dan esistensinya bagi masyarakat dan bangsa Indonesia ke depan. Walau kadang saking semangatnya lupa mengendalikan emosi, bahwa kampanye yang baik itu, harus tertib dan damai! Namun demikian ada saja yang tidak dapat mengendalikan emosinya, mungkin karena sudah kebiasaan dalam hidupnya sehari-hari, maka ketika dilepas di khalayak umum, maunya menang sendiri, egois dan membuat keributan saja. Media massa pun tentu membuka program empat mata, empat telinga bahkan ratusan mata dan telinga untuk wahana membantu kita mengetahui lebih jauh kegiatan kampanye ini secara instan. Maka kitapun sekarang bisa belajar dari sikap dan tingkah laku mereka yang akan menjadi wakil kita di Senayan 5 (lima) tahun ke depan, tentu dengan sikap dan perilaku massanya. Kita pun akan akan disuguhi berbagai tingkah laku aktivis partai yang sangat beraneka ragam; diantaranya ada yang menggunakan kecerdasannya, ada pula yang menggunakan cadas kepalanya, ada yang menggunakan ototnya, ada yang menggunakan pikirannya, ada yang menggunakan dengkulnya, ada yang menggunakan hati nuraninya, ada pula yang berkobar-kobar jiwa dan raganya, ada yang menggunakan hikmat, keluhuran budi dan dharmanya, ada yang menggunakan keteladanan dan pencerahan tindakan dan langkahnya,... ada pula yang mengkombinasikan sebagian unsur2 di atas, ada pula yang mempraktikkan semua unsur dengan lengkap. Jadi ya memang macam-macamlah kiat dan praktik berpolitik dalam menggaet simpatik massa saat ini. Kadang kita tertawa geli, bahkan ngakak, atau mengangguk-angguk melihat tampilan dan kiat mereka. Jadi memang harus disyukuri karena tahap pemahaman berdemokrasi kita baru sampai tahap itu, namun harus terus berjalan dan berkembang. Maka dengan ini pula kita patut bersyukur kepada semua pihak yang terkait langsung, bagaimana proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan mulus dan lancar. Para pemimpin pun harus sadar untuk berusaha terus memberi contoh yang baik, bukan malah memberi contoh dengan saling membenci, saling mendiskreditkan dan saling tidak mau ketemu….trus ngapain di situ.. Teman saya bilang…”pemimpin macam apa itu..?!” Kalo pemimpin jaman dahulu dan jaman bahuela silahkan saja berperang dan bertengkar terus…. Karena maklum perkembangan keberadaban dan pemikiran mereka mungkin juga baru sampai pada tahap itu…. Tetapi Indonesia di era sekarang......adalah era kesadaran kemanusiaan yang tinggi, humanity yang baik, martabat yang baik, hukum dan ekonomi menjadi penting.... semua makhluk di bumi pun ingin hidup damai, sejahtera, berkembang, dan maju. Jadi ingat! Sekarang adalah era baru bagi Indonesia! Bagi generasi Indonesia ke depan! Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm ---------
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3