http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009032306240874

      Senin, 23 Maret 2009 
     
      OPINI 
     
     
     
Meragukan Legitimasi Pemilu 2009 

      Oyos Saroso H.N.

      Mantan santri Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

      Begitu membuka facebook, para kolega saya di Lampung maupun di Jakarta 
mencecar dengan berondongan pertanyaan: "Hai, bagaimana itu ceritanya KPU 
Lampung? Ente kan yang ikut menyeleksi? Jangan-jangan elu juga ikut terlibat?"

      Ketika saya pasang kabar kasus yang melilit KPU Lampung itu di status 
facebook, tanggapan dan keingintahuan muncul juga dari beberapa orang, antara 
lain dari Maspriel Aries (jurnalis di Palembang), Juri Ardiantoro (Ketua KPU 
DKI Jakarta), dan Andi Arief (Komisaris PT Pos Indonesia).

      Dialog lewat dunia maya itu muncul setelah Lampung Post memberitakan 
Ketua KPU Lampung Edwin Hanibal dan anggota KPU Pattimura diusulkan Bawaslu 
untuk dicopot. Selain mereka, anggota KPU Nanang Trenggono dan Sholihin 
diusulkan diperiksa.

      Saya sangat prihatin; bukan karena para komisioner itu secara pribadi 
kawan lama yang juga teman-teman baik saya. Mereka terpilih bukan karena saya 
mengenalnya secara pribadi, melainkan karena merekalah yang menurut KPU Pusat 
dianggap paling layak menjadi tim penyelenggara pemilu di Lampung.

      Meski dengan nada prihatin, saya menanggapi semua pertanyaan itu dengan 
enteng. Saya katakan tugas saya dan Tim Seleksi sudah selesai ketika 
menyerahkan 10 nama calon anggota KPU Lampung. Ketika itu tidak ada protes 
berarti.

      Kini, ketika para anggota KPUD Lampung tersandung masalah, secara pribadi 
saya merasa berdosa. Berdosa karena kalau kasus itu benar, pilihan saya dan Tim 
Seleksi lain ternyata salah. Kalau isu bahwa mereka terlibat desain besar 
bekerja untuk kekuatan tertentu adalah benar, mereka tidak hanya membohongi Tim 
Seleksi, tetapi mengingkari sumpah jabatan.

      Saya agak ragu soal desain itu. Yang paling mungkin, barangkali, adalah 
soal KKN. Hal itu bisa dilacak dari alur hubungan para anggota KPUD di tujuh 
kota/kabupaten dengan para anggota KPU Lampung. Baik itu hubungan kekerabatan 
maupun hubungan atas dasar sentimen lembaga. Untuk membuktikan itu perlu kerja 
keras.

      Namun, saya tidak mau masuk wilayah isu dan hukum. Biarlah hukum dan alam 
yang akan membuktikan apakah para anggota KPU itu benar atau salah.

      Yang menjadi pertanyaan mendasar: Pemilu 2009 sudah sangat dekat. 
Bagaimana legitimasi pemilu di tangan anggota KPU yang sedang dirundung 
masalah? Pertanyaan ini tidak hanya tertuju pada kasus KPU Lampung dan 7 KPU di 
kabupaten/kota di Lampung, tetapi bagi KPU Pusat dan seluruh KPU di Indonesia.

      Untuk menjawab itu, sebuah logika sederhana bisa diajukan: Yakinkah 
perjalanan kita menuju Krui akan sampai dengan selamat jika sopir bus yang 
membawa kita diragukan keahlian dan moralitasnya? Si sopir mungkin sudah punya 
surat izin mengemudi (SIM); memiliki legitimasi atau wewenang menjalankan 
mobil. Namun, apa gunanya kalau itu "SIM tembak"? Lebih parah lagi, sudah "SIM 
tembak", si sopir gemar mabuk pula. Ini pengandaian saja.

      Dalam buku wajib berjudul Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan 
Modern (Pustaka Utama Gramedia, 1994), Franz Magnis-Suseno menjelaskan ada tiga 
kemungkinan kriteria legitimasi: Legitimasi sosiologis, legalitas, dan 
legitimasi etis. Dalam legitimasi sosiologis, yang dipertanyakan sejauh mana 
kita sebagai anggota masyarakat meyakini wewenang pada seseorang, kelompok atau 
penguasa adalah wajar dan patut kita hormati?

      Di sinilah pertanyaan saya dalam kaitannya dengan kasus KPU Lampung 
mendapatkan korelasinya. Ketika ditemukan dugaan kasus di KPU Lampung dan KPU 7 
kota/kabupaten di Lampung, amat wajar kalau publik juga tidak bisa menghormati 
wewenang menyelenggarakan pemilu yang dimiliki KPU. Logika sederhananya: Kalau 
rekrutmen saja sudah banyak masalah, mungkinkah mereka bisa bekerja 
profesional? Kalau masyarakat sudah meragukan legitimasi penyelenggara pemilu, 
nilai legitimasi hasil pemilu menjadi berkurang. Atau lebih konkret lagi: 
Pemilu yang diselenggarakan lembaga yang diragukan kredibilitasnya, hasilnya 
pun layak diragukan legitimasinya.

      Kaitannya dengan legalitas, menurut Magnis, hal yang mendasar suatu 
tindakan dikatakan legal jika dilakukan sesuai dengan hukum atau peraturan yang 
berlaku. Legalitas, dengan begitu, menuntut wewenang dijalankan sesuai dengan 
hukum yang berlaku.

      Namun, legalitas bukanlah tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan 
wewenang politis. Artinya, meskipun dari sisi legalitas KPU Lampung bisa 
menyelenggarakan pemilu dan tetap dianggap legal, bobot nilai keabsahannya bisa 
jadi bukan 100 persen lagi. Sebab, legalitas yang mereka miliki tidak bisa 
dijadikan ukuran satu-satunya untuk mengatakan pemilu yang mereka selenggarakan 
menjadi sah secara politik.

      Dengan dasar ini, tidak bisa seorang komisioner di KPU Pusat mengatakan 
bahwa mau tidak mau pemilu legislatif harus dilaksanakan pada 9 April 2009. 
Sudah tak zamannya lagi seorang pejabat publik bekerja atas dasar "pokoke" atau 
"pokoknya". Pejabat publik harus mendasarkan pekerjaannya demi kepentingan 
publik untuk kebaikan bangsa dan negara.

      Yang tak kalah penting, menurut Romo Magnis, adalah legitimasi etis, 
yaitu pandangan tentang legitimasi yang mempersoalkan kekuasaan politik dari 
segi norma-norma moral. Legitimasi etis dimaksudkan untuk mengkritisi agar 
setiap tindakan negara--baik eksekutif, legislatif, maupun lembaga-lembaga 
independen semacam KPU--bisa dipertanyakan dari segi norma-norma moral.

      Kasus Lampung sebenarnya mirip dengan kasus di Sumatera Selatan; 
berkaitan dengan penetapan anggota KPU di sejumlah daerah. Bedanya, 
penyelesaian kasus KPU Sumsel lumayan taktis dan cepat. Dugaan keterlibatan 
anggota KPU Sumsel di parpol terbukti. Di Lampung, kasusnya bukan soal 
keterlibatan komisioner di parpol.

      Kasus para para komisioner di Sumsel segera ditindaklanjuti dengan 
pemeriksaan, rekomendasi, dan pencopotan. Ketua dan para anggota KPU Sumsel 
melanggar Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Eik Penyelenggara 
Pemilu dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

      Tentu, publik tidak berandai-andai para anggota KPU Lampung juga akan 
mengalami nasib seperti para komisioner di Sumatera Selatan. Kita masih berbaik 
sangka bahwa tuduhan dan isu itu tidak benar. Kita juga tetap mendukung KPU 
untuk menyelenggarakan Pemilu 2009 dengan catatan mereka bekerja dengan 
profesional dan tidak mencederai kepecayaan publik. Namun, kalau memang proses 
hukum menunjukkan bahwa mereka bersalah, apa boleh buat, hukum harus tetap 
ditegakkan. Bagaimanapun kepentingan publik dan bangsa harus lebih diutamakan.
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke