Refleksi : Apakah biografi Wiranto, Sutiyoso dan SBY akan segera  menyusul?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=124276


Biografi
Buku Sintong Menyodok Prabowo


Setidaknya dua kali Prabowo Subianto kena sodokan keras lewat karya buku tokoh 
penting di negeri ini. Yang pertama, lewat buku Detik-detik yang Menentukan 
karya mantan Presiden B.J. Habibie, yang diluncurkan dua setengah tahun silam. 
Habibie, antara lain, menceritakan kedatangan Prabowo ke Istana Merdeka, 22 Mei 
1998, memprotes pencopotannya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis 
Angkatan Darat (Pangkostrad).

Pada waktu itu, Habibie baru beberapa jam menjabat sebagai Presiden RI, 
menggantikan Soeharto yang lengser. Habibie menulis, ia mencopot Prabowo karena 
mendapat laporan dari Panglima ABRI (Pangab), Jenderal Wiranto, tentang adanya 
pergerakan pasukan Kostrad dari luar kota menuju Jakarta tanpa sepengetahuan 
Pangab.

Buku Habibie itu sontak membuat Prabowo geram. Lewat konferensi pers yang 
digelar sepekan berselang, 29 September 2006, Prabowo membantah tudingan bahwa 
ia ingin melakukan kudeta. Ia juga membantah bahwa "dirinya marah-marah dan 
menyebut Habibie sebagai presiden naif".

Kini sodokan serupa datang lagi lewat biografi Letnan Jenderal (purnawirawan) 
Sintong Panjaitan, berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang 
diluncurkan di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu. Bedanya, 
kali ini Prabowo bereaksi relatif kalem. Mungkin dia sengaja sedikit jaim alias 
jaga image.

"Terserah orang mau bicara apa. Ini kan negara demokrasi, setiap orang berhak 
menulis apa saja. Tapi dia tidak berhak mencemarkan nama baik orang lain," kata 
calon presiden dari Partai Gerindra itu usai meluncurkan buku Membangun Kembali 
Indonesia Raya di Jakarta, Kamis pekan lalu, atau sehari setelah peluncuran 
buku Sintong.

Dalam buku biografi setebal 520 halaman yang ditulis wartawan senior Hendro 
Subroto itu, Sintong memblejeti sekaligus menohok sosok Prabowo. Mulai seputar 
upaya Prabowo mengejar posisi KSAD, pencopotan Prabowo dari jabatan 
Pangkostrad, sampai penculikan sejumlah aktivis semasa Prabowo menjadi Danjen 
Kopassus.

Sintong, 68 tahun, juga mengungkap cerita terpendam tentang upaya counter coup 
d'etat ala Prabowo pada 1983. Pendeknya, Prabowo disebutkan beberapa kali 
melawan perintah atasan, melanggar prosedur kemiliteran, dan melakukan 
langkah-langkah yang bukan wewenangnya.

Toh, Prabowo tak terpancing. Ia menyatakan, pada saat ini rakyat sudah pandai 
menilai secara objektif. "Saya penganut falsafah Jawa: sing becik ketitik, sing 
olo ketoro. Artinya, yang baik akan ketahuan, dan yang buruk juga akan 
terlihat," ucap Prabowo.

***

Sintong, mantan Pangdam IX/Udayana yang juga mantan penasihat Presiden Habibie 
bidang hankam, mengisahkan dengan lugas apa yang dialami, didengar, dan 
dilihatnya. Misalnya soal kedatangan Kepala Staf Kostrad, Mayor Jenderal 
(Mayjen) Kivlan Zen, dan Danjen Kopassus, Mayjen Muchdi PR, ke kediaman 
Presiden Habibie di Patra Kuningan, 22 Mei 1998.

Habibie meminta Sintong menemui dua pejabat militer itu. Ternyata Kivlan dan 
Muchdi mendapat tugas dari Pangkostrad, Letnan Jenderal Prabowo, untuk 
menyampaikan surat yang diteken Jenderal Besar (purnawirawan) A.H. Nasution 
kepada Habibie. Surat itu sebenarnya ditulis tangan oleh Kivlan karena Nasution 
sedang sakit. Nasution tinggal meneken.

Surat itu berisi saran agar KSAD Jenderal Subagyo HS diangkat menjadi Pangab, 
sedangkan Pangab Jenderal Wiranto diangkat menjadi Menteri Hankam. Adapun 
Prabowo diusulkan menjadi KSAD. Selain itu, juga disarankan agar diadakan 
pemisahan antara jabatan Pangab dan Menteri Hankam.

Pada hari yang sama, Sintong mengisahkan, Wiranto melaporkan kepada Habibie 
bahwa telah terjadi pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju 
Jakarta. Juga adanya konsentrasi pasukan di sekitar kediaman Habibie di Patra 
Kuningan. Semua mobilisasi pasukan itu tanpa sepengetahuan Pangab Wiranto.

Habibie memutuskan bahwa keberadaan pasukan di luar sepengetahuan Pangab itu 
tak dapat dibiarkan karena akan mempengaruhi para komandan lainnya untuk 
bertindak sendiri-sendiri dengan alasan apa saja, tanpa koordinasi lagi dengan 
Pangab. Lantas Habibie memerintahkan, jabatan Pangkostrad harus 
diserahterimakan hari itu juga, sebelum matahari terbenam. Prabowo diberi 
jabatan sebagai Komandan Sesko ABRI.

Sintong mengaku tidak ikut campur dalam masalah pencopotan Prabowo itu. Alumnus 
Akademi Militer Nasional (AMN) 1963 ini malah merasa kaget. Prabowo sendiri 
baru mengetahui dirinya dicopot dari jabatan Pangkostrad ketika berkunjung ke 
kantor Fanny Habibie (adik kandung B.J. Habibie) di kantor Otorita Batam pada 
22 Mei itu, pukul 13.30.

Satu setengah jam kemudian, Prabowo meluncur ke Istana Negara dengan membawa 12 
pengawal, mengendarai tiga mobil Landrover. Sintong mendapat laporan dari 
ajudannya bahwa Prabowo langsung naik lift ke lantai IV, tempat Habibie 
berkantor, tanpa diperiksa dan disterilkan. Sintong memerintahkan seorang 
pengawal presiden berpakaian preman melucuti senjata Prabowo secara baik-baik.

Ia lega, karena Prabowo bersedia menanggalkan kopelrim dengan pistolnya, 
magasin peluru, dan sebilah pisau rimba. Prabowo pun diterima Presiden Habibie, 
berbicara empat mata. Sintong tidak memaparkan apa isi pembicaraan itu. 
Sedangkan dalam buku Detik-detik yang Menentukan, Habibie memaparkan ucapan 
Prabowo yang bernada keras, memprotes pencopotannya sebagai Pangkostrad.

"Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya, Presiden 
Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad," kata Prabowo dengan 
nada tinggi. Lalu ada kalimat lebih ketus: ''Presiden apa Anda? Anda naif!" 
kata Prabowo, seperti tertulis dalam buku biografi Habibie.

***

Selain kisah tentang penculikan aktivis, ada kisah lain lagi mengenai Prabowo 
yang diungkap Sintong. Prabowo disebutkan pada 1983 sempat berupaya melakukan 
counter kudeta dan hendak menculik sejumlah jenderal yang ia duga akan 
melakukan kudeta. Pada waktu itu, Prabowo berpangkat kapten, menjabat sebagai 
Wakil Komandan Detasemen 81/Antiteror Kopassandha.

Detasemen 81 merupakan satuan yang dikehendaki L. Benny Moerdani dalam 
menghadapi teroris. Ketika itu, Letjen Benny menjabat sebagai Asisten 
Hankam/Kepala Intelstrat/Asintel Kopkamtib. Hubungan Detasemen 81 dengan pihak 
intelijen hankam sangat dekat. Satuan elite ini dipasok informasi oleh staf 
intelijen hankam, demikian pula sebaliknya.

Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Komandan Detasemen 81/Antiteror, 
Mayor Luhut Pandjaitan, dikejutkan oleh laporan anak buahnya bahwa Detasemen 81 
sedang siaga atas perintah Kapten Prabowo. Mereka sudah membuat rencana 
menculik Letjen Benny Moerdani dan beberapa perwira tinggi lainnya. Yaitu, 
Letjen Sudharmono, Marsdya Ginandjar Kartasasmita, dan Letjen Moerdiono.

Luhut mengaku tidak mengerti tentang rencana tersebut. "Kok, aneh. Ada soal 
begini, saya sebagai komandan kok nggak tahu," katanya. Akhirnya Luhut 
memberikan perintah tegas, "Nggak ada itu. Sekarang kalian semua kembali siaga 
ke dalam. Tidak seorang pun anggota Den 81 yang keluar pintu tanpa perintah 
Luhut Pandjaitan sebagai komandan."

Luhut segera memanggil Prabowo. Namun ia langsung ditarik Prabowo keluar dari 
kantor. "Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap," kata Prabowo. 
Pak Benny mau melakukan coup d'etat," Prabowo memberikan informasi rahasia.

"Coup d'etat apa?" tanya Luhut.

"Pak Benny sudah memasukkan senjata...," kata Prabowo.

"Senjata untuk apa?" tanya Luhut lagi.

"Ada, Bang. Senjata dari anu mau dibawa ke sini untuk persiapan coup d'etat," 
jawab Prabowo.

Luhut membenarkan bahwa Benny Moerdani memasukkan senjata, antara lain AK-47, 
SKS, dan senjata antitank. Tetapi senjata itu adalah senjata dagangan untuk 
Pakistan, yang selanjutnya akan disalurkan kepada pejuang Mujahiddin 
Afghanistan untuk melawan Uni Soviet. Operasi intelijen oleh Benny Moerdani ini 
dalam rangka mencari dana dan menunjukkan peran Indonesia dalam perjuangan di 
Asia.

Luhut kemudian melaporkan hal itu kepada Kolonel Sintong Panjaitan, Komandan 
Grup 3/Sandiyudha di Kariango, Makassar. Sintong dalam bukunya itu sampai 
menyimpulkan bahwa counter-coup d'etat yang direncanakan Prabowo merupakan 
rekayasa yang mirip dengan rekayasa ala Letkol Untung, Komandan Batalyon 
1/Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, ketika menculik sejumlah jenderal 
Angkatan Darat pada 1965.

Atas saran Sintong, Luhut kemudian melapor kepada Wakil Danjen Kopassandha, 
Brigjen Jasmin. Pada waktu itu, Danjen Kopassandha, Mayjen Yogie S.M., telah 
menjadi Pangdam III/Siliwangi, tapi jabatan Danjen Kopassandha belum 
diserahterimakan. Luhut dan Prabowo menghadap Jasmin.

Prabowo marah-marah karena Jasmin tidak percaya perihal rencana Benny Moerdani 
melakukan coup d'etat. Luhut sampai menurunkan tangan Prabowo yang menuding 
muka Jasmin. Setelah Luhut dan Prabowo keluar ruangan, Jasmin memanggil Luhut 
kembali masuk ruangan.

"Hut, untung kamu ada di sini. Ada apa dengan Prabowo? Coba kamu amati. 
Kayaknya dia sedang stres berat," ucap Jasmin.

Persoalan ini sampai juga ke Menhankam/Pangab, Jenderal M. Jusuf. Setelah 
mendengar penjelasan sejumlah jenderal, Jusuf menyimpulkan, isu rencana coup 
d'etat itu tidak ada dan persoalan dianggap selesai.

Namun Sintong sendiri percaya, kabar tentang kudeta 1983 itu berperan 
menjatuhkan karier Benny Moerdani, yang diikuti tersingkirnya sejumlah perwira 
yang dinilai sebagai orangnya Benny. Sintong dan Luhut merasa termasuk di 
antaranya.

***

Sintong menegaskan, buku biografinya tidak bernuansa politis, tidak pula 
bertujuan mencari popularitas. Menurut Sintong, buku itu dimaksudkan agar 
kebenaran diungkapkan dan ditegakkan. "Buku ini sama sekali bukan merupakan 
manipulasi politik untuk menghakimi atau menyalahkan seseorang atau pihak 
tertentu," kata Sintong.

Ia juga menampik anggapan bahwa buku itu ada yang mensponsori untuk menjegal 
langkah pihak tertentu, mengingat peluncurannya menjelang pemilu Toh, kesan 
menjegal pihak tertentu tetap saja sulit dihilangkan. Apalagi, usai peluncuran 
buku itu, Sintong kembali menegaskan bahwa Prabowo, juga Wiranto, harus 
bertanggung jawab atas sejumlah kasus pada saat mereka menjabat.

Wiranto, yang kini calon presiden (capres) dari Partai Hanura, dinilainya harus 
bertanggung jawab atas insiden kerusuhan Mei 1998. Dalam bukunya itu, Sintong 
menganggap Wiranto gagal menangani kerusuhan. Sedangkan Prabowo, capres dari 
Partai Gerindra yang popularitasnya tengah melesat, harus bertanggung jawab 
atas kasus penculikan sejumlah aktivis.

Terlepas dari apakah keduanya terlibat langsung atau tidak dalam kasus itu, 
sebagai pemimpin, menurut Sintong, mereka harus bertanggung jawab. 
"Pertanggungjawaban mereka belum selesai," katanya. Soal pertanggungjawaban 
ini, Prabowo mengatakan, "Terkait penculikan aktivis, saya sudah 
mempertanggungjawabkan di Dewan Kehormatan Perwira," ujarnya.

Wiranto juga enggan berkomentar banyak. Ia menilai, buku Sintong hanya melihat 
dari satu sisi, sehingga tidak mungkin mendapat kebenaran. "Saya tidak akan 
mempermasalahkan buku Pak Sintong. Itu sekadar menambah khazanah sejarah 
bangsa. Saya tidak mau capek-capek mengurusi hal itu," katanya.

Dalam pengamatan Soetojo Darsosentono, ahli komunikasi dari Universitas 
Airlangga, Surabaya, selama ini banyak sejarah perjalanan bangsa ditulis para 
pelaku sejarah. Karena bersifat pribadi, tentu ulasannya sesuai dengan 
pengamatan dan penilaian mereka masing-masing.

Karena itu, mengenai kebenaran sejarah dalam buku Sintong, menurut Soetojo, 
masih perlu kajian mendalam. "Buku itu merupakan sejarah pribadi Sintong. Soal 
benar atau tidaknya, biar masyarakat yag menilai, sebab buku itu sudah milik 
publik," Soetojo menegaskan.

Taufik Alwie, Cavin R. Manuputty, dan M. Nur Cholish Zaein
[Nasional, Gatra Nomor 19 Beredar Kamis, 19 Maret 2009] 

Kirim email ke