=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Melirik Indonesia sebagai Model Kerukunan 
Jumat, 27 Maret 2009 | 02:40 WIB 
Oleh : PAULINUS YAN OLLA 
Sebuah seminar yang menampilkan Indonesia sebagai model kehidupan bersama dalam 
kerukunan sekalipun berbeda-beda, unità nella diversità, baru saja diadakan di 
Roma (Antara, 4/3). 
Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini dalam sambutannya pada awal seminar 
jelas-jelas ”meminang” Indonesia menjadi pelaku perdamaian. Tawaran serupa 
telah diutarakan pula Perdana Menteri Australia (The Jakarta Post, 26/2) dan 
beberapa negara lain yang ingin melamar Indonesia sebagai mitra dalam 
percaturan relasi internasional (Kompas, 27/2). 
Mengapa kerukunan Indonesia ingin dijadikan model oleh berbagai pihak di ranah 
internasional? Apa yang menarik dan karenanya sangat diharapkan dari Indonesia 
dalam pergaulan internasional? 
Seminar di Roma membidik salah satu unsur sentral kearifan budaya (cultural 
wisdom) Nusantara yang kini mempunyai nilai pikat dan relevansi sangat tinggi, 
yakni kemampuan hidup bersama secara rukun dalam perbedaan. Sering terjadi 
pergesekan dalam relasi, tetapi keharmonisan telah menyejarah dan menjadi 
pengalaman dominan dalam hidup bersama di Indonesia. 
Bhinneka Tunggal Ika menjadi daya pikat ketika di berbagai belahan Bumi terjadi 
konflik dan ketakutan akan terjadinya benturan antarbudaya. Ketakutan itu 
terlihat, misalnya, dari sikap panik negara-negara Eropa yang kehilangan akal 
menghadapi imigrannya yang berbudaya dan berkeyakinan lain. Kemampuan Indonesia 
untuk meramu perbedaan ratusan suku, bahasa, etnisitas, atau perbedaan agama 
menjadi sebuah harmoni tidak dapat diabaikan ketika dunia seakan disekap 
ketakutan terhadap orang asing (xenofobia) dan kebingungan dihadapkan pada 
pembauran manusia dalam keberagamannya di era globalisasi. 
Pernyataan Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni, dobbiamo essere cattivi 
(kita harusnya jahat) terhadap orang asing, menjadi contoh lain kepanikan dan 
ketakutan menghadapi serbuan pendatang dengan keragaman agama, budaya, dan 
nilai hidup yang menyertainya (Corriere della Sera, 9/2). 
Unsur Islam dan keharmonisan relasi antaragama di Indonesia menjadi daya pikat 
lain yang menaikkan pamor Indonesia pascaperistiwa serangan teroris, 11 
September 2001. Islam Indonesia menampilkan wajah yang ramah dan moderat yang 
mampu hidup damai bersama agama-agama lain. Italia, seperti diungkapkan Franco 
Frattini, menginginkan Indonesia sebagai jembatan antara Barat dan Timur 
Tengah. 
Politik identitas 
Jonathan Sacks dalam usahanya mencari jalan untuk menghindari terjadinya 
benturan antarbudaya (the clash of civilizations) memperlihatkan adanya sebuah 
transformasi dari abad ke-20 ke abad ke-21, yakni perubahan dari politik 
ideologis ke politik identitas. Agama dalam politik identitas berperan sangat 
penting karena menjadi sumber jawaban atas identitas. Namun, pada saat yang 
sama, ia menjadi sumber perbedaan yang bisa melahirkan konflik (Jonathan Sacks, 
The Dignity of Difference: 10-11). Indonesia dapat disodorkan sebagai model 
kerukunan karena tampaknya berhasil menjawab kekhawatiran banyak orang yang 
mencurigai agama-agama sebagai sumber konflik. 
Apakah berbagai tawaran menjadi model perdamaian dan kesempatan menjadi duta 
perdamaian itu akan dimanfaatkan Indonesia? Tantangan utama bagi Indonesia 
adalah agar mampu menjadi jembatan/perantara yang dapat dipercaya. 
Sebuah jembatan hanya berfungsi ketika bisa menghubungkan dua sisi. Indonesia 
akan lebih mapan posisinya sebagai mediator bila meninjau kembali sikapnya 
terhadap negara-negara yang dianggap sebagai ”musuh”. Mediasi memerlukan 
kekokohan sikap, tetapi itu tidak berarti tidak mengajak yang dianggap musuh 
untuk duduk di meja perundingan. 
Tantangan lain adalah apakah Indonesia sendiri menyadari kekayaan serta 
keberagamannya sebagai sesuatu yang berharga? Ketika memasuki pertarungan 
kekuasaan dalam pemilu mendatang, ada partai politik yang mengusung isu 
pluralitas sebagai janji (The Jakarta Post, 1/3). Hal itu patut dikritisi 
karena pluralitas Indonesia bukanlah sebuah pengalaman yang bisa diklaim seakan 
buatan atau hadiah partai tertentu. Ia menyentuh dasar keberadaan bersama 
sebagai bangsa dan karenanya siapa pun yang berkuasa sebagai pemimpin wajib 
memeliharanya. 
Praktik kerukunan hidup bersama di Indonesia di ranah internasional tampaknya 
dimaknai sebagai pembalikan dan jawaban atas tesis the clash of civilizations. 
Agama-agama di Indonesia ternyata mampu menjadi sumber identitas yang 
meneguhkan dalam globalisasi yang membuat manusia kehilangan orientasi. Mereka 
dapat pula merajut perdamaian dan merekat kesatuan dalam perbedaan. 
Semoga kerukunan Indonesia yang dilirik bangsa lain dapat dimanfaatkan dan 
bukannya dirusak oleh bangsa sendiri! [Paulinus Yan Olla Lulusan Program 
Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; 
Bekerja di Roma, Italia -Kompas]. 
------- 
Harmoni kehidupan kebhinekaan masyarakat Indonesia, toleransi, kerukunan, 
keyakinan, dan kepercayaan untuk saling memahami dan menghargai menjadi 
pilar-pilar kokoh bagi fundamental perjalanan bangsa Indonesia menuju masa 
depan. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju, aman dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
-------



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Reply via email to