http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2009/03/28/krn.20090328.160818.id.html

Pelajaran dari Tragedi Situ Gintung
Sabtu, 28 Maret 2009 | 00:25 WIB


Tak ada bencana yang ditimbulkan oleh penyebab tunggal. Sebuah bencana pasti 
terjadi karena rangkaian sebab-akibat, yang kemudian memuncak menjadi tragedi. 
Itu pulalah yang terjadi pada jebolnya bendungan Situ Gintung di Ciputat, 
Tangerang, Banten, kemarin. Tragedi ini harus menjadi pelajaran bagi semua 
pihak. Tidak hanya pelajaran bagi pemerintah, khususnya departemen teknis yang 
bertanggung jawab atas konstruksi bendungan, tapi juga bagi masyarakat sekitar.


Tragedi ini memang tak pernah diduga. Siapa mengira danau seluas 23 hektare 
yang selalu tenang dan menjadi favorit bagi para penggemar memancing itu akan 
murka. Apalagi posisi danau ini boleh dibilang masih tergolong di kota, bukan 
di pedalaman, yang biasanya jarang mendapat perhatian dan perawatan. Tapi 
itulah yang terjadi. Danau ini jebol setelah tak kuat menahan limpahan air 
akibat hujan deras beberapa hari sebelumnya. Ratusan rumah musnah, korban jiwa 
sampai tadi malam sudah mencapai angka lebih dari 50 orang. 


Sebetulnya limpahan air tak akan mampu menjebol bendungan andai saja pihak yang 
bertanggung jawab lebih teliti merawat bendungan ini. Benar, ini merupakan 
bendungan tua. Dibangun pada 1933 oleh pemerintah Belanda, bendungan ini 
sejatinya cukup kukuh. Buktinya, berpuluh-puluh tahun menjalankan fungsinya 
sebagai penampung air hujan dan saluran irigasi, bendungan ini tak pernah 
menimbulkan masalah.


Masalah mulai muncul ketika area di sekitar bendungan makin padat oleh 
permukiman. Bagian lereng bendungan yang seharusnya bebas dari bangunan sudah 
penuh oleh perumahan. Akibatnya, struktur tanah penahan bendungan melemah. 
Kondisi makin parah karena batu-batu fondasi bendungan satu demi satu dicuri 
untuk bahan membangun perumahan. 


Bahkan aktivitas rekreasi, yang membuat bendungan ini menjadi hidup, ternyata 
ikut merusak struktur kekuatannya. Ini terjadi karena sempat dibangun area 
joging dengan "merapikan" lereng bendungan sehingga menjadi lebih tipis dari 
seharusnya. Maka jebolnya bendungan tinggal soal waktu. Bahkan dua tahun lalu, 
bendungan ini sudah menunjukkan tanda-tanda akan runtuh. Warga sekitar sempat 
melapor ke Dinas Tata Air, namun tak pernah mendapat perhatian, sampai akhirnya 
tragedi itu terjadi.


Kita mendapat pelajaran penting dari tragedi ini. Apa yang terjadi di Situ 
Gintung adalah kombinasi dari faktor perawatan konstruksi bendungan yang lemah, 
pengawasan yang nyaris tidak ada, tata pengaturan bangunan yang tak terkontrol, 
dan vandalisme oleh masyarakat sekitar. Hujan lebat akhirnya hanya menjadi 
faktor pemicu. Dengan kata lain, bendungan itu hancur bukan oleh faktor alam, 
melainkan oleh kelalaian manusia.


Pelajaran itulah yang harus dipetik pemerintah dan masyarakat. Di kawasan 
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi saja terdapat sedikitnya 210 buah 
situ, bendungan sejenis. Sebagian besar situ tersebut merupakan peninggalan 
Belanda. Satu demi satu bendungan itu, terutama yang konstruksinya mirip Situ 
Gintung, harus dicek ulang untuk memastikan tak akan terjadi bencana serupa. 
Momentum ini seharusnya juga dimanfaatkan untuk menginventarisasi dan 
memfungsikan kembali situ-situ, yang sebagian besar tidak lagi terawat, bahkan 
telah punah.

Kirim email ke