=================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Politik sebagai Janji 
Kamis, 2 April 2009 | 03:02 WIB 
Ingar-bingar janji memekakkan telinga kita belakangan ini. Di negeri ini, 
selain musim hujan beneran, ada juga musim hujan janji. Datangnya lima tahun 
sekali, menjelang pemilu seperti saat-saat ini. Setelah itu, kita memasuki lima 
tahun musim menanti, yang lebih pantas disebut musim kemarau pemenuhan janji. 
Persoalannya, apakah keliru menempatkan politik sebagai janji? Atau, bahkan, 
apakah pasti keliru kalau janji-janji politik lalu tak terpenuhi? 
Bukankah seorang pemikir besar, seperti Jacques Derrida, justru pernah 
berwacana bahwa janji merupakan matra konstitutif politik sebagai ”demokrasi 
akan datang” (democracy to come)? 
Justru karena dimensi janji tersebut, politik lalu mempunyai struktur 
messianik, mempunyai orientasi etis ekstratemporal untuk mengacu sehingga dapat 
melakukan penyempurnaan terus-menerus tak berkesudahan dalam mengejawantahkan 
’K’eadilan. Baginya, bahkan seandainya tak terpenuhi, janji masih tetap 
merupakan matra penting politik karena betapapun gagal, upaya-upaya memenuhinya 
meninggalkan jejak janji tersebut: meninggalkan jejak-jejak pergulatan etis 
mewujudkan keadilan. 
Seujung hidung 
Kalau sense of humor kita belum ikut-ikutan defisit tergerus krisis finansial, 
kita bisa terpingkal-pingkal melihat politik janji parpol kita seperti 
terpampang pada iklan pemilu mereka. 
Ada klaim sukses menurunkan harga BBM tiga kali berturutan. Padahal, tidakkah 
naik-turunnya harga BBM lebih bergantung pada harga minyak dunia? 
Ada rebutan klaim sukses swasembada beras, padahal sama-sama tidak pernah 
memacul sawah. Ada yang mengulang gimmick basi kontrak-kontrakan politik. Ada 
yang mendadak prihatin dengan penderitaan rakyat; ada yang mendadak merasa jadi 
juru bicara petani; ada yang mendadak prihatin dengan merajalelanya korupsi. 
Semacam itulah janji politik kita. Isinya cuma judul-judul mimpi atau klaim 
keberhasilan. Kurang programatis, defisit strategi apalagi kebijakan, dan 
terutama, alpa ideologis. Terkadang, bahkan ada unsur kibul-kibul yang sengaja 
pula. 
Kesamar-samaran sebagai gaya, sekarang menggejala dalam komunikasi politik 
kita. Karena itu, ketika janji tak terpenuhi, lalu dengan mudah bisa 
berkelat-kelit lewat perdebatan semantik, seperti pada pemakaian ukuran tingkat 
kemiskinan BPS atau Bank Dunia. Padahal, miskin ya miskin, nganggur ya 
nganggur. Tren kenaikan atau penurunannya mestinya tak berbeda pakai penggaris 
mana pun. 
Jangan-jangan segenap janji tersebut memang sekadar pragmatis. Yang penting 
rakyat percaya. Kalau kuasa sudah di tangan, urusan belakangan. Toh, rakyat 
Indonesia bukan masyarakat yang demanding; bukan penuntut yang bawel. Coba 
lihat, penandatanganan kontrak-kontrak politik pemilu lalu. Tak pernah ada yang 
menagih walau tak terwujud. Jadi, cuma gimmick politik seujung hidung. 
Janji ideologis 
Pada pemikiran Derrida, janji politik bukan hanya mungkin tak terpenuhi, 
melainkan bahkan tak mungkin sungguh terpenuhi. 
Maksudnya tentu bukan membenarkan politik dusta seperti janji kampanye para 
politisi kita. Baginya, struktur messianik politik menempatkan idealitas 
’K’eadilan — dengan K kapital; jadi keadilan pada posibilitas perwujudan paling 
optimalnya — sebagai janji di pengujung temporal politik. Jadi, janji tersebut 
bersifat tak berkesudahan (infinitudo) karena tak mungkin sepenuhnya tergapai; 
namun menjadi acuan bagi politik sebagai rangkaian pergulatan tanggung jawab 
etis manusia. 
’K’eadilan sebagai janji politik, lalu menjadi acuan ziarah artikulatif setiap 
keputusan politik sebagai tindak nilai. Rangkaian tindak politik lalu laiknya 
pesawat ulang-alik terus-menerus pulang-pergi mencocokkan-mengejawantahkan di 
antara idealitas ’K’eadilan dengan masing-masing penerapan kontekstualnya. 
Jadi, walaupun Derrida sendiri tidak suka dengan sebutan ini, politik 
semestinya mempunyai dimensi ”utopia” semacam ini. Utopia semacam ini berguna 
untuk menjadi acuan jangka panjang sehingga politik tak terjebak pada tetek 
bengek kekuasaan sesaat yang pragmatis. 
Tepat di sinilah persoalan mendasar politik kita. Dalam politik, rumah utopia, 
rumah cita-cita politik, adalah ideologi. Kebijakan parpol-parpol kita tak 
pernah jelas karena ketidakjelasan ideologi mereka. Sungguh kesulitan besar 
untuk membedakan kebijakan mereka masing-masing atas isu-isu sentral di negeri 
ini. 
Perubahan drastis kebijakan Amerika Serikat (AS) seharusnya menjadi pelajaran 
bagi kita mengenai arti sebuah ”janji” ideologis. Banyak pihak terheran-heran 
atas keputusan pemerintahan Barack Obama untuk lebih penetratif ikut campur 
menyelesaikan krisis finansial karena dianggap bertentangan dengan asas liberal 
yang dikampanyekan AS selama ini. Padahal, dalam tafsir atas doktrin negara 
minimal, ideologi sosial demokrat memang cenderung memberi peran lebih besar 
pada negara ketimbang ideologi liberal yang lebih konservatif karena penekanan 
lebih besar pada tanggung jawab negara menjaga kesejahteraan minimal 
masyarakat. 
Lewat perubahan ini justru tampak jelas, anggapan sementara pengamat kita 
selama ini bahwa tak ada lagi jarak ideologis pada politik di AS, sama sekali 
tidak benar. Perbedaan konsep mengenai minimum peran negara tersebut hanyalah 
salah satu contoh kecil saja. 
Celakanya, justru politik kita mengidap penyakit genting sehubungan dengan 
persoalan ini. Tiga dasawarsa pemberlakuan politik massa mengambang 
mengakibatkan anasir-anasir ideologis pada masyarakat kita tergerus habis 
pragmatisme kekuasaan. Akibatnya, politik tak lagi dipahami sebagai upaya 
mewujudkan cita-cita koeksistensial tertentu masing-masing dalam rangka ikut 
memberi aksentuasi pada imajineri kolektif kita sebagai bangsa. Politik lalu 
cuma dipahami sebagai upaya merebut kekuasaan dan kemudian memanfaatkannya 
untuk kepentingan kelompok sendiri, kalau malah tidak kepentingan pribadi. 
Politik kita menderita miopia, rabun jauh.  [BUDIARTO DANUJAYA Pengajar 
Filsafat Politik - Kompas] 
------- 
Memang janji adalah sebuah komitmen untuk ditepati, tidak lebih tidak kurang, 
pun demikian dengan masyarakat, pemimpin dan calon pemimpin Indonesia dimanapun 
ia berada, berkarya dan mengabdi bagi rakyat. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
 


 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke