================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Pecundang dan Demokrasi Kita
Jumat, 24 April 2009 | 03:35 WIB 
Oleh : Syafiq Hasyim 
Wacana publik pasca pemilu 9 April 2009 bisa dikatakan lebih didominasi 
pembicaraan tentang kisah sukses para pemenang: calon anggota legislatif yang 
lolos dan partai yang menang.
Hal ini setidaknya bisa dilihat dari bagaimana media kita menempatkan para 
pemenang dalam pemberitaan. Para pemenang dipuji dan diapresiasi meski tidak 
semua kemenangan dicapai secara fair dan demokratis. Ditambah lagi, para 
pemenang juga larut dalam euforia.
Sebaliknya, mereka yang kalah (caleg gagal dan partai kalah) menempati ruang 
pemberitaan yang kurang positif di media yang secara intensif menampilkan 
fenomena, misalnya caleg yang stres, depresi, marah serta fenomena lain yang 
timbul akibat kalah dalam pemilu legislatif lalu.
Kesannya, seolah-olah pecundang (the losers) kehilangan kontribusinya dalam 
kehidupan demokrasi kita. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Przeworski 
(1991), profesor politik New York University, pernah mengatakan, kehidupan 
demokrasi itu tidak hanya bergantung kepada para pemenang, tetapi juga kepada 
mereka yang kalah. Artinya, keduanya berperan penting untuk menjaga 
keberlanjutan kehidupan yang demokratis.
Pemojokan yang kalah
Persoalan bagi kita — terutama bagi para pemenang — adalah bagaimana memikirkan 
the losers ini. Kecenderungan media kita yang lebih cenderung menampilkan 
berita ”memojokkan” the losers dengan olok-olok dan satir harus diakhiri. Hal 
ini bisa mengakibatkan keadaan mereka kian terpojok dan kehilangan ruang dalam 
demokrasi. Lebih parah, ini juga bisa menggiring wacana publik, yang tidak 
kritis, kian meminggirkan eksistensi dan peran mereka (the losers).
Akibatnya, citra sebagai the losers kian terpuruk. Ini bisa mengancam masa 
depan kehidupan demokrasi kita. Memang ekspos atas the losers akan membantu 
publik dan mereka yang kalah untuk mawas diri dan mengambil lessons-learned 
atas proses politik yang sudah mereka lalui.
Namun, pada sisi lain, pengungkapan yang eksesif juga bisa menimbulkan trauma 
berat bagi mereka. Ini bisa mematikan ambisi mereka untuk mencalonkan diri lagi 
sebagai anggota DPR pada pemilu mendatang karena jika kalah (lagi), mereka akan 
menjadi obyek pemberitaan yang berat seperti sekarang. Matinya ambisi untuk 
berperan dalam politik elektoral akan berdampak pada matinya demokrasi. Jika 
demikian, kita telah melakukan investasi buruk atas pendidikan politik kita.
Pewacanaan para pemenang adalah hal penting. Namun, fakta menunjukkan, 
mayoritas the losers adalah bukan orang biasa saja. Minimal mereka adalah, 
pertama, orang yang telah membuktikan keberanian untuk berlaga dalam pemilu. 
Terlepas kalah atau menang, keberanian mereka patut dihargai.
Kedua, the losers, sedikit atau banyak, telah membangun dan memiliki network di 
daerah masing-masing. Selama kampanye, mereka telah membangun komunikasi, 
saling pengertian dan kerja sama lumayan lama dengan konstituennya. Bahkan, 
mayoritas mereka adalah pelopor, sekecil apa pun kepeloporannya di masyarakat. 
Ada juga yang tidak. Namun, dilihat dari profil masing-masing, hampir bisa 
dikatakan mayoritas mereka adalah pemimpin. Pendek kata, mereka memiliki 
kapital sosial - uang, jaringan, dan kepercayaan (Putnam, 1993).
Ketiga, jumlah mereka yang melebihi satu juta adalah aset demokrasi kita. 
Bayangkan jika satu juta dari mereka menggalang kekuatan melakukan perlawanan 
atas proses demokrasi yang sah, ini akan menjadi kemunduran besar bagi 
demokrasi kita. Karena itu, kita perlu membangun agenda untuk mengonsolidasikan 
the losers agar kekalahannya tidak menjadi alasan untuk merusak proses 
demokrasi.
Konsolidasi demokrasi
Alexis de Tocqueville mengibaratkan kehidupan demokratis laksana bangunan di 
atas pasir, artinya amat rentan akan berbagai guncangan, (Wolfgang Merkel, 
2005). Jika demokrasi tidak dilapisi dengan budaya masyarakat sipil, nasib 
kehidupan demokrasi akan terpuruk.
The losers adalah bagian dari masyarakat sipil. Karena itu, salah satu hal yang 
perlu diperhatikan agar konsolidasi demokrasi berjalan baik adalah bagaimana 
kita memberikan apresiasi kepada the losers atas kontribusinya dalam Pemilu 
2009. Pembiaran atas mereka dalam pemilu legislatif maupun presiden mendatang 
akan mengakibatkan munculnya persoalan yang bisa membahayakan konsolidasi 
demokrasi.
Benar, dalam politik lazim ada yang kalah dan menang. Namun, yang lebih penting 
adalah bagaimana pihak yang menang, dengan kemenangannya, bisa memberikan 
apresiasi atas pihak yang kalah. Ingat, mereka yang menang tidak akan selalu 
menjadi pihak yang menang. Sebaliknya, mereka yang kalah tidak selalu akan 
menjadi pihak yang kalah. Apalagi dalam sistem demokrasi, pertarungan politik 
masih mungkin terjadi di luar jalur politik elektoral. The losers masih 
memiliki kesempatan untuk bermain pada jalur politik non-elektoral, misalnya 
melalui organisasi profesi, LSM, dan civil society.
Atas dasar itu, apresiasi atas the losers adalah hal yang penting bagi 
demokrasi kita. Kita perlu mendukung the losers bahwa kegagalan kali ini bukan 
berarti kegagalan selamanya. Hal ini pula yang disarankan Przeworski, bahwa 
demokrasi akan terus terjaga jika the losers memiliki kesadaran bahwa kekalahan 
pada putaran pemilu bukan akhir segalanya, tetapi peluang untuk menang dalam 
pemilu mendatang. Hal ini lebih baik bagi mereka untuk menunggu putaran pemilu 
berikut daripada menjadi pemberontak. (Przeworski, 1991).
Namun, harus diakui, penanaman kesadaran seperti ini tidak mudah, perlu 
kesabaran terutama dari pihak yang menang dan pemerintah. Dengan kata lain, 
kita memerlukan pemenang yang mampu memberikan toleransi atas yang kalah. Salah 
satu caranya adalah bagaimana meyakinkan the losers dengan argumen, bukan 
dengan kekerasan. Pertanyaannya, mampukah para pemenang dan pemerintah 
menjalankan hal ini?  [Syafiq Hasyim Deputi Direktur International Center for 
Islam and Pluralism, Jakarta - Kompas]
-------
 
Menang atau kalah adalah  hasil akhir sebuah  permainan, hasil sebuah 
kompertisi dan kejuaraan....maka ketika para caleg telah belaga semaksimal 
mungkin menjelang pemilu caleg 9 April 2009 yang lalu, tentu hasil 
akhir tinggallah menjadi sebuah pilihan: menang atau kalah - semuanya mesti 
siap. 
Karena kehidupan demokrasi akan tumbuh dan berkembang baik apabila semua unsur 
menyadarinya untuk siap kalah atau menang. 
Dalam kehidupan demokrasi pun, menang atau kalah itu adalah sebuah pilihan. 
Hal yang sudah biasa. Jadi ya tidak masalah..!
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Reply via email to