Seluk-beluk dan hiruk-pikuk Pemilu 2009 (7)


Berhubung dengan banyaknya persoalan-persoalan yang « rumit » dan parah yang
berkaitan dengan pemilu 2009, dan untuk memberi kesempatan kepada banyak
kalangan mengikuti sekedarnya perkembangan hal-hal itu, maka disajikan di
bawah ini kumpulan berita  tulisan atau analisa (pendapat) yang terbaru
tentang pemilu lesgislatif dan pemilu presiden 2009. Biasanya, kumpulan
berita dan tulisan ini disajikan juga di website
http://kontak.club.fr/index.htm,Tetapi berhubung dengan kesulitan teknis,
maka untuk sementara waktu website tersebut tidak bisa diperbarui, sampai
kesulitan teknis itu dapat diatasi.  Harap maklum, dan mohon ma'af.



A. Umar Said



=========     ===========



Media Indonesia, 30 April 2009

Pemilu yang Melanggar Tenggat
PERNYATAAN berbagai kalangan bahwa Pemilu Legislatif 2009 merupakan
pemilihan umum terburuk sejak era reformasi bukanlah isapan jempol. Fakta
bahwa penyelenggaraan pemilu sangat amburadul juga kian benderang.

Bukti empiris paling mutakhir adalah ditabraknya tenggat rekapitulasi hasil
suara di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi. Jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, yakni 19 provinsi atau lebih dari 50%, dan 81 kabupaten
dan kota.

Padahal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu jelas-jelas
menegaskan batas akhir rekapitulasi hasil suara tersebut. Pasal 201 UU
Pemilu menyatakan penetapan hasil perolehan suara untuk calon anggota
legislatif di tingkat kabupaten/kota paling lambat 12 hari setelah
pemungutan suara, sedangkan untuk provinsi adalah 15 hari.

Pemungutan suara digelar pada 9 April 2009. Itu artinya tenggat penetapan di
kabupaten/kota adalah 21 April, sedangkan di provinsi pada 24 April.

Kenyataannya batas itu dilewati. Aturan tinggal aturan. Tanggal-tanggal yang
dipatok undang-undang tersebut ditabrak Komisi Pemilihan Umum (KPU)
kabupaten/kota dan provinsi tanpa ada perasaan bersalah. Lebih celaka lagi,
KPU pusat membiarkan aksi menabrak batas waktu itu dan memakluminya sebagai
sebuah kewajaran.

Amat gamblang bahwa logika berpikir dan bertindak dari penyelenggara pemilu
kali ini adalah 'asal selesai', 'asal terselenggara', dan 'asal selamat'.
Rakyat di seluruh negeri terus-menerus diminta memaklumi logika sesat
tersebut dengan alasan banyak hal baru dan aturan baru pada pemilu kali ini.

Bukankah UU telah memberikan ancang-ancang waktu yang baru pula kepada KPU?
Sebuah ancang-ancang waktu yang mestinya lebih memberikan keleluasaan kepada
kerja KPU kali ini jika dibandingkan dengan kerja KPU pada Pemilu 2004.

Tapi semua itu tidak ada gunanya. KPU tetap berjalan dengan sesukanya dan
yakin bahwa jalan sesat yang ditempuhnya benar.

Semua kenyataan itu kian mengukuhkan kebenaran pendapat bahwa amburadulnya
pemilu kali ini berlangsung sistematis, masif, dan eksesif. Sistematis
karena ia dibiarkan meskipun melanggar undang-undang. Masif ditunjukkan dari
luasnya wilayah yang melanggar batas waktu. Eksesif dibuktikan dari dampak
beruntun yang disebabkan pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Kalau tidak ada upaya keras untuk menghentikan kerusakan sistematis itu,
bukan hanya legitimasi pemilu legislatif yang tergerogoti, melainkan juga
legitimasi pemerintahan hasil pemilu presiden mendatang akan dipertanyakan.
Bukan tidak mungkin, tenggat proses pemilihan presiden yang dimulai pada 10
Mei mendatang pun akan ditabrak.

Karena itu, berbagai upaya memulihkan legitimasi yang rusak harus segera
dijalankan. Badan Pengawas Pemilu harus merekomendasikan pembentukan dewan
kehormatan untuk meminta pertanggungjawaban penyelenggara pemilu.

Membiarkan kerusakan sistemis terhadap pemilu sama saja dengan upaya
sistematis mengubur kembali demokrasi yang sudah dibangun susah payah.
Jangan sampai sejarah mencatat demokrasi di negeri ini dimakan anaknya
sendiri, yakni pemerintahan yang dibentuk pemilu yang demokratis.



* * *



Rabu, 29 April 2009



JK Akan Mendeklarasikan Pencalonannya pada 3 Mei



JAKARTA - Jusuf Kalla semakin percaya diri (pede) pada langkahnya yang siap
maju menjadi calon presiden (capres) bagi Partai Golkar. Bahkan, dia
berjanji mendeklarasikan pencalonannya, termasuk cawapres yang akan
digandeng, pada 3 Mei mendatang.

Padahal, sejauh ini belum terdeteksi secara jelas seberapa konkret komitmen
koalisi antara Golkar dengan partai-partai lain, termasuk dengan PDIP.
Meski, Kalla sudah terlibat pembicaraan serius dengan Megawati Soekarnoputri
(ketua umum DPP PDIP).

Soal itu, Kalla menyatakan, salah satu pasal paling alot dalam pembicaraan
koalisi adalah penentuan siapa yang menjadi capres dan siapa yang menjadi
cawapres. Itu terjadi karena seluruh parpol sudah memiliki capres. Namun,
Kalla yakin, dalam sehari-dua hari ke depan sudah diperoleh satu nama
capres-cawapres yang akan diusung bersama oleh sejumlah partai.

Dia yakin tokoh-tokoh dari sejumlah parpol yang berkoalisi nanti menurunkan
tuntutannya (dari capres ke cawapres) dan akan sepakat mengajukannya sebagai
capres. ''Sekarang sedang ada pembicaraan intensif. Saya yakin pada 3 Mei
(capres-cawapres) sudah kami deklarasikan,'' ujar Kalla dalam keterangan
pers di Media Lounge DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi,
Jakarta Barat, kemarin (28/4).

Tampaknya, dia percaya diri karena bisa jadi sudah mengantongi satu nama
cawapres, meski pembicaraan koalisi dengan PDIP dan Gerindra belum satu
kata. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa Kalla akan berkoalisi dengan
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto.

Setelah menyampaikan keterangan pers tentang ketetapannya untuk maju sebagai
capres, Kalla memang menemui Sekretaris Jenderal DPP Hanura Yus Usman
Sukmanegara serta sejumlah petinggi Hanura. Wiranto dan Kalla sebelumnya
bertemu empat mata pada Sabtu pekan lalu. Setelah berbicara selama sejam,
kedua tokoh tersebut sepakat membangun koalisi yang lebih besar dalam pemilu
presiden.

Bagaimana dengan perkembangan rencana koalisi antara Golkar dengan PDIP? Itu
pun, tampaknya, belum menunjukkan tanda-tanda signifikan, meski kemarin tim
enam PDIP dan tim enam Golkar terlibat pembicaraan tertutup di Hotel Nikko,
Jl M.H. Thamrin, Jakarta.

Pembahasan antara dua tim itu berjalan alot. Kedua tim belum bisa mencapai
kompromi mengenai formulasi koalisi yang akan dibangun. ''Kami ini kan tim
teknis yang hanya merumuskan kegiatan atau konsep, apa yang bisa dibangun
PDIP dan Golkar,'' ungkap Sekjen DPP Partai Golkar Soemarsono, salah seorang
anggota tim enam, setelah rapat.

Menurut dia, tim teknis kedua parpol baru sebatas merencanakan koalisi besar
enam partai politik, yakni Golkar, PDIP, Hanura, Gerindra, PPP, dan PAN.
Melalui koalisi besar itu, kata Soemarsono, diharapkan terbangun
pemerintahan yang kuat dan stabil, baik di kabinet maupun parlemen.

''Kami juga merencanakan pertemuan para ketua umum partai yang masuk koalisi
besar ini,'' ujarnya.

Dari tim enam Golkar, tampak pula para ketua DPP Partai Golkar. Di
antaranya, Burhanudin Napitupulu, Syamsul Muarif, Yuniwati, dan Simon
Patrismorin. Hanya Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar Surya Paloh yang
tidak hadir.

Dari kelompok PDIP, ada Sekjen PDIP Pramono Anung, anggota Dewan
Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Sabam Sirait, dan Ketua Badan Pemenangan
Pemilu (BP Pemilu) Tjahjo Kumolo. Ketua Deperpu PDIP Taufiq Kiemas, Ketua BP
Pilpres Theo Syafei, dan Ketua DPP PDIP Bidang Pemberdayaan Perempuan Puan
Maharani yang juga masuk tim enam tidak hadir dalam rapat tersebut.

Apakah Kiemas dan Surya Paloh yang selama ini aktif berusaha menjodohkan
PDIP-Golkar tidak hadir karena alotnya pembahasan? ''Kan sudah diwakili
Sekjen kedua partai,'' tegas Tjahjo Kumolo lantas tertawa.

Pramono Anung merasa optimistis koalisi besar itu bisa diwujudkan. Apalagi,
secara paralel, sudah ada pertemuan yang cukup intensif antara Mega-Prabowo,
Kalla-Wiranto, dan Suryadharma Ali, meski masih belum dipublikasikan.

Kalau PDIP berkoalisi dengan Golkar, siapa yang akan menjadi capres,
Megawati atau Kalla? ''Harus ada kebesaran hati untuk duduk bersama. Kami
meyakini akan ada kesepakatan, akan muncul satu nama, dan siapa nama itu
(tunggu saja, Red) dalam satu-dua hari ini,'' jawabnya.

Ketua DPP Partai Golkar Syamsul Muarif menambahkan, dalam waktu dekat Kalla
dan Megawati bertemu lagi. Sebelumnya, dua pucuk pimpinan itu bertemu di
kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jumat malam (24/4).

Dia menuturkan, rapat tersebut menyerahkan sepenuhnya keputusan final
mengenai bentuk koalisi, termasuk siapa yang harus ''mengalah'' kepada
Megawati dan Kalla. ''Tinggal gongnya di dua ketua umum. Soal
capres-cawapresnya juga kami serahkan kepada mereka berdua beserta
alternatif yang disiapkan,'' ungkapnya.

Apakah kesepakatan itu hanya berkaitan dengan PDIP dan Golkar? ''Tentu
tidak. Kalau hanya berdua, namanya bukan koalisi besar,'' tegas Syamsul.

Peluang JK-Wiranto

Pengamat politik Muhammad Qodari yang juga direktur Indo Barometer
memaparkan hasil surveinya, elektabilitas (tingkat keterpilihan) Jusuf Kalla
kini berada di kisaran empat persen, jauh di bawah SBY yang mencapai 45
persen dan Megawati 14 persen.

Elektabilitas Wiranto bahkan lebih rendah daripada Jusuf Kalla.

''Bila head to head dengan SBY-Hidayat Nurwahid dan Megawati-Prabowo,
pasangan JK-Wiranto sangat berat untuk menang. Mereka harus bekerja keras
dengan dukungan logistik yang sangat kuat," ujarnya.

Qodari menilai pasangan JK-Soetrisno Bachir lebih menarik daripada
JK-Wiranto. Meski tidak ada unsur militer, pasangan JK-Soetrisno Bachir akan
tertolong karena ada paduan tua-muda.

''Logistik Soetrisno Bachir juga lebih banyak daripada Wiranto. Kalau saya
lihat, logistik Wiranto sudah habis sehingga JK akan kelelahan karena harus
mengongkosi jauh lebih banyak," terangnya.

Golkar, menurut dia, seret jodoh karena nilai politis partai itu lebih
rendah daripada nilai elektabilitasnya di pemilu legislatif yang mencapai
14-15 persen.

''Ini karena internal Golkar tidak solid. Sehingga baik Megawati maupun SBY
ragu-ragu mengajak Golkar. Bisa jadi, keputusan partai koalisi dengan SBY,
tapi ada yang merapat ke Mega, begitu pula sebaliknya," paparnya.

Qodari menilai pasangan Megawati-Prabowo Subianto lebih di atas angin
daripada JK-Wiranto. Popularitas Megawati dinilai masih stabil, sementara
elektabilitas Prabowo masih bisa ditingkatkan. Satu lagi, kelebihan Prabowo
adalah dukungan logistik yang besar sehingga mampu mengimbangi logistik
Megawati yang mulai kehabisan napas.

Kalla Bantah Golkar Pecah

Jusuf Kalla kemarin menegaskan bahwa tidak ada perpecahan di tubuh Golkar.
Ini menjawab spekulasi yang sebelumnya menyebutkan bahwa mayoritas DPD I
melalui surat yang mereka buat minta agar JK menganulir pencalonannya
sebagai capres.

''Surat itu dianggap menghebohkan, seolah-olah ada kebijakan yang berbeda
dari keputusan rapimnas,'' kata Kalla. ''Dipersepsikan Golkar pecah, padahal
tidak ada yang pecah,'' tandasnya. (noe/pri/kum)



 * * *

 Kompas, 29 April 2009

 Koalisi Jumbo Sulit Kalahkan SBY

JAKARTA, KOMPAS.com — Koalisi besar atau jumbo yang digalang oleh PDI
Perjuangan dan Golkar diperkirakan masih sulit mengalahkan Susilo Bambang
Yudhoyono pada pilpres 2009. Sebab, suara masyarakat yang diberikan untuk
partai politik belum tentu sama saat pilpres.

"Koalisi bukan matematika. Ini asumsi lama yang gagal pada (pemilu presiden)
2004," kata peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin
Muhtadi, pada diskusi "Siapa Yang Bisa Mengalahkan SBY", di Jakarta, Rabu
(29/4).

Sebelumnya, pertemuan tim kecil Partai Golkar dan PDI-P sepakat membentuk
koalisi jumbo untuk memperkuat pemerintahan pada 2009-2014. Partai lain yang
akan diajak bergabung adalah Hanura, Gerindra, dan PPP.

Burhanuddin mengatakan, jika perolehan suara parpol tersebut dijumlah memang
cukup besar. Namun, katanya, elite partai jangan terjebak bahwa suara yang
diperoleh partai tersebut akan sama dengan suara yang akan diberikan kepada
capres yang diusung oleh koalisi besar tersebut.

Ia mengingatkan kejadian pada pilpres 2004. Saat itu, Megawati Soekarnoputri
yang didukung PDI-P, Golkar, dan partai lainnya kalah oleh Yudhoyono pada
putaran kedua pilpres. Padahal, suara parpol yang mendukung Yudhoyono kalah
jauh dengan parpol pendukung Megawati.

Burhanuddin juga mengatakan bahwa saat ini SBY sulit untuk dikalahkan,
kecuali ada momentum yang pas atau Yudhoyono melakukan kesalahan fatal.
"Belum ada sosok alternatif yang membuat pilpres lebih menarik," katanya.

Mengenai momentum yang bisa membuat tingkat keterpilihan SBY menurun,
Burhanuddin mengatakan, salah satunya adalah dampak krisis global. Namun,
katanya, saat ini pemerintahan Yudhoyono relatif dapat mengatasinya. "Oleh
banyak pihak, Indonesia dianggap lebih baik dibanding negara lainnya,"
katanya.

Namun, ia juga mengingatkan agar lawan Yudhoyono tidak menggunakan kampanye
negatif karena hal itu justru kontraproduktif. "Masyarakat tidak suka
sesuatu yang agresif dan menyerang," katanya.

* * *



Editorial Media Indonesia, 29 April 2009

Racun Kepentingan di Partai Politik
MENJELANG pemilu presiden Juli mendatang konflik mulai membayangi sejumlah
partai. Inilah konflik yang timbul akibat kencangnya kepentingan pragmatis
melawan kepentingan idealistis.

Kepentingan pragmatis adalah kepentingan untuk berkuasa. Caranya mendekatkan
diri kepada partai yang memenangi pemilu legislatif.
Itu sebabnya Partai Demokrat yang meraih suara terbanyak ibarat pelabuhan
yang siap menampung kapal mana pun untuk bersandar. Sebaliknya, pun siap
menolak kapal yang tidak diinginkannya.

Namun, magnet kekuasaan itu telah menimbulkan gesekan internal di sejumlah
partai. Itu terjadi di tubuh PPP, PAN, dan yang paling menonjol terjadi di
Golkar.

Kendati Rapimnas Khusus Partai Golkar telah mengamanatkan Jusuf Kalla
sebagai capres dan menutup pintu koalisi dengan Partai Demokrat, belakangan
muncul manuver sejumlah elite di tubuh partai berlambang pohon beringin itu
untuk kembali merapat ke Partai Demokrat.

Padahal, Rapimnas Khusus Partai Golkar jelas-jelas telah menetapkan JK
berpisah dengan SBY. Mengambil langkah pragmatis bergabung kembali dengan
yang berkuasa bukanlah investasi politik yang menguntungkan bagi Golkar
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Golkar kemudian bulat mengajukan JK
sebagai calon presiden.

Akan tetapi, keputusan rapimnas khusus itu kemudian diganggu oleh manuver
sejumlah elite Golkar yang masih mau menonjolkan kepentingan pragmatis tanpa
melewati mekanisme partai.

Yang menjadi persoalan ialah mengapa partai gampang benar retak? Mengapa
partai mudah pecah belah hanya karena terjadi tarik-menarik kepentingan
elite? Tidakkah itu bukti lemahnya leadership yang menimpa banyak partai?

Pemimpin partai, entah kolektif atau individual, kerap gagal mengakomodasi,
menyatukan, dan menjaga kepentingan partai yang harus sama-sama
diperjuangkan.

Selain itu, banyak partai yang tidak memiliki kohesi kepengurusan yang kuat
yang disusun berdasarkan samanya visi, misi, dan arah perjuangan partai ke
masa depan.

Bahkan, tidak berlebihan untuk mengatakan umumnya pengurus partai hanya
bekerja lima tahun sekali menjelang pemilu. Tanpa bekerja keras, lalu
membangun mimpi dengan mematok target perolehan suara yang sangat tinggi
pada pemilu.

Misalnya saja, Golkar memasang target 30%, PDIP 34%, Demokrat 20%, PKS 20%,
PPP 15%, dan PAN 15%. Faktanya banyak partai yang gagal memperoleh suara
seperti yang dicanangkan.



* * *




No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG.
Version: 7.5.557 / Virus Database: 270.12.7/2085 - Release Date: 28/04/2009
18:02

Kirim email ke