Kemungkinannya 98% AA Divonis Bebas Meskipun Bersalah
                                       
Banyak masyarakat di Indonesia buta hukum, bahkan para pejabatnya sekalipun 
tidak mengerti hukum....  Bahkan lebih parah lagi, para ahli hukum, para pakar 
hukum di Indonesia tidak paham arti hukum bagi menegakkan keadilan.

Masalah berkaitan dengan suasana ruang pengadilan memang banyak orang2 di 
Indonesia tahu dan bisa membayangkan, antara lain adalah adu argumentasi, adu 
bukti, adu alibi, adu saksi, bahkan adu saksi ahli.  Katakanlah, setalah diadu 
segalanya, akhirnya terdakwanya kalah tidak bisa lagi mungkir, pembelanya juga 
sudah ngaco tidak punya argumentasi lagi pada akhirnya dan cuma bisa teriak dan 
bentak2 diruang pengadilan.

Akhirnya, setelah semua hadirin yang menyaksikan proses pengadilan ini merasa 
yakin bahwa sang terdakwa akan divonis bersalah dan akan dihukum oleh hakimnya. 
 Maka pada hari pembacaan vonisnya, sang hakim berpidato dulu sebagai pengantar 
panjang lebar, dan akhirnya para hadirin melongo, bingung dan heran, sang hakim 
ketuk palunya, "tidak terbukti terdakwa bersalah", terdakwa bebas.

Begitulah kejadian yang terjadi dengan Muchdi.  Para hadirin teriak2 bilang 
enggak adil, hakim disogok, sumpah serapah, keluarga korban menangis merasa hak 
azasinya didholimi hakim dll.

Maki maki dan sumpah serapah tidak bisa mengubah vonis, yang salah itu bukan 
hakimnya, bukan terdakwanya, juga bukan korbannya, YANG SALAH ITU SYSTEM 
PENGADILANNYA ITU SENDIRI.

System pengadilan RI itu sebenarnya bukan pengadilan, karena untuk menetapkan 
siapa yang salah bukan seharusnya sang hakim melainkan Jury.  Naaah....  
disinilah letaknya akal2an itu, karena hakim itu manusia yang bisa disogok, 
bisa tidak adil, bisa macem2.  Hakim itu punya interest, dalam memberi 
keputusan dia bisa mempertimbangkan untung ruginya bagi diri sendiri, bagi masa 
depannya, bagi keselamatannya seperti hakim Syarifudin yang mati ditembak 
karena memberi vonis bersalah kepada si Tommy.

Seharusnya, yang menentukan bersalah atau tidaknya bukanlah hakim melainkan 
para jury sedangkan hakim hanyalah membacakan besarnya hukuman apabila jury 
sudah menyatakan bersalah, dengan cara inilah sang hakim tidak akan mampu 
mengatur keadilan.

Jury2 itu dipilih secara random dari masyarakat warga dari kota dimana 
pengadilan itu berlokasi.  Setiap jury diperiksa latar belakangnya yang harus 
betul2 netral, apabila ada jury yang tidak memenuhi persyaratan maka jury-nya 
diganti.  Dalam setiap peradilan, jumlah jury itu ada 12 orang dan juga ada 
cadangan.  Nama2 dan alamat para jury dirahasiakan, bahkan para jury itu tidak 
diberi tahukan nama terdakwa dan kasus apa yang akan disidangkan.  Jury hanya 
tahu nantinya diruang pengadilan.  Keputusan jury harus absolut, apabila ada 
satu saja jury yang ragu2 terhadap kesalahan terdakwa, maka jury dibubarkan dan 
diganti jury lainnya.  Semua jury itu tidak ada yang dibayar tetapi dijamin 
antar jemput atau diberi ongkos jalan tergantung lokasinya.  Berdasarkan UU 
negara, tugas Jury itu harus bolos kerja dan perusahaan wajib membayar penuh 
gajinya.

Dengan system jury begini, si Tommy tidak mungkin bisa menyalahkan hakimnya, 
apalagi menembaknya seperti nasib hakim Syarifudin yang ditembak mati gara2 
memvonis Tommy bersalah.  Melayanglah nyawa hakim Syarifudin, padahal kalo dia 
beri vonis bebas malah dibayar banyak sekali oleh si Tommy.  Jadi nasib hakim 
Syarifudin itu cuma dua, mati ditembak Tommy, atau kaya raya disogok si Tommy.  
Rupa2nya si hakim Syarifudin yakin bahwa Allah melindungi yang jujur, dan 
kejujurannya itulah akhirnya Syarifudin harus menghadap ilahi.

Naaah....  kalo si Muchdi yang cuma tentara geblek aja bisa bebas, apalagi si 
Antasari yang justru jaksa paling top di Indonesia yang berpengaruh disemua 
kejaksaan diseluruh Indonesia, berpengaruh disemua pengadilan diseluruh 
Indonesia.

Rani isteri Nasrudin sekarang menjadi saksi kunci, dia dilindungi oleh polisi 
karena kalo sampai dia mati ketembak atau hilang diculik, maka pengacara 
Antasari bilang bahwa si Rani itu pembual makanya dia lari ketakutan, takut 
karena bohongnya akan dibongkar dan bisa dipenjara.

Strategi para pengacara top Antasari adalah melepaskan si Rani dari kontrol 
perlindungan polisi.  Caranya gampang, teman2 kolega Antasari mendadak 
mendirikan lembaga perlindungan saksi dan korban.  Lalu para pengacara2 top ini 
menuntut kepada polisi agar saksi Rani ini dilindungi dibawah lembaga milik 
para pengacara ini yang mereka namakan "lembaga perlindungan saksi dan korban". 
 Alasan para pengacara ini katanya dalam kasus ini kepolisian itu juga jadi 
tersangka, apalagi pembunuhan itu melibatkan Kombes yang masih aktif.  Padahal 
Kombes Pol WW yang memerintahkan pembunuhan inipun tidak dinon-aktifkan.  
Naah......  posisi kepolisian disini sudah hancur sehingga tak mungkin bisa 
bertahan lagi.  Mau enggak mau, si Rani harus dilepaskan, tapi kalo dilepaskan 
bebas tentunya bisa diculik orang2 Antasari.  Tapi kalo diserahkan kepada 
Lembaga perlindungan saksi dan korban, maka si Rani bisa dicuci otaknya dan 
memberi kesaksian  yang membebaskan si Antasari.  Gampang koq membujuk si Rani, 
cukup kasih tahu, jangan kamu mencemong muka kamu sendiri....  maka waktu 
ditanya urusan selingkuh wajar kalo si Rani akan menyangkalnya.

Maka siap2lah kita semua untuk menerima kenyataan bahwa si Antasari 
kemungkinannya 98% divonis bebas.  Kalo Muchdi yang begitu jelas kesalahannya, 
jelas bukti2nya, ternyata bisa bebas.....  apalagi si antasari yang professinya 
memang memutar balik hukum sepanjang hidupnya ini.

Naaah.....  kalo pakai system juri, kemungkinan si antasari bisa lolos adalah 
0.00002%.  Sayang di Indonesia enggak digunakan system Jury, karena dulunya 
Bung Karno sudah memikirkan bahwa pejabat negara harus kebal hukum sehingga 
vonis salah benarnya semua pengadilan ditetapkan oleh hakimnya, sedangkan 
hakimnya bisa didikte oleh jendral2 dan presiden.  Di-negara2 maju tidak bisa 
cara2 begitu, itu namanya penipuan bukan pengadilan.

Ny. Muslim binti Muskitawati.



Kirim email ke