http://www.sinarharapan.co.id/berita/0905/07/sh05.html

Perempuan di Parlemen Kurang dari 8 Persen 

Oleh
Stevani Elisabeth



Jakarta - Perhimpunan Demokrasi untuk Pemilu (Perdemlu) memprediksi perempuan 
yang duduk di parlemen, berdasarkan hasil Pemilu 2009, jumlahnya kurang dari 
8%. 

Penurunan jumlah ini dikarenakan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 
Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, yang menyebutkan bahwa calon 
anggota legislatif (caleg) terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. 
"Dengan putusan MK tersebut, banyak caleg perempuan yang potensial tidak 
terpilih. Kita sudah betul melaksanakan pencalonan sistem zig-zag. Kalau kita 
ingin mencapai affirmative action, maka harus pakai sistem tertutup," tegas 
Ketua Perdemlu, Didi Supriyanto, pada pembekalan bagi caleg perempuan 
pasca-Pemilu Legislatif 2009, di Jakarta, Rabu (6/5).


Dia menambahkan, keterwakilan perempuan di parlemen memang cukup ironi. Pada 
tahun 1987, perempuan di parlemen ada 65 orang (13%) dari 500 anggota parlemen. 
Tahun 1992, ada 62 perempuan (12,50%), tahun 1997 ada 54 perempuan (10,80%), 
tahun 1999 ada 45 perempuan (9%), tahun 2004 ada 61 perempuan (11,09%) dan 
tahun 2009 diperkirakan kurang dari 40 orang (kurang dari 8%).


Didi menilai affirmative action yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis 
perempuan hanya terfokus pada variabel pencalonan. Selain itu, Komisi Pemilihan 
Umum (KPU) tidak pro perempuan, dan seorang pemilih harus melihat 800-1.500 
nama caleg. "Ini tentunya sangat sulit bagi masyarakat untuk memilih. Oleh 
sebab itu, salah satu caranya adalah memperkecil kursi di seluruh daerah 
pemilihan. Ke depan, kebijakan affirmative action tidak terfokus pada 
pencalonan," lanjut Didi.
Senior Advisor Kemitraan Ramlan Surbakti menilai keputusan MK itu seperti 
mahasiswa S1 yang sedang membuat skripsi karena mencari data yang mendukung 
hipotesisnya. 


"Putusan MK ini justru menjadi bahan tertawaan orang, khususnya oleh ahli-ahli 
sistem pemilu," tegasnya. Caleg perempuan harus bertarung karena menghadapi 
realitas politik di Indonesia, yakni politik uang. "Sekarang tergantung caleg 
perempuan, mau ikut arus money politic atau tidak. Kalau ikut arus politik 
uang, itu tidak ada gunanya untuk peningkatan keterwakilan perempuan di 
parlemen," lanjut Ramlan. Ia berharap anggota DPRD maupun DPR perempuan harus 
lebih sensitif menyikapi masalah ini.


Sementara itu, anggota DPR Lena Maryana mengatakan keberadaan perempuan di 
parlemen seperti lilin yang mau padam. Di satu sisi mereka mendorong agar 
keterwakilan perempuan di parlemen mencapai 30 persen, namun di sisi lain 
mereka tidak mau partai mereka di daerah pemilihan tidak bisa running karena 
tidak bisa memenuhi kuota 30 persen.


Sementara itu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta sangat 
menyayangkan adanya perubahan sistem yang tertuang dalam keputusan MK. 
Menurutnya, keadaan ini sangat merugikan perempuan, sehingga target pencapaian 
perempuan 30 persen di legislatif belum memadai.
Menurutnya, Pemilu Legislatif 2009 sarat dengan berbagai permasalahan yang 
mendasar antara lain, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan Daftar 
Pemilih Tetap (DPT) dan kurangnya sosialisasi adanya perubahan dalam memberikan 
tanda coblos menjadi centang. Maka dia berharap, kaum perempuan yang terpilih 
duduk di legislatif mempersiapkan diri untuk Pemilu 2014. 

Reply via email to