http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=27967

18 Mei 2009 12:45:45



Ke Tahanan Bareskrim Mabes Polri, Bertemu dengan Figur-Figur





Bun Bunan Tetap Rapi, Burhanudin Rajin Salat Sunah 
Ruang tahanan di Bareskrim Mabes Polri seakan menjadi langganan para figur 
penting yang terjerat kasus korupsi. Apa yang membedakan ruang tahanan itu 
dengan ruang tahanan lain? Berikut laporan wartawan Jawa Pos ( Cenderawasih Pos 
Group) yang baru saja berkunjung ke sana? 

---

Pagi itu jarum jam belum menunjuk ke angka 10.00. Kira-kira kurang 10 menit. 
Saya sudah berada di Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Pusat, bersama 
dengan seseorang yang akan membesuk kerabatnya di tahanan Bareskrim Mabes 
Polri. 
Dari gerbang belakang Mabes Polri ke pintu ruangan Bareskrim sekitar 50 meter. 
Di sana sudah ada tiga penjaga: dua pria dan satu perempuan. Mereka mengenakan 
seragam safari. 


''Apakah mau membesuk?'' tanya salah seorang penjaga itu kepada kami. Setelah 
kami menyebut nama tahanan yang akan dibesuk, kami diminta menyerahkan HP untuk 
dititipkan. ''Tulis barang Anda yang dititipkan, di buku ini," kata si penjaga. 
Selanjutnya, tangan kanan kami distempel. 
Kami berpikir, saat itu langsung bisa bertemu dengan tahanan. Tapi, ternyata 
masih ada satu tahap lagi yang harus kami jalani. Yakni, mengurus izin besuk ke 
lantai 3. Sebelum masuk ke gedung itu, kami harus diperiksa dengan metal 
detector. 


Di ruangan di lantai 3 itu duduk tiga petugas berkemeja rapi dan berdasi. 
''Selamat siang, apakah mau besuk?'' tanya salah seorang di antara ketiga 
penjaga itu yang berambut cepak. Kami kemudian diminta untuk menulis nama dan 
identitas lainnya serta nama tahanan yang akan dibesuk. Setelah beres, kami 
turun ke lantai 1 lagi. Di lantai 1 itu, untuk menuju ke ruang tahanan, kami 
harus melalui sebuah lorong yang panjangnya kira-kira 6 meter. 
Sebelum pintu jeruji besi tahanan, ada dua ruangan yang berhadapan. Ruangan 
kiri dan ruangan kanan. Di ruangan sebelah kiri ada dua penjaga berkemeja rapi 
dan berambut cepak. Mereka sedang menonton televisi. Di sana kami diminta untuk 
menulis identitas di buku. Sedangkan di ruangan yang lain di kanan terdapat dua 
kasur busa.


Setelah menulis identitas di buku, kami dipersilakan masuk ke areal tahanan. 
Pandangan pertama kami tertuju ke sebuah ruangan berukuran sekitar 5 x 4 meter 
di balik jeruji besi bercat biru muda. Rupanya, itu adalah ruangan tahanan yang 
dihuni Lani, salah seorang direksi di PT SPS yang menjadi tersangka kasus 
dugaan penggelapan dana nasabah. Maret lalu Lani ditangkap polisi dan 
dijebloskan ke tahanan itu. Di areal yang dihuni Lani terdapat tiga ruangan 
khusus untuk tahanan wanita. Menurut salah seorang tahanan, selain Lani, 
sebelumnya di sana dihuni mantan direksi Bank Century Lila K. Gondokusumo dan 
Artalyta Suryani alias Ayin, tersangka kasus penyuapan jaksa. 


Kami melihat, saat itu Lani dibesuk dua orang kerabatnya di ruangan tak jauh 
dari tempat dia ditahan. Duduk sekitar 2 meter dari Lani, Sondang M.H. Gultom. 
Dia adalah tersangka kasus penggelapan polis asuransi di Perum Perhutani 
senilai Rp 23,4 miliar. Saat itu dia menunggu dibesuk kerabatnya. 
Di tempat itulah kami bertemu dengan orang yang kami besuk. Kami kemudian 
diajak masuk ke ruangan lain yang memanjang. Luasnya sekitar 3 x 30 meter. Di 
sana ada sepuluh meja fiber abu-abu dan puluhan kursi. Tentu bukan kursi empuk.



Paling ujung di ruangan tersebut tempat tahanan untuk laki-laki. Di depan pintu 
tahanan itu terdapat rak piring. Di atasnya ada satu televisi 21 inci. 
Rak berwarna biru tua itu berisi puluhan piring dan perlengkapan makan yang 
lain. Para tahanan boleh menggunakan piring-piring tersebut. ''Tetapi, harus 
dikembalikan dalam keadaan bersih. Selain itu, para tahanan menyimpan beberapa 
perlengkapan makan sendiri di kamarnya,'' kata teman saya yang sudah beberapa 
kali besuk itu.


Di ujung lainnya dari ruangan tersebut terdapat musala berukuran sekitar 3 x 4 
meter. Yang menarik, di sebelah pintu masuk musala tertera tulisan di papan 
kecil yang menyebutkan aliran kas musala itu. Tertulis bahwa kas musala Rp 15 
juta dengan pengeluaran bulanan Rp 750 ribu. Bisa jadi, kas Rp 15 juta itu 
diisi para penghuninya yang bukan orang sembarangan. 
Selain musala, di ruangan yang memanjang itu terdapat meja pingpong, jogging 
track, lemari es kecil, dan dua lemari kecil berisi beberapa gelas air mineral. 
''Air mineral itu gratis. Siapa saja boleh mengambil,'' ujar teman saya. Di 
sela-sela ngobrol dengan orang yang saya besuk, saya melihat mantan Deputi 
Gubenur Bank Indonesia (BI) Bun Bunan Hutapea masuk ke ruangan tempat kami 
berada. Dia masih tampak gemuk, rambutnya tersisir rapi. Tersangka yang diduga 
terlibat dalam kasus aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia 
(YPPI) Rp100 miliar itu rupanya sedang menunggu dibesuk. Sambil menunggu, dia 
membaca surat kabar. 


Tak lama kemudian orang yang dia tunggu datang. Dia adalah Eva Riyanti Hutapea, 
istrinya. Eva datang dengan kursi roda, didampingi seorang suster. Bun Bunan 
dan Eva kemudian duduk bersebelahan membelakangi pintu besi dan menghadap ke 
tembok. Dua pria menyusul duduk di hadapan mereka. 
Kami sempat mendengar pembicaraan mereka. Intinya, mereka sedang membicarakan 
seputar persiapan menghadapi persidangan. Meski dengan agak terbata-bata, Eva 
sesekali ikut menimpali. 


Beberapa saat kemudian muncul mantan Gubenur BI Burhanuddin Abdullah dan mantan 
Deputi Gubenur BI Aslim Tajudin. Keduanya terdakwa kasus korupsi dana BI. 
Burhanuddin saat itu mengenakan polo shirt biru bergaris-garis putih. Dia 
sedang dibesuk istri dan dua pria yang berpakaian safari. 
Sedangkan Aslim yang mengenakan kemeja putih gading juga dibesuk istrinya. Di 
kalangan para mantan pejabat BI, hanya Bun Bunan bersama para pembesuk yang 
memilih menyendiri. Jika meja-meja mereka dibuatkan nomor urut, Burhanuddin 
duduk di nomor 1, Aslim di nomor 3, dan Bun Bunan di nomor 8. 
Berjarak tiga meja dari Burhanuddin duduk seorang pria berkacamata bingkai 
warna emas menungu pembesuk. Dia adalah mantan Bupati Pelalawan, Provinsi Riau, 
Tengku Azmun Jaafar yang menjadi tersangka korupsi illegal logging. Sepuluh 
menit kemudian datang seorang wanita muda berkerudung. Dia mengeluarkan 
bungkusan dari tas berisi bakmi Gajah Mada. Dia adalah putri Azmun. 


Tahanan yang saya besuk menceritakan, ketika di tahanan Bareskrim masih ada 
Artalyta dan Robert Tantular (mantan Dirut Bank Century), jam makan siang 
selalu heboh. Sebab, dua orang itu, kata teman saya, suka memesan makanan mewah 
dari luar. ''Mereka memesan kepada keluarganya. Atau, kadang pesan sendiri 
melalui telepon,'' ceritanya. 


Artalyta diceritakan juga kerap joging dan aerobik di dalam tahanan. Kini 
tersangka penyuapan jaksa kasus BLBI Urip Tri Gunawan itu berada di Rutan 
Pondok Bambu. 


Bebeda dengan Burhanuddin. Selama mendekam di tahanan itu, kata salah seorang 
penjaga, Burhanuddin tak pernah melewatkan salat berjamaah di musala. Siang 
itu, ketika terdengar suara azan duhur, Burhanuddin langsung beranjak 
meninggalkan para pembesuknya dengan sedikit terpincang-pincang. Rupanya, ibu 
jari kaki kirinya bengkak kira-kira tiga kali ukuran aslinya. Dia menuju ke 
musala, diikuti Aslim. Setelah wudu, keduanya bersama-sama melaksanakan salat 
sunah sebelum Duhur. Selanjutnya, dalam salat berjamaah, Aslim bertindak 
sebagai imam. ''Dia (Aslim) hampir selalu menjadi imam dan khotib saat salat 
Jumat,'' kata salah seorang tahanan. 


Seperti itulah rutinitas yang dijalani Burhanuddin, Aslim, dan para tahanan 
yang lain. Bagi mereka, dijenguk keluarga dekat dan kerabat adalah saat yang 
paling menyenangkan. Dan, ketika jam besuk habis, mereka kembali harus 
menjalani hari-hari di dalam ruang tahanan. Mantan Bupati Pelalawan Tengku 
Azmun Jaafar menceritakan, di antara para tahanan sering terlibat obrolan yang 
hangat. Mereka saling membantu. ''Kadang-kadang kami juga bersama-sama menonton 
tayangan berita di televisi. Terutama jika di TV ada berita salah seorang di 
antara kami yang disidang atau disidik KPK, atau kepolisian,'' jelasnya.


Ketika sidang, saat paling menakutkan bagi para tahanan adalah saat diangkut 
mobil tahanan yang berterali besi. "Image kami terasa hancur di hadapan 
masyarakat. Padahal, kami belum tentu bersalah. Itu yang paling kerap 
dibicarakan dan sempat membuat beberapa orang di sini shock,'' cerita Azmun. 
(kum

Kirim email ke