Wacana Psikologi Islami

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Belum ada kesepakatan tentang penyebutan nama, apakah nama psikologi Islami 
atau psikologi Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa berbeda dengan disiplin ilmu 
sejarah Islam, Filsafat Islam atau hukum Islam-Ilmu psikologi Islam seperti 
halnya sosiologi Islam masih dalam proses pembangunan, dan belum mewujud 
sebagai sains. Kebaruan ini bukan berarti topik tentang psyche, nafs atau 
jiwa-belum dijamah oleh dunia keilmuan Islam, melainkan karena sejarah keilmuan 
yang berbeda. Psikologi, meskipun secara lughawi adalah psyche (jiwa, roh) dan 
logos (ilmu)-seharusnya adalah ilmu yang berbicara tentang jiwa sehingga dalam 
bahasa Indonesia juga disebut Ilmu Jiwa-tetapi psikologi tidak membicarakan 
jiwa, melainkan perbuatan sebagai gejala dari jiwa.

Sebagai disiplin ilmu baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18M, 
tetapi akarnya telah menghunjam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia 
sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, 
sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan 
Plato, ia mengatakan bahwa jiwa itu adalah fungsi dari badan seperti halnya 
penglihatan adalah fungsi dari mata. Kajian tentang nafs di Yunani selanjutnya 
menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani.
 
Runtuhnya peradaban Yunani Romawi, memberi peluang kepada pemikir-pemikir Islam 
mengisi panggung sejarah. Melalui gerakan penerjemahan dan kemudian komentar 
serta karya orisinil yang dilakukan oleh para pemikir Islam terutama pada masa 
Dawlah Abbasiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya, dan 
selanjutnya melalui peradaban Islamlah Barat menemukan kembali kekayaan 
keilmuan yang telah hilang itu. 

Pemahaman tantang nafs oleh para ulama generasi pertama tidak diilhami dari 
pemikiran Yunani, tetapi dari al-Quran dan hadits. Kata nafs disebut alQuran 
lebih dari 300 kali. Demikian juga dalam hadits nafs banyak disebutkan. disebut 
alQuran dengan term lain, yaitu qalb, ‘aql, rûh dan bashirah. Dalam kaitannya 
dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs yang berkembang 
bukan psikologi tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs 
sebagai sifat tercela yang perlu disucikan (tazkiyah an nafs) agar menjadi nafs 
yang sehat (nafs muthma-innah). Di sayap lain para failasuf Muslim juga 
terpengaruh oleh pemikiran Yunani dalam membahas nafs dan ruh sehingga kubu 
filsafat Islam diwakili oleh Ibn Rusyd, yang terlibat perdebatan akademik 
berkepanjangan dengan al-Ghazâli dari kubu Ilmu Kalam dan tasawuf. Dalam kurun 
waktu lebih dari tujuh abad, nafs dibahas di dunia Islam dalam kajian yang 
bersifat sufistik dan falsafi. 

Setelah dunia Islam jatuh dalam cengkeraman penjajahan Barat dan selanjutnya 
berada dalam di bawah pengaruh budaya sekuler Barat, banyak mahasiswa Muslim 
yang tergila-gila terhadap semua aspek peradaban yang datang dari Barat. 
Menurut Dr. Malik B. Badri, ada tiga fase perkembangan sikap psikolog muslim 
terhadap psikologi modern yang berasal dari Barat, yaitu (1) fase infantuasi, 
(2) fase rekonsiliasi dan (3) fase emansipasi. 

Pada fase pertama mahasiswa muslim tergila-gila kepada teori psikologi dan 
tekniknya yang memikat. Mereka mengikuti sepenuhnya teori-teori psikologi 
modern tanpa kritik. Pada fase kedua mereka sudah mulai mencocok-cocokkan apa 
yang ada dalam teori psikologi dengan apa yang ada dalam alQuran. Mereka 
beranggapan bahwa di antara keduanya tidak ada pertentangan. Pada fase 
terakhir, mereka makin bersifat kritis terhadap pandangan-pandangan psikologi 
modern dan mengalihkan perhatiannya pada alQuran, hadits dan khazanah klasik 
Islam yang ternyata juga membahas nafs dan manusia. Tentang khazanah klasik 
menurut Imam Abu Manshur al-Tha’libî, ditemukan ada lima puluh kata yang 
digunakan kaum Muslimin untuk menyatakan tingkat perkembangan manusia seperti 
janin, walid, radi’i, baligh, murahiq dan lain-lain.    

Pada akhirnya mereka mulai menyadari ketika mengkaji psikologi, mereka merasa 
sebagai Muslim yang psikolog, bukan psikolog yang kebetulan Muslim. Pandangan 
psikologi modern yang dipandang secara kritis terutama yang berhubungan dengan 
pandangan teori psikoanalisa dan behaviorisme karena kedua teori itu 
merendahkan martabat manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, sementara teori 
yang humanistik dipandang mendekati pandangan Islam. 

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
agussyafii




      

Kirim email ke