Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan
antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini
sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketegasan pelarangan
perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) UU No. 1
Tahun 1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang
yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

Ketegasan larangan perkawinan beda agama adalah mutlak mengingat
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Ketegasan larangan
ini jelas menunjukkan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama Islam ditegaskan
dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal
40 Huruf (c) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam. Larangan ini karena perkawinan
menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah
dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana maksud Pasal 2 KHI yang
menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga
yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.

Yang menarik untuk menjadi pertimbangan bagi mereka yang tetap ingin
melangsungkan perkawinan beda agama adalah masalah pemeliharaan anak
ketika terjadi perceraian dalam perkawinannya tersebut. Sama seperti
perceraian pada umumnya, masalah hak pengasuhan dan pemeliharaan anak
kerap menjadi masalah yang pelik. Namun yang lebih pelik dan patut
menjadi pertimbangan adalah potensi terjadinya pemurtadan atau pindah
agama pada si anak. Posisi anak menjadi obyek dari kepentingan orang
tuanya. Anak itu dapat mengalami kebingungan dan kesesatan karena
diberikan pemahaman agama yang berbeda-beda. Hal ini jelas bertentangan
dengan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum Islam.
Oleh karena itu, dapat dimungkinkan, sebelum perkawinan kedua mempelai
beragama Islam, tetapi setelah menjalani perkawinan salah satu mempelai
memeluk agama non-Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116
Huruf k KHI dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai
penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka
akibat dari perceraian terhadap anak-anak, menurut Pasal 105 KHI
ditentukan:

(a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
(b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Bagi anak yang belum berumur 12 tahun, berdasarkan Pasal 105 KHI di
atas, tentunya hak pengasuhan dan pemeliharaan si anak jatuh kepada
Ibunya. Jika si Ibu adalah pemeluk agama Islam, tidak menjadi masalah.
Tapi kalau si Ibu ternyata bukan pemeluk agama Islam ? Tentunya ini
menjadi suatu hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan baik-baik
bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan.

--
Posting oleh NM. WAHYU KUNCORO, SH ke ADVOKATKU pada 5/21/2009 07:34:00
PM

Kirim email ke