====================================================  
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
==================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Kekuasaan, Kebangkitan dan Keagungan 
Kamis, 28 Mei 2009 
Oleh : Gede Prama 
Sebuah negeri yang berlimpah kekayaan, tetapi miskin keteladanan, demikian 
seorang guru membisikkan pesan kepada muridnya tentang Indonesia pada 
pertengahan 2009. 
Mungkin di sini letak keadilan. Singapura hanya punya sebuah pulau kecil, 
tetapi karena hanya itu yang dimiliki, mereka merawat dengan cermat. Tidak saja 
alamnya dirawat baik, perilaku manusianya juga terawat baik. 
Indonesia punya belasan ribu pulau, tidak ada satu pun yang tertata rapi 
sebagaimana Singapura. Jangan tanya manusianya. Mungkin itu sebabnya, tetua 
pada zaman dulu bertanya: kekayaan alam itu berkah atau musibah? 
Merapikan kekuasaan 
Dulu, hanya di Timur ada teori kepala naga. Bila kepala bergerak sedikit saja, 
badan dan ekor bergerak lebih keras lagi. Namun Amerika Serikat dengan George W 
Bush memberi bukti tambahan. Bagaimana kekacauan di kepala (pemimpin) tidak 
saja merusak badan dan ekor naga (tatanan dan rakyat), tetapi juga membuat 
banyak naga di tempat lain menderita. Ini menghadirkan urgensi, bagaimana 
manusia akan merenda kekuasaan pada masa depan? Sebagaimana diteladankan terang 
benderang oleh Barack Obama di AS, lebih rapi dan terkendali sedikit saja 
kepala naganya, maka badan, ekor, dan bahkan naga-naga lain ikut rapi dan 
terkendali. 
Dengan demikian, pekerjaan rumah terbesar kemudian adalah dari mana kekuasaan 
itu berakar? Pemimpin-pemimpin agung (Muhammad Yunus, Nelson Mandela, Dalai 
Lama, dan Mahatma Gandhi) semua memiliki pohon kepemimpinan yang kokoh karena 
berakar kuat ke dalam. Mungkin itu sebabnya Thich Nhat Hanh dalam The Art of 
Power menulis “the true power comes from within.” Bangunan kekuasaan yang kuat 
sekaligus megah lebih mungkin terbangun bila berakar kuat ke dalam. 
Sayang beberapa pemilu Indonesia mempertontonkan secara terang kalau kekuasaan 
hanya tertarik pada hal-hal luar: uang, kursi kekuasaan, pujian orang. Dalam 
bahasa seorang guru, manusia termiskin adalah mereka yang hanya memiliki uang 
dan dendam. Bila begini gambarnya, mudah dimaklumi di mana-mana kekuasaan hanya 
menghadirkan bau tidak sedap yang mengundang antipati. 
Tidak sedikit jiwa-jiwa yang jernih dan bersih setelah masuk kekuasaan ikut 
tertular bau tidak sedap itu. Sekaligus membawa konsekuensi lain, ia yang setia 
pada kebersihan dan kejernihan hati kemudian lari menjauh dari kekuasaan. 
Seorang sahabat benar ketika mengemukakan, bila semua yang bersih dan jernih 
menjauh dari kekuasaan, akankah kekuasaan dibiarkan selamanya menyebarkan 
kerusakan dan kebusukan? Sejarah menyimpan orang-orang bersih dan jernih yang 
mengubah dunia. Sebutlah George Washington, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, 
Nelson Mandela, sampai HH Dalai Lama. 
Semua memang orang-orang bersih, jernih yang turun merapikan ulang kekuasaan. 
Namun, jarang yang mencermati, para pemimpin ini lahir dengan “biaya” amat 
mahal. Nelson Mandela lebih dari seperempat abad tersiksa di penjara. Mahatma 
Gandhi sejak muda jadi pengacara sudah dipentungi hingga berdarah-darah. HH 
Dalai Lama kehilangan negeri yang ia cintai pada belasan tahun, lebih dari 
setengah abad mengungsi di negeri orang. 
Pertanyaannya kemudian, punyakah kita pemimpin yang berani menyelamatkan negeri 
ini dengan ongkos besar berupa cacian, makian, injakan? Tahun pertama dicaci, 
tahun kedua dimaki, tahun ketiga diinjak pakai kaki, kemudian baru kebangkitan 
mungkin datang. 
Tiga cahaya kekuasaan 
Sengaja atau tidak, kita semua sedang melukis. Melalui ucapan, pikiran, dan 
perbuatan, kita sedang melukis masa depan. Benar pendapat yang mengatakan, para 
pendiri negeri ini ketika membuat rancang bangun Indonesia, kemudian menemukan 
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, tidak saja merenung ratusan tahun ke belakang, 
tetapi merenung ribuan tahun ke belakang. 
Mohammad Yamin dan kawan-kawan jauh dari kemungkinan rabun tentang masa depan. 
Sebaliknya, itu menunjukkan tanda-tanda kemampuan membaca masa depan jauh 
melebihi zamannya. Bila kemudian generasi berikutnya terlihat kikuk dan ragu di 
depan perubahan, layak dipertanyakan, apakah kita lebih maju dari pendahulu? 
Untuk merespon dari tuntutan inilah, kita memerlukan pemimpin dengan konstruksi 
batin yang kokoh berakar ke dalam. Itu sebabnya, dalam bab “The True Power”, 
Thich Nhat Hanh menulis lima sumber kekuasaan: faith, diligence, mainfulness, 
concentration, insight. Keyakinan, itu yang pertama dan utama. Maka, banyak 
yang meyakini, bila orang biasa rumusnya melihat baru kemudian yakin, pemimpin 
di jalan ini terbalik, “yakin kemudian melihat keyakinannya menjadi kenyataan.” 
Keyakinan buta tanpa usaha, itu mimpi yang membohongi diri. Itu sebabnya 
keyakinan diikuti ketekunan. Seperti menetesi batu dengan air, sehari dua hari 
tidak akan menghasilkan apa-apa. Namun, bila batu yang sama terus ditetesi air, 
ia akan membuat batu berlubang. Ketekunan seperti inilah yang diperlukan 
pemimpin di depan birokrasi yang lamban serta korupsi yang demikan membumi. 
Serupa dengan mengayuh perahu, keyakinan dan ketekunan mengayuh perahunya keras 
sekali. Namun, kesadaran dan konsentrasi (waspada dengan semua kemungkinan 
halangan, terus awas pada arah yang dituju) kemudian menjadi dirigen 
pembimbing. Ujung-ujungnya, ketika ketekunan usaha dibimbing, arah perjalanan 
yang tapat, ini yang menghasilkan kehidupan berbangsa yang terang (insight). 
Selain pendekatan lima sumber kekuasaan itu, ada pula yang mengubah kekuasaan 
yang cenderung gelap dengan tiga cahaya. Ke atas (subyek persembahan atasan) 
memancarkan cahaya pelayanan, sujud, bakti (devotion). Ke samping dan ke bawah 
(sesama manusia dan penghuni semesta) memancarkan cahaya welas asih 
(compassion). Dan, untuk diri sendiri memancarkan ketekunan (diligent). Tatkala 
ketiga alam (atas, tengah, bawah) sudah bermandikan cahaya, semua kegelapan 
(keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, kebencian, kemarahan) secara alamiah 
akan menghilang. 
Membicarakannya mudah tetapi begitu berhadapan dengan kenyataan jadi susah. 
Terutama pada zaman yang ditandai oleh banyak sekali keruntuhan. Maka ada yang 
menulis tentang spiritual down fall (keruntuhan spiritual); when shame is 
absent, the down fall is complete. Tatkala rasa malu menghilang, kejatuhan 
seseorang secara spiritual sudah sempurna. 
Sekalipun menjadi bekal dalam memilih pemimpin, kalau kita memilih pemimpin 
yang tidak tahu malu, Indonesia sedang menyongsong zaman keruntuhan. Bila 
memilih pemimpin yang diterangi tiga cahaya kekuasaan tadi, Nusantara sedang 
menyiapkan datangnya zaman keagungan. [Gede Prama, Bekerja di Jakarta Tinggal 
di Bali Utara – Kompas, 23/5] 
-------- 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Reply via email to