Jawa Pos

[ Jum'at, 29 Mei 2009 ] 


Bencana Lumpur Sidoarjo Makin Tak Terkendali 
Tahun Ketiga, Kantong Kian Tipis, Lumpur Kian Tebal 


SIDOARJO - Hari ini tepat tiga tahun, luberan lumpur Lapindo di Porong, 
Sidoarjo, belum juga bisa diatasi. Yang terjadi, proses penanganannya malah 
tidak menggembirakan. Salah satu contoh yang menunjukkan kemunduran penanganan 
paling mencolok adalah tanggul di pusat semburan untuk mengendalikan aliran 
lumpur. 

Tanggul berdiameter 50 meter yang disebut tanggul cincin itu kini semakin tak 
kelihatan karena tak ada pengerjaan untuk menambah ketinggian. Akibatnya, 
aliran lumpur semakin sulit dikendalikan. Pengaliran ke Kali Porong yang semula 
menjadi pilihan kini tak lagi bisa dilakukan.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat, volume lumpur yang 
menyembur dengan debit 100 ribu meter kubik per hari atau setara 10.040 truk 
pengangkut pasir dan batu itu kini cenderung mengalir ke utara atau arah kota 
Sidoarjo. Penyebabnya, tingkat penurunan tanah di utara tanggul sangat besar. 
Akibatnya, permukaan yang mengarah ke Kali Porong lebih tinggi sehingga lumpur 
cenderung mengalir ke utara. 

Ketika awal dibuat, tinggi tanggul tersebut 17 meter dari permukaan air laut 
(elevasi). Ketinggian itu sebenarnya terus dipertahankan PT Minarak selaku 
pengelola tanggul di tengah terjadinya penurunan tanah. Itu dilakukan karena 
tingkat penurunan di sekitar tanggul sangat cepat. Sekitar empat sentimeter per 
hari. Untuk mempertahankan ketinggian yang sama, pengelola membutuhkan pasokan 
pasir dan batu (sirtu) sekitar 300 dump truck (DT). Sekali pasokan membutuhkan 
biaya sekitar Rp 600 ribu.

Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Zulkarnain mengatakan, 
upaya merawat dan mempertahankan tanggul cincin berlangsung sejak 2007. ''Saat 
itu pasokan sirtu lancar sehingga tidak menimbulkan masalah,'' katanya kemarin. 

Pada awal 2008, pasokan sirtu tidak mengalami kendala. Maka, ketinggian tanggul 
bisa dipertahankan. Namun, sejak sekitar September 2008, pasokan sirtu mulai 
berkurang. Yang sebelumnya 300 DT per hari menurun hingga separo atau menjadi 
150 DT. Bahkan, saat ini pasokan tidak terlihat sama sekali. ''Lambatnya 
pasokan sirtu itu disebabkan krisis keuangan yang terjadi di PT Minarak,'' ucap 
Zulkarnain. 

Selain pasokan sirtu berkurang, pengoperasian alat berat di sekitar tanggul 
dikurangi. ''Pernah berhenti hingga beberapa hari,'' terang Zulkarnain. 

Seiring penurunan tanah yang sangat besar, tanggul secara perlahan hilang. 
Elevasi yang semula 17 meter menurun hingga menjadi 10 meter. Puncaknya awal 
Maret 2009, tanggul jebol sepanjang 15 meter. Lumpur mengalir ke mana-mana 
hingga menenggelamkan pabrik PT Pasific Presstres Indonesia (PT PPI). 

Direktur Utama PT Minarak Bambang Mahargyanto mengatakan, sejak akhir 2008 
intensitas pengelolaan tanggul memang berkurang. Durasi pengoperasian pompa 
hanya 10 jam per hari. Meski begitu, pihaknya menolak dianggap tidak melakukan 
aktivitas apa pun.

Tanggul cincin yang kini hilang, menurut Bambang, disebabkan penurunan tanah 
yang sangat besar. Maka, tanggul itu tidak bisa dipertahankan. Menyikapi 
kondisi tersebut, PT Minarak mengubah strategi dalam mengalirkan lumpur ke Kali 
Porong. 

Di timur pusat semburan dibuat cekungan (basin). Di cekungan itu akan 
diletakkan pompa dredger. Pompa tersebut merupakan rakitan untuk memompa ke 
Kali Porong. ''Mesin pompa sudah datang. Saat ini sedang dirakit. Dalam waktu 
dekat, mesin bisa segera difungsikan,'' ucapnya. 

Bagaimana pembangunan infrastruktur? Pemerintah sebenarnya sedang membangun 
jalan arteri yang menghubungkan Desa Kalitengah di Kecamatan Tanggulangin ke 
Gempol, Pasuruan. Itu sebagai pengganti Jalan Raya Porong. Panjang keseluruhan 
proyek itu 7,1 kilometer dengan lebar 15 meter. 

Dalam proyek itu, pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum membagi 
pengerjaan infrastruktur menjadi empat paket. Paket I merupakan jalan 
Siring-Porong. Kontraktor yang mengerjakan ialah PT Waskita Karya, PT Jaya 
Konstruksi, dan PT Nusantara. 

Paket II mengerjakan jalan Siring-Porong II. Kontraktornya adalah PT Adi Karya, 
PT Istaka Karya, dan PT Ridlatama Bangun Usaha. 

Paket III mengerjakan jalan Porong-Siring dengan kontraktor PT Widya Satria, PT 
Bumi Rejo, dan PT Aremix Planindo. Paket IV atau terakhir mengerjakan jalan 
Porong-Siring II. Kontraktornya, PT Hutama Karya dan PT Brantas Abi Praya. 
Setiap paket memiliki nilai proyek. Namun, seluruh paket mencapai Rp 365 miliar 
lebih. 

Untuk paket I dan IV, sebagian bangunannya sudah terlihat. Yaitu, jembatan yang 
melintasi Kali Porong. Kemarin beberapa pekerja menyelesaikan bagian dinding 
jalan tersebut. 

Kemudian, pada paket II, relokasi pembangunannya belum tuntas. Rencananya, 
jalan yang dibangun 2,033 kilometer. Biaya konstruksi pengerjaannya Rp 82,6 
miliar. 

Seluruh paket itu ditargetkan selesai 360 hari sejak pencanangan pertama pada 
Juli 2008. Artinya, proyek itu harus selesai dalam waktu kurang lebih setahun. 

Yang menjadi persoalan, hingga kini pembebasan lahan menemui kendala. Beberapa 
warga masih bersikukuh dalam pembebasan tanahnya untuk jalan tersebut.

Misalnya, Sutarti, 40. Warga Dusun Kluweh, Desa Kebonagung, Kecamatan Porong, 
itu memiliki dua rumah. Menurut dia, kedua rumahnya itu sudah ditawar Rp 210 
juta. Satu rumahnya sudah berubin dan satu lagi tidak.

Menurut dia, nilai tersebut tidak sesuai untuk membeli rumah baru di tempat 
lain. Apalagi, tanah pekarangan yang seharusnya dihargai Rp 480 ribu per meter 
persegi masih dalam tahap koordinasi. Sebab, Sutarti menginginkan tanahnya 
dihargai Rp 1 juta per meter persegi. ''Kalau enggak segitu, saya berat 
memberikan,'' ucapnya.

Sekitar 120 KK di desa tersebut turut dilewati jalan arteri. Karena itu, warga 
diharapkan rela melepaskan tanahnya sesuai aturan yang sudah diberlakukan 
pemerintah. ''Sawah saya juga kena dan sudah dibayar. Tapi, saya tidak mau 
rumah saya dibayar dengan harga rendah,'' lanjut ibu tiga anak itu. 
(riq/nuq/kim/kum)

Kirim email ke