Indonesia Bangkrut? SAAT membuka sidang pleno Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Presiden SBY mengeluarkan pernyataan mengejutkan. ‘’Government is broke’’, begitu katanya. Tak lama kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani meralat. Dengan cadangan devisa Rp 1.500 triliun, mustahil Indonesia bangkrut. Tak jelas motif dan dalam konteks apa SBY mengeluarkan pernyataan seperti itu. Memang betul telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana yang menyebabkan jumlah pengangguran meningkat.
Dari sisi penerimaan, terjadi penurunan di berbagai sektor, seperti diakui Direktorat Pajak Departemen Keuangan. Penerimaan pajak non migas pada Januari 2009 memang naik Rp 1,6 triliun dibanding periode sama tahun lalu menjadi Rp 34,3 triliun. Tapi jumlah ini masih jauh dari kisaran umum yakni 18-20 persen. Pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) hanya naik 2,29 menjadi Rp 14,4 triliun. Biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) turun 8,39 persen menjadi Rp 204,6 miliar. Sedangkan penerimaan pajak lainnya Rp 21,38 miliar atau turun 6,57 persen. Adapun restitusi (pengembalian pajak) Rp 2,296 triliun. Setoran dari badan usaha milik negara (BUMN) setali tiga uang. Kementerian Negara BUMN membeberkan sejumlah kerugian yang ditanggung perusahaan pelat merah. Jumlahnya mencapai Rp 12 triliun! Perusahaan yang merugi di antaranya PT Pupuk Sriwijaya, PT Gas Negara Tbk dan PT Pupuk Kujang. PT Pupuk Sriwijaya merugi Rp 2 triliun sedangkan PT Pupuk Kujang rugi Rp 1 triliun. Kementerian Negara BUMN memprediksi laba bersih BUMN tahun ini hanya Rp 70 triliun. Padahal tahun lalu masih bisa meraup Rp 78 triliun. Okelah negara mengalami kesulitan keuangan karena pemasukan turun tapi ucapan SBY yang menyatakan Indonesia bangkrut, oleh pengamat dianggap sebagai bentuk pesimisme atau ketidakpercayaan pemerintah dalam menghadapi krisis. Dikhawatirkan, pernyataan SBY akan membuat Indonesia semakin tak menarik di mata investor. Padahal, pada saat bersamaan gairah untuk menarik minat penanaman modal masih menggebu-gebu. Bukan hanya itu, harga saham-saham unggulan BUMN di lantai bursa bisa ambruk. Ada juga yang beranggapan pernyataan Presiden merupakan sinyal ketidakmampuan Indonesia membayar utang. Bank Indonesia (BI) menyebutkan utang luar negeri swasta yang jatuh tempo tahun ini mencapai 17,4 miliar dollar AS. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang negara-negara lain, beban kewajiban yang harus dibayar tentu makin berat. Berharap mendapatkan haircut (pemotongan utang) tentu bukan hal mudah. Kreditor akan melihat dari berbagai aspek sebelum memutuskan untuk ‘memutihkan’ utang luar negeri sebuah negara. Lagipula, di sisi lain penghapusan utang juga akan berdampak buruk terhadap iklim investasi. Dus, kredibilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara bisa hancur di mata kreditor. Pemerintah juga tak bisa selalu mengambinghitamkan krisis global sebagai penyebab gejolak ekonomi dalam negeri. Kalau saja dari dulu serius menggenjot sektor usaha kecil menengah (UKM) atau ekonomi padat karya sebagai tulang punggung negara, pemerintah tidak sepanik seperti sekarang. Tipisnya penerimaan pajak juga tak bisa dijadikan parameter satu-satunya dalam menentukan kondisi negara. Patut disayangkan Presiden melontarkan pernyataan bombastis, justru di hadapan para pengusaha-pengusaha muda. Sebagai tulang punggung penggerak perekonomian ke depan, SBY harusnya menciptakan iklim kondusif, membangun semangat dan untuk berjuang bersama-sama melewati badai krisis. Pernyataan ‘’Government is broke” hanya menunjukkan ketidakmampuan serta ketidakberdayaan pemerintah dalam mengelola ekonomi negara. Jika di akhir pemerintahannya SBY merasa tidak percaya diri, bagaimana mungkin dapat memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan? ■ http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=1664&Itemid=44