Jawa Pos [ Sabtu, 06 Juni 2009 ]
Bapak Presiden, Jangan Peragu, Tuntaskan Kasus Unas KITA dengar debar waswas di jantung sekitar 5.000 siswa. Anak-anak kita yang berserak di 34 SMA dan 19 SMP seluruh Nusantara itu tengah menunggu pengambil keputusan di Jakarta menentukan nasib mereka dalam unas. Kemungkinannya sama-sama pahit, yakni tidak lulus atau harus ikut kejar paket C. Ujian ulang atas mereka terus ditentang keras oleh banyak kalangan. Tema besarnya mula-mula adalah kecurangan versus kejujuran. Tetapi, kian hari, berkembang dugaan macam-macam. Diduga tidak seluruhnya salah siswa atau guru atau sekolah. Sistem penyelenggaraan unas juga cacat manajemen sehingga mengacaukan nasib para siswa yang sudah baik-baik mengerjakan unas. Detak jam memang berjalan terus. Penerimaan siswa baru dan mahasiswa baru, yang bergantung pada kelulusan unas, kian mendekat. Sementara, Mendiknas Bambang Sudibyo dan jajarannya sebagai pengambil keputusan terkesan tidak tegas. Peragu. (Kasus ini makin tidak menentu karena presiden dan wakil presiden tengah sibuk berkompetisi dalam kampanye meningkatkan citra diri). Dilihat dari perkembangan pemberitaan soal kasus ini, yang segera perlu dilakukan adalah memilah-milah. Klasifikasikan mana siswa yang terindikasi terlibat kecurangan, termasuk menerima bocoran kunci jawaban yang ternyata kunci palsu. Pisahkan mereka dari siswa yang menjadi korban manajemen unas yang kacau, semisal soal tertukar, salah cetak, atau pemindaian jawaban yang error. Perlakuan atas kelompok curang dan kelompok korban sistem harus berbeda. Kelompok yang curang harus direlakan tidak lulus. Perlu pula diselidiki kemungkinan adanya para siswa yang lulus dan nilainya seragam dari bocoran kunci jawaban yang memang kunci asli. Bila terbukti jawaban itu dari hasil kecurangan, batalkan pula kelulusan mereka. Usut pula siapa yang terlibat, baik guru maupun orang-orang dari luar sekolah. Ketegasan tanpa ragu ini juga bentuk pendidikan. Terhadap kelompok siswa korban sistem, harus ada perlindungan. Lacak lembar jawaban mereka. Kalaupun jawaban itu berasal dari soal yang tertukar, harus di-scanning lagi sesuai dengan soalnya. Sebab, mereka tidak tahu soal itu tertukar atau tidak. Tidak perlu ujian ulang. Untuk kasus ini, kesalahan murni pada penyelenggara unas. Mereka harus diberi sanksi. Kelompok ketiga adalah siswa korban ''iktikad baik''. Seperti pengakuan siswa SMAN 2 Ngawi di koran ini kemarin, mereka merasa tidak ada pembagian kunci jawaban secara langsung maupun SMS. Karena itu, mereka kaget ketika ada kabar mereka tidak lulus 100 persen. Kalau pengakuan itu benar, mereka menduga ada yang menukar lembar jawaban mereka. Siapa tangan-tangan ''beriktikad baik'' yang ternyata malah mencelakakan para siswa itu? Ini harus diusut. Beri mereka sanksi. Sekolah harus kooperatif untuk membuat gamblang persoalan ini. TPI (Tim Pemantau Independen) sebagai lembaga penemu kasus ini dan kalangan lain yang peduli pendidikan pun harus terus berperan. Jangan kendur. Mereka harus terus memantau pengusutannya untuk menjamin penyelesaian tragedi pendidikan ini dilakukan dengan benar. Mari kita selamatkan unas sebagai upaya yang positif untuk melihat indikator pendidikan nasional. Untuk menyelamatkannya, perlu keputusan yang adil dan tanpa ragu serta berasas kejujuran. Jumlah 5.000 siswa itu tidak sedikit. Mereka sama pentingnya dengan Manohara atau Prita. Jangan biarkan Mendiknas gelagapan sendiri menangani kasus yang penyelesaiannya berpacu dengan waktu penerimaan siswa dan mahasiswa baru ini. Bisakah saat ini kita melihat bukti keputusan yang tidak peragu? (*)