Menyulap Utang Menjadi BLT 
 
 
HASIL pemeriksaan keuangan pemerintah pusat tahun 2008 yang diberikan Badan 
Pemeriksa Keuangan kepada DPR, Selasa (9/6) lalu, menyentak banyak pihak. 
Program pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) ternyata 
anggarannya berasal dari utang. 

Bantuan langsung tunai tergolong kelompok pertama Program Nasional Pemberdayaan 
Masyarakat (PNPM) Mandiri, yang dananya berasal dari Bank Dunia. Ironisnya, 
utang itu termasuk utang komersial karena bunganya mencapai 12%-13%. Bukan 
pinjaman lunak dari lembaga internasional, yang rata-rata bunganya hanya 
sekitar 4%-6%. 

Memang tidak seluruh anggaran BLT ditutup dari utang. Walau hanya sebagian, toh 
tetap saja sudah melenceng dari tujuan digulirkannya program bantuan langsung 
tunai. BLT yang tadinya dimaksudkan untuk meringankan rakyat miskin justru 
nantinya akan membebani rakyat. 

Sejak awal program BLT telah mengundang kontroversi. Ketika pemerintah 
menaikkan harga bahan bakar minyak dua kali pada Maret dan Oktober 2005, jaring 
pengaman pun dibuat sebagai kompensasi untuk warga miskin lewat program BLT. 
Sekitar 19,1 juta kepala keluarga diberi uang Rp100 ribu per bulan selama 
setahun. 

Namun, pelaksanaan program itu tidak berjalan mulus. Bukan hanya dananya banyak 
yang tidak utuh sampai ke tangan warga miskin, melainkan juga telah meminta 
korban jiwa karena kelelahan mengantre atau terinjak-injak. 

Program BLT juga dinilai tidak mendidik masyarakat dan hanya mengentalkan 
mental pengemis warga miskin. Pemerintah dituding hanya menyodorkan ikan, bukan 
kail. Rakyat miskin tidak diberdayakan agar mampu keluar dari kemiskinan. 

Meski kritik bermunculan dan hasil survei menyebutkan bahwa efektivitas BLT 
hanya sekitar 55%, pemerintah tetap saja 'ngotot' menggulirkan BLT. Untuk tahun 
ini saja, program yang kini bernama BLT plus--karena selain uang warga miskin 
juga memperoleh gula dan minyak goreng-- pemerintah menyediakan anggaran hingga 
Rp28 triliun. 

Yang menjadi persoalan, mengapa program BLT harus dari utang? Padahal, utang 
pemerintah terus menggelembung hingga mencapai Rp1.600 triliun. Itu sama 
artinya, setiap penduduk Indonesia harus menanggung sekitar Rp12 juta utang 
pemerintah. 

Tidak efektifnya program BLT juga bisa dilihat dari anggaran pendapatan dan 
belanja negara (APBN). Meski APBN 2009 jauh meningkat hingga Rp1.034 triliun 
dari sebelumnya Rp380 triliun pada 2004, anggaran untuk mengentaskan masyarakat 
dari kemiskinan juga ikut naik tajam. Bila pada 2004 anggaran kemiskinan baru 
mencapai Rp18 triliun, pada 2008 melompat hingga Rp70 triliun. Itu sama 
artinya, jumlah orang miskin dan pengangguran kian bertambah. 

Karena itu, BLT dari utang merupakan bentuk lain dari korupsi kebijakan. Utang 
bukan untuk kegiatan yang produktif, melainkan justru untuk urusan konsumtif 
yang diberikan secara gratis. 

Rasionalitas publik semakin terganggu ketika program BLT itu dipakai sebagai 
kampanye keberhasilan pemerintah dalam pemilu. 

Kebijakan menyulap utang menjadi BLT bagaimanapun harus segera dihentikan. 
Kemiskinan janganlah terus dijadikan komoditas politik. Beruntung masih ada BPK 
di bawah Anwar Nasution yang bisa mencium praktik-praktik yang bisa 
membangkrutkan negara. 
 
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/06/79446/70/13/Menyulap-Utang-Menjadi-BLT


      

Reply via email to