Refleksi: Jafar Umar Thalib, panglima Laskar Jihad Sunnah Wal Jamaah menjadi guru agama? Apakah pengalamannya bersama Mujahidin dan Taliban di Afghanistan dan misi di Maluku dan Sulawesi Tengah diamalkan dalam pendidikan persiapan untuk masa depan?
http://www.gatra.com/artikel.php?id=127423 Jilbab Ja'far Umar Thalib Pengasuh Pondok Pesantren Ihya' as-Sunnah, Yogyakarta Sebagai guru agama, penulis tidak ikut-ikutan di arena ingar-bingar politik praktis berupa "pesta demokrasi" sekarang ini. Tugas kami adalah mendidik anak bangsa dengan pembekalan dan pengamalan ilmu-ilmu keislaman. Juga kami hanya menasihati berbagai pihak untuk tetap dalam semangat menjunjung tinggi keimanan dan keislaman. Dalam rangka itulah, artikel ini kami tulis: menasihati umat Islam agar jangan menelantarkan kewajiban menjunjung tinggi keimanan dan keislaman, khususnya bagi mereka yang sedang bergelut di dunia politik praktis. Akhir-akhir ini, ada gejala aneh pada sebagian tokoh Islam yang sedang aktif berperan serta dalam pesta demokrasi itu. Mereka menyatakan keresahannya tentang penampilan jilbab istri-istri calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. Anas Urbaningrum, yang notabene adalah mantan tokoh HMI, menyatakan keresahan itu, meskipun dengan bahasa yang santun. Dan ternyata tidak cukup pernyataan Bung Anas saja. Bahkan tidak tanggung-tanggung muncul pernyataan dari Tifatul Sembiring, yang juga salah satu tokoh umat Islam, yang kurang pada tempatnya. Dalam salah satu pernyataannya yang dimuat majalah mingguan Ibu Kota, pekan lalu, ia berucap: "Apa kalau istrinya berjilbab, lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, kesehatan, jadi lebih baik?" katanya. "Soal selembar kain saja kok dirisaukan." Mari tenangkan hati dan pikiran kita dalam berbagai kesibukan dan kepanikan sedahsyat apa pun untuk mengingat bahwa kepentingan menjunjung tinggi syi'ar (simbol kemuliaan) Islam harus diletakkan di atas segala-galanya. Allah Ta'ala berfirman: "Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar agama Allah, maka sungguh sikap yang demikian itu timbul dari ketakwaan hati" (Al-Quran surah Al-Hajj 32). Dan jilbab adalah salah satu dari syi'ar-syi'ar agama Allah, sebagaimana ditegaskan Allah Ta'ala dalam firman-Nya: "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: hendaklah mereka memanjangkan jilbabnya untuk menutup seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Al-Quran surah Al-Ahzab 59). Sebagai ilustrasi, penulis nukilkan di sini tentang riwayat sebab turunnya surah Al-Ahzab 59 tersebut. Dikisahkan, pada waktu itu orang-orang munafik senang mengganggu perempuan-perempuan muslimah untuk merendahkannya. Dan ketika ditegur atas perbuatannya itu, berkilahlah mereka bahwa gangguan itu dilakukan karena menyangka bahwa para muslimah itu adalah budak-budak perempuan. Maka, turunlah ayat ini agar para muslimah itu tidak lagi disangka sebagai budak sehingga tidak diganggu, dan dikenali sebagai perempuan yang terhormat. Dengan demikian, jilbab itu adalah simbol perempuan muslimah yang terhormat menurut Allah Ta'ala. Dan kita disuruh menghormati siapa yang dihormati oleh Allah Ta'ala. Maka, janganlah mengeluarkan kata-kata yang merendahkannya, meskipun jilbab itu dipakai lawan politik yang sedang berlaga di arena pesta demokrasi. Timbul pertanyaan, apakah karena penduduk negeri ini berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama, maka istri seorang pejabat negara dengan entengnya meninggalkan ajaran agamanya? Bukankah agama harus ditempatkan pada posisi terhormat? Keberanian dalam melaksanakan ajaran agama dalam semua aspek kehidupan adalah indikator penempatan agama dalam posisi terhormat tersebut. Mereka yang sedang berlaga di arena pesta demokrasi perlu memahami bahwa perkara politik praktis adalah perkara dunia yang sebentar lagi akan kita tinggalkan. Sedangkan menjunjung tinggi syi'ar-syi'ar kemuliaan Islam adalah perkara dunia dan akhirat. Maka, janganlah perkara dunia semata diutamakan di atas perkara dunia dan akhirat, meskipun dengan alasan dalam rangka memperjuangkan kepentingan agama. Apakah memperjuangkan kepentingan agama itu dengan cara menginjak-injak kemuliaan agamanya terlebih dahulu? Bagaimana mungkin perjuangan "demi agama" yang demikian ini akan diberkahi Allah SWT? Ja'far Umar Thalib Pengasuh Pondok Pesantren Ihya' as-Sunnah, Yogyakarta [Kolom, Gatra Nomor 31 Beredar Kamis, 11 Juni 2009]