nah, sekarang kita liat ke depan..para calon presiden akan bersikap seperti apa 
terhadap kasus kaburnya Djoko Candra ini??


bakal jadi bahan retorika semata atau bisa ditangkap??



________________________________
From: sunny <am...@tele2.se>
To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
Sent: Friday, June 19, 2009 12:31:45 PM
Subject: CiKEAS> Djoko Tjandra Kabur ke Papua Nugini





Jawa Pos
[ Jum'at, 19 Juni 2009 ] 
 
 
Djoko Tjandra Kabur ke Papua Nugini 
Kejagung 
Meminta Djoko Tjandra Menyerah 


JAKARTA - Aparat kejaksaan 
harus bekerja ekstra keras untuk mengeksekusi Djoko Sugiarto Tjandra, terpidana 
kasus korupsi dana hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 546 miliar. Bos Grup 
Mulia itu tidak lagi berada di Indonesia, namun bersembunyi di Papua Nugini. 

Djoko pergi ke Port Moresby, Papua Nugini, menggunakan pesawat carter 
dari operator Tag Avia dengan nomor penerbangan CL604. Dia berangkat 10 Juni 
atau sehari menjelang Mahkamah Agung (MA) memutus peninjauan kembali (PK) 
kasusnya. Pengusaha yang pernah disebut Artalyta Suryani alias Ayin dengan nama 
Joker itu terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, bersama dua 
rekannya. Djoko pergi dengan menggunakan paspor bernomor P 806888.

''Dia 
(Djoko) pergi dua hari setelah putusan PK Syahril Sabirin dan sehari sebelum 
putusan PK atas nama Djoko Tjandra (keluar),'' kata Kapuspenkum Kejagung Jasman 
Pandjaitan menyampaikan informasi tentang Djoko Tjandra tadi malam. 

Putusan PK keduanya disampaikan Mahkamah Agung dalam keterangan pers 
pada Kamis (11/6). Namun, Jasman tak mau berspekulasi apakah Djoko telah 
mendapatkan informasi lebih awal tentang putusan PK Syahril. ''Langkah 
selanjutnya belum bisa dipastikan. Informasi baru kami terima,'' ujar mantan 
kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur itu.

Djoko seharusnya sudah 
meringkuk di sel Lapas Cipinang bersama terpidana lain, yakni mantan Gubernur 
Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin. Syahril sendiri memilih kooperatif dengan 
memenuhi panggilan kejaksaan sekaligus bersedia dieksekusi pada 16 Juni lalu. 

Tim jaksa sebelumnya berusaha mengawasi gerak-gerik Djoko. Termasuk 
mendatangi rumah mewahnya di kawasan Simprug Golf, Jakarta Selatan, yang 
ternyata kosong.

Saat Djoko berada di Papua Nugini, kuasa hukumnya, O.C. 
Kaligis, meminta penundaan eksekusi. Permintaan itu terungkap dari surat yang 
dikirim melalui Kejari Jakarta Selatan. ''Tapi, tidak tahu sampai kapan 
(penundaannya) ,'' kata Jasman.

Djoko merupakan terpidana kasus Bank Bali 
yang diputus dua tahun penjara dalam putusan PK. Pemohon PK adalah kejaksaan. 
Dalam amar putusan, pemilik Hotel Mulia itu juga diharuskan untuk membayar 
denda 
Rp 15 juta subsider 3 bulan. Djoko tidak sendiri. MA sebelumnya juga memberikan 
hukuman yang sama kepada Syahril Sabirin.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung 
Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, berdasar informasi 
yang diperoleh sebelumnya, tidak ada di catatan Imigrasi bahwa Djoko bepergian 
ke luar negeri. Namun, Marwan berpendapat, Djoko belakangan berada di luar 
negeri. ''Dia menggunakan jalur-jalur tradisional, '' kata Marwan di gedung 
Kejagung kemarin.

Dia memperkirakan, Djoko menjadikan dua negara sebagai 
tujuan kepergiannya ke luar negeri. Yaitu, Papua Nugini dan Singapura. Alasan 
itu didasari adanya saudara Djoko yang tinggal di sana. Selain itu, alasan 
bisnis yang dilakukan Djoko di dua negara tetangga Indonesia itu menjadi 
pertimbangan. ''Kami tetap melacak di mana keluarganya, '' jelas mantan 
Kapusdiklat Kejagung itu.

Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi 
Djoko untuk memenuhi panggilan kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau 
mentok usaha kami, (penanganannya) akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' 
urai Marwan.

Hingga kini, kejaksaan memberikan waktu bagi Djoko untuk 
memenuhi panggilan kedua yang dijadwalkan Senin (22/6). ''Kalau mentok usaha 
kami, (penanganannya) akan diserahkan ke tim pemburu koruptor,'' urai 
Marwan.

Terkait dengan uang Rp 546 miliar, Marwan menegaskan, sesuai 
de­ngan putusan MA, uang tersebut dirampas untuk negara. Pihaknya sudah 
memerintah tim untuk me­lakukan penjajakan terhadap Bank Permata, tempat 
uang itu disimpan dalam rekening penampungan. "Kalau (Bank Permata) tidak mau, 
ada instrumen hukumnya. Bisa di­kenai pasal penggelapan karena statusnya 
titipan," tegas mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jatim itu.

Terpisah, 
Direktur Penyidikan Direktorat Jenderal Imigrasi Muchdor mengakui bahwa 
Kejagung 
telah meminta pihaknya untuk mencegah keluarnya Djoko Tjandra di pintu 
pemeriksaan imigrasi. Namun, permintaan itu diajukan mulai 11 Juni 2009. 
"Sampai 
tanggal 18 tidak ada nama Djoko Tjandra yang ke luar negeri di data kami," 
ujarnya. 

Muchdor mengaku mencari da­ta Djoko Tjandra itu di 25 
pin­tu pemeriksaan imigrasi yang ter­sebar di seluruh tanah air. 
"Ka­mi juga mengecek di lima pintu pemeriksaan yang besar. (Di sana) nama 
Djoko tidak tercatat," ungkapnya. Namun, apabila melalui pintu ilegal, imigrasi 
mengaku kesulitan mengawasi. "Karena wilayah negara kita amat luas," terangnya. 

Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto 
Juwana menduga, kaburnya Djoko pada 10/6 disebabkan dia sudah mendapatkan 
informasi soal keluarnya putusan peninjauan kembali (PK) dari Mahkamah Agung 
(MA). Waktu itu, Djoko masih bebas ke luar negeri karena statusnya belum 
terpidana. "Kalau perginya bulan Mei, masih sulit mengaitkan dengan putusan. 
Ini 
sehari sebelum putusan keluar. Bisa jadi, dia dapat informasi entah dari mana," 
terangnya. 

Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri 
Komjen Susno Duadji menyatakan siap membantu upaya kejaksaan menangkap Djoko. 
"Kita juga cari," ujar jenderal bintang tiga itu di kantornya kemarin. Apakah 
sudah ada permintaan resmi dari Kejagung? Susno menggeleng. "Tapi, kita tahu 
soal itu," kata mantan Kapolda Jawa Barat tersebut. 

Berdasar informasi 
yang dihimpun koran ini, sejumlah penyidik Direktorat II/Ekonomi Khusus sudah 
diberi brifing untuk me­nang­kap Djoko. Namun, mereka belum bergerak 
karena polisi tak ingin melangkahi kejaksaan. Tan­pa permintaan surat resmi 
un­tuk operasi bersama, penyidik kepolisian tidak mungkin mela­kukan 
langkah inisiatif. Yang sudah dilakukan adalah berkoordinasi dengan Interpol 
karena sekretariat NCB Interpol saat ini dipegang polisi, yakni Brigjen Halba 
Rubis Nugroho. 

Djoko Tjandra merupakan pe­ng­usaha kelahiran 
Sanggau, 27 Agustus 1950. Dekade 1990-an, Grup Mulia makin moncer saat 
dipe­gang Djoko. Bapak empat anak yang pintar ngomong itu menjadi komandan 
utama pada kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, 
Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center. 

Grup 
Mulia menaungi 41 anak perusahaan di dalam dan luar ne­geri. Selain 
properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu merambah sektor 
keramik, metal, dan gelas.

Djoko juga dikenal sebagai bos PT EGP. Yakni, 
sebuah perusahaan yang didirikan Djoko dan to­koh Golkar Setya Novanto. 
Da­lam kasus cessie Bank Bali, Djoko dibebaskan dari segala tuntutan di 
tingkat pengadilan negeri. Lalu, akhir 2001, MA membebaskan dia dari 
keterlibatan kasus Bank Bali. Pengusaha itu dibebaskan dari dugaan melakukan 
suap dalam pencairan piutang Bank Bali. 

Nama Djoko juga dikenal sebagai 
Joker. Hal itu terungkap dalam percakapan antara Artalyta Suryani dengan Kemas 
Yahya Rahman semasa menjabat jaksa agung muda (JAM) pidana khusus. 
(fal/git/rdl/ agm)


   


      

Kirim email ke