http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009062100463416

      Minggu, 21 Juni 2009 
     
      BURAS 
     
     
     


       
      H. Bambang Eka Wijaya

      Mengecoh, Debat Capres Antiklimaks! 

      "DEBAT capres di televisi malam Jumat antiklimaks bagi penonton!" ujar 
Temin. "Jadi dialog ewuh-pakewuh, seperti dua menko (SBY dan JK) bicara di 
depan presiden--Mega!"

      "Bahkan JK keceplos 'Saya sekarang masih wakil presiden!' saat diminta 
menanggapi uraian SBY!" sambut Temon. "Gaya ketiga capres tidak klop dengan 
saat kampanye di depan massanya, yang cenderung saling menyerang pesaing!"

      "Jauh saling serang, jumpa saling melengkapi?" timpal Temin. "Ada apa di 
balik antiklimaks itu?"

      "Ternyata format debat tanpa perdebatan itu hasil kesepakatan KPU dengan 
tim sukses ketiga capres! (Kompas, 20-6) Jadi, antiklimaks itu justru sesuai 
skenario! Nyatanya, lembaga pengelola demokrasi dan para aktor belum siap 
memainkan demokrasi sesungguhnya! Baru main secara formalistik--debat sekadar 
memenuhi ketentuan formal, tidak mempertajam dan memperdalam pemahaman terhadap 
esensi materi kampanye untuk dinilai publik pemilih! Esensi debat itu justru 
disisihkan!"

      "Kalau begitu, berarti KPU bersama tim sukses ketiga capres secara 
sengaja mengecoh publik!" tukas Temin. "Apakah secara etika-moral tim-pemimpin 
itu patut mengecoh rakyat pemilih?"

      "Tak ada pasal untuk pengecohan di UU Pilpres!" tegas Temon. "Soal 
pengecohan elite pada rakyat, tak hanya saat kampanye! Bahkan pembangunan 
selama 40 tahun ini juga pengecohan!"

      "Gile lo!" potong Temin. "Apa buktinya!"

      "Buktinya pada Rasio Gini yang terus menanjak, sebagai petunjuk 
ketimpangan pendapatan terus melebar!" tegas Temon. "Menurut Mudrajat Kuncoro, 
guru besar ekonomika dan bisnis UGM, 1971 Rasio Gini Indonesia 0,18, naik 
menjadi 0,24 pada 1997--menyulut multikrisis menjatuhkan Orde Baru! 
(investorindonesia.com, 19-5-2008, 23:29:35 WIB). Orde Reformasi ternyata lebih 
parah, hanya dalam 10 tahun, pada 2007 Rasio Gini Indonesia menjadi 0,37." 
(Gajah Kusumo & Dewi Astuti, Bisnis Indonesia, 19-8-2008)

      "Maksudnya semakin tinggi angkanya kian lebar pula ketimpangan 
pendapatan?" sela Temin.

      "Betul! Artinya, selama 40 tahun pembangunan, ketimpangan pendapatan 
meningkat lebih dua kali lipat! Apa dengan begitu pembangunan tidak mengecoh 
rakyat?" entak Temon. "Rasio Gini itu standar Bank Dunia, skor 0 sampai 1, tapi 
tak boleh melampaui 0,5 sebagai limit terparah! Kita semakin mendekati limit 
itu!"

      "Seperti apa wujud ketimpangan itu?" kejar Temin.

      "Contoh, 40% penduduk berpendapatan rendah 2002 mendapat kue nasional 
(PDB) 20,82%, pada 2007 tinggal 19,1%. Lalu 40% warga kelompok menengah dari 
38,89% turun jadi 36,11%. Sedang 20% kelas atas, naik dari 42,2% jadi 44,8%," 
jelas Temon. "Jadi, pembangunan selama ini mengecoh rakyat, yang miskin kian 
melarat, sedang elite--yang selalu mendahulukan kepentingan dirinya--tambah 
makmur drastis!" ***
     

<<bening.gif>>

<<buras.jpg>>

Kirim email ke