PEMERINTAH DAN GLOBALISASI: TAKE IT OR DIE.
oleh : Justiani

Ekonom penerima Hadiah Nobel, Jospeh Stiglitz mengkritik bagaimana proses 
globalisasi yang dikelola oleh IMF telah menciptakan kemiskinan dan gejolak 
sosial dimana-mana, namun ia percaya, bahwa globalisasi itu sebenarnya bisa 
menguntungkan negara kaya maupun miskin. Kaum miskinpun bisa memanfaatkan 
globalisasi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Tentu saja, gejala 
pemiskinan, ketimpangan dan erosi budaya lokal, harus ditolak dan dicegah. Tapi 
fakta juga menunjukkan, bahwa bangsa Cina dan India justru mampu menunggangi 
arus globalisasi. Di India umpamanya, telah timbul pusat teknologi informasi di 
Bangalore semacam Silicon Valey di AS. Di desa teknologi tersebut tumbuh 
perusahaan-perusaha an skala global yang melayani pesanan-pesanan software dari 
perusahaan-perusaha an multinasional dari AS, Eropa-Barat dan Jepang. 

Bukan hanya itu, ada kisah sukses di salah satu pantai India dimana dengan 
diberikannya fasilitas handphone dengan aplikasi multimedia di tangan para 
keluarga nelayan, maka para ibu-ibu nelayan bisa melakukan “future trading” 
sementara bapak-bapak nelayan masih berada di tengah laut. Ketika mau merapat 
mereka sudah tahu tangkapan apa saja yang didapat para nelayan, dan segera para 
ibu mulai melakukan “future trading” sebagaimana di bursa saham atau komoditi 
saja. Para tengkulak tidak lagi mendapat tempat karena data harga yang selalu 
“up-to-date” dapat diakses lewat handphone multimedia tadi. Dari Indonesia pun 
tidak kalah kreatif, ada yang membuka sekolah tari melalui internet, muridnya 
dari seluruh dunia. Dengan cara ini, kan justru budaya lokal jadi mengglobal. 
Maka, istilah ”global village” nya Mac Luhan tadi menjadi sangat relevan. 

Kemajuan Teknologi Informasi Komunikasi mendorong revolusi sosial melalui 
revolusi senyap (silence revolution). Hampir semua ahli sepakat bahwa 
globalisasi yang didorong oleh teknologi informasi komunikasi sedang memerankan 
sebuah revolusi sosial. Revolusi sosial ini secara pasti merasuki semua sudut 
kehidupan. Ia mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media 
dan pendidikan, merombak struktur dunia usaha, mendorong pemaknaan ulang 
perdagangan dan investasi, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, 
perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar 
individu. Hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan 
individu. 

Dalam era globalisasi, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena 
globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. 
”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. 
Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam 
paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera 
diubah menjadi public services management. Yang pasti high-cost bureaucarcy 
pada akhirnya berakibat pada kesengsaraan rakyat dan punahnya peran pemerintah. 

Sebenarnya, dalam “economy circle” (lingkaran ekonomi) di era pasar bebas, 
dimana kekuatan kapital sangat dominan, maka peran pemerintah adalah 
penyeimbang lingkaran ekonomi tersebut. Yang kalau diterjemahkan secara 
kongkrit, maka tugas besar pemerintah adalah pelindung lapisan masyarakat yang 
paling bawah melalui berbagai bentuk insentif kesejahteraan sosial ekonomi 
(welfare program) tidak hanya melalui sumbangan pajak dari mereka yang kuat, 
namun lebih dari itu melalui korporasi kerakyatan yang terorganisir dengan 
sistem berbasis multimedia sehingga rakyat juga bisa merasakan nilai tambah 
secara langsung tanpa melalui tangan-tangan elite politik dan partai-partai.

Mekanisme pasar (market mechanism) yang sekaligus menunjukkan peranannya secara 
nyata dalam hal distribusi sosial, sehingga bisa dibilang mendorong terjadinya 
“the death of government”. Bukan tidak mungkin, sebuah nation-state baru yang 
berbasis “wired-society” terbentuk secara pasti menurut dorongan pasar. 
Disamping menawarkan produk dan layanan, juga ditawarkan pembagian insentif, 
apakah itu revenue atau profit, secara langsung kepada rakyat. Kalau dengan 
sistem pemerintah, dalam sistem kontrak sosial melalui negara, insentif semacam 
itu dikembalikan lewat mekanisme pajak (tax return) kepada kelompok yang kurang 
mampu, ditambah dengan layanan sosial berupa “shelter” (rumah perlindungan) , 
santunan anak (child care), asuransi kesehatan (health care), subsidi 
pengangguran (unemployment care), dll. Inilah negara baru yang akan kita hadapi 
dalam waktu tidak lama lagi. Berbagai model persaingan layanan masyarakat, 
semakin hari semakin
 menunjukkan
kecanggihannya. Siapa yang pandai memikat hati rakyat dengan berbagai produk 
dan layanan (jasa), dialah yang akan berhasil membentuk negara baru.

Perdebatan global antara ”Market Forces versus Government Forces” amat menarik. 
Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang diambil alih oleh mekanisme 
pasar, apalagi pemerintah yang lembam, lambat, tidak efisien ditambah lagi 
korup. Maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi 
berimbas pada terancamnya eksistensi negara bangsa. Karena pemerintah semacam 
itu hanya akan menjadi beban bagi rakyatnya dan buat keseluruhan sistem karena 
high-cost bureaucracy. 

Bagi pemerintah yang cerdas, ini adalah peluang dalam tarik-menarik kekuatan 
menuju “borderless world”, “the end of nation-state” dan lain-lain yang katanya 
fungsi pemerintah akan tergeser oleh mekanisme pasar. Hanya saja, pemerintah 
tidak mungkin dengan terus mempertahankan cara-cara lama. Kita harus berpikir 
“out-of-the-box”, bahkan kalau dalam buku ”Blue Ocean Strategy” (Strategi 
Samudra Biru, menciptakan ruang pasar baru, sehingga kompetisi tidak lagi 
relevan). Pemerintah juga jelas pasarnya, yaitu rakyat, jadi peranannya jauh 
lebih sederhana. Tinggal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana 
tuntutan MDG (Millenium Development Goals). Masih mengacu kepada “Blue Ocean 
Strategy”, kalau disitu dikatakan bagaimana membuat kompetitor tidak lagi 
relevan, maka sesungguhnya pemerintah adalah mudah sekali, karena pada dasarnya 
kompetitornya tidak ada. Pemerintah itu bentuk monopoli kekuasaan. Kalau 
korporasi masih harus bekerja
keras untuk mendapatkan atribut-atribut tersebut, sementara pemerintah tidak 
perlu lagi. Semua sudah ada di tangan. Jadi jauh lebih mudah menerapkan 
strategi baru tersebut.
Keberhasilan Revolusi Teknologi Informasi Komunikasi yang bisa mendorong 
diterapkannya ”Blue Ocean strategy” secara sadar atau tidak sadar terabaikan 
oleh bangsa kita. Padahal kedepan rakyat perlu memiiliki alat untuk 
mengorganisir diri melalui sistem manajemen yang berbasis pada teknologi 
informasi komunikasi (ICT). Dan yang terpenting, pesan yang disampaikan dalan 
strategi samudra biru adalah sikap kepemimpinan, yang harus pandai mengubah 
segala macam persoalan menjadi peluang dan tantangan. Disini perlu pemimpin 
yang cerdas, tegas dan berwawasan. 

Gelombang pasar bebas dan globalisasi sedang menguji kembali konsep dan 
kekukuhan (soliditas) dari bentuk "negara-bangsa" (nation-state) di dunia. 
Gelombang ini pula yang telah mendorong semua negara untuk menata kembali 
"perusahaan negara bangsa" (nation-state corporation) yang sedang dikelolanya 
untuk bisa masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri. 
Pemerintah di seluruh dunia sedang berbenah untuk merumuskan kembali peranan 
mereka untuk menjaga eksistensinya. Dalam era yang serba "market driven", peran 
pemerintah juga akan dinilai dari kinerjanya dalam mekanisme pasar. Apakah 
kinerjanya mengganggu kondisi pasar, apakah kebijakannya membebani keseluruhan 
sistem karena tidak-mampuannya dalam menjaga keseimbangan. Apakah peran 
pemerintah sudah efisien dari kacamata manajemen perusahaan modern. 

Peluang dan dinamika inilah yang mendasari pemimpin-pemimpin cerdas dari 
beberapa negara untuk memutuskan untuk melakukan revolusi cerdas, terpimpin, 
dan senyap (silence revolution) melalui perombakan mendasar yang dipimpin oleh 
kepala negaranya, sebagaimana dilakukan oleh Thaksin Shinawatra mengubah 
menjadi Thailand Incorporated, demikian juga Mahathir Mohammad mengubah 
negaranya menjadi Malaysia Incorporated 2020 yang berbasiskan paradigma 
Multimedia Supercorridor. Demikian juga Hun Jin Tao dari China, Ahmadinejad 
dari Iran, dan Hugo Chavez dari Venezuela dengan berbagai versi strategi 
revolusi cerdas sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Pemerintah yang 
korup dan tidak efisien akan berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang 
semakin hari semakin menawarkan efisiensi dan biaya manajemen termurah tapi 
dengan layanan terbaik. Mekanisme pasar bebas ini langsung berhadapan dengan 
rakyat sehingga rakyat secara demokratis dapat menentukan
pilihannya. Indonesia di persimpangan jalan. Kalau tidak segera bertindak dan 
menyikapi globalisasi dengan tepat, maka Indonesia menuju kehancuran, tanpa 
disadari, namun pasti akan terjadi. PUNAH.

APA NASIONALIME INDONESIA MAMPU MENJADI PEMENANG (VICTOR) DALAM GLOBALISASI?

Globalisasi di Indonesia sudah terjadi sejak jaman Hindu masuk ke Indonesia, 
dimana Nusantara merupakan sekumpulan Kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. 
Lalu disusul masuknya para Wali yang sambil berdagang menyebarkan ajaran Islam, 
disusul dengan jaman kolonial dimana perusahaan dagang Belanda, yaitu VOC 
menguasai Nusantara dan mengontrol perdagangan rempah-rempah, kopi, teh, kelapa 
sawit, coklat, gula, dll komoditi yang ada di bumi Nusantara. Makanya masih 
bisa kita lihat berbagai peninggalan jaman Belanda berupa perkebunan 
dimana-mana, yang sekarang menjadi BUMN yang disebut PTPN (PT Perkebunan 
Negara). 

Dengan keterpurukan Indonesia saat ini, serta persoalan yang multidimensi tanpa 
penyelesaian, banyak yang mengkhawatirkan thesis Huntington tentang perpecahan 
bisa terjadi di Indonesia. Saya percaya Indonesia dengan Pancasila nya memiliki 
kedewasaan berbangsa yang tinggi. Memorandum Helsinki merupakan salah satu 
contoh nyata bagaimana persoalan Aceh bisa diselesaikan dengan damai dengan 
suatu model kompromistis terbaik dalam kerangka globalisasi. 

Propinsi NAD ”defacto” merdeka secara ekonomi namun secara politik tetap 
mengakui Republik Indonesia sebagai kedaulatan negara. Kalau kita cermati isi 
perjanjian Helsinki, provinsi NAD boleh memiliki bank sentral sendiri artinya 
boleh mencetak matauang sendiri, boleh melakukan perdagangan antar negara serta 
transaksi keuangan atau pinjaman (loan) dengan negara lain secara mandiri, 
boleh mendirikan partai lokal, berhak atas aset sebesar 70%, sementara 30% 
adalah hak pemerintah pusat (Republik Indonesia). Dari sisi globalisasi, 
kompromi ini bisa dilihat sebagai model yang paling efisien. Bagi hasil aset 
30% untuk Pemerintah Pusat boleh dianggap sebagai biaya franchising bendera 
Indonesia, sehingga provinsi NAD tetap mengakui “merah putih” ketimbang harus 
mengeluarkan ongkos mendirikan keduataan besar atau konsulat di setiap negara 
dan membangun militer sendiri yang biayanya tidak sedikit. Maka, 30% adalah 
biaya pinjam bendera. Demikianlah dari
kacamata globalisasi yang disandarkan pada ekonomi. Sebagai model mungkin bisa 
menjelaskan aplikasi dari teori yang anda kemukakan diatas. 

Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, dalam wawancara dengan saya, mengatakan bahwa 
kalau sampai terjadi perpecahan di Indonesia, maka biayanya amat besar. Anda 
ingat satu Bosnia yang pengungsinya hanya belasan ribu orang sudah menjadi 
beban dunia. Kalau Indonesia terpecah belah maka jutaan orang akan menjadi 
pengungsi dan akan menjadi beban dunia yang sangat berat. Ini tentu tidak 
diinginkan oleh warga dunia. Kita tahu bahwa suku-suku bangsa di Indonesia 
sudah tersebar diseluruh penjuru tanah air dengan identitas bangsa Indonesia 
tidak peduli dimanapun dia berada. Kalau sampai terjadi perpecahan, maka 
sukubangsa yang sudah menetap tidak daerah asalnya akan dikejar-kejar dan 
dibunuhi oleh suku asli seperti yang terjadi di Bosnia. Padahal sejak Sumpah 
Pemuda 1928 dikumandangkan, suku-suku bangsa di Indonesia sudah banyak 
melakukan kawin campur antar suku tanpa ada sutu masalah karena mereka percaya 
dan meyakini diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Bahkan juga
kawin antar agama, bukan hanya antar suku. Konsep Indonesia semacam itu indah 
sekali. Maka secara geo politik, tidak mungkin Indonesia dihancurkan atau 
dipecah-belah dengan dalih apapun karena dunia akan ikut menanggung akibatnya. 

Maka, solusi kompromistis seperti provinsi NAD akan memberikan inspirasi kepada 
daerah-daerah lain. Ini adalah tantangan untuk pemerintah pusat apaibila tetap 
tidak melakukan perubahan yang bisa mensejahterakan rakyat serta mengarahkan 
proses otonomi daerah yang secara konvergen dan konsisten menuju suatu bingkai 
baru ”Smart Indonesia Incorporated”. Intinya, liberalisasi politik dan ekonomi 
untuk Indonesia perlu dirumuskan berbasis kerakyatan, sehingga akumulasi 
kapital juga didisitribusikan untuk rakyat... 

Sering dinyatakan bahwa Indonesia amat didikte oleh asing. Globalisasi mencakup 
proses dikte-mendikte antar negara. Indonesia tidak terkecuali. Sesungguhnya 
semua negara saling ”mengintervensi”, Amerika sendiri saat ini kewalahan 
menghadapi Cina yang mampu menawarkan harga produk yang jauh lebih murah. Di 
kita sendiri, bukankah Outlet Factory disejumlah kota tak terkecuali di 
Bandung, saat ini justru didominasi produk dari Taiwan, RRC dan juga Thailand, 
sama sekali bukan produksi industri setempat. 

Soal ”dikte-mendikte” di tingkat global, itu tergantung kemauan kita sebagai 
bangsa. Lihat saja Cina yang boleh dibilang ”suka-suka”, ”maunya sendiri”. Kita 
ini yang tidak jelas maunya apa sebagai bangsa. Dalam hal kedaulatan negara 
terlebih dibidang ekonomi, tidak seharusnya Indonesia sampai didikte seperti 
yang terjadi dewasa ini, karena Indonesia kaya raya. Sumberdaya alam dan 
mineral kita yang berlimpah itu seharusnya dikelola dengan orientasi untuk 
kepentingan rakyat banyak. Bukan konsesi tambang diberikan kepada si A yang 
tentu saja membuat si A dan kroninya kaya raya, dengan bermodalkan lisensi 
melalui pasar modal mereka bisa mengeruk uang dalam jumlah yang besar. 
Sementara pada saat yang bersamaan, Pemerintah Daerah sibuk mondar mandir 
mencari investasi untuk membangun rumah sakit, pasar, terminal, air bersih, 
dll. 

Jadi kalau dengan kekayaan alam yang melimpah serta rakyat yang demikian 
tangguh, tapi nyatanya Indonesia masih didikte, itu berarti yang salah kita 
sendiri. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat dan pemerintah tentang 
aset-aset yang dimiliki, seperti dikatakan oleh Hernando de Soto. Kesadaran 
itulah yang bisa memulai proses transformatif untuk mengubah aset-aset itu 
menjadi modal produktif yang bisa menggerakkan lokomotif perekonomian. 
Disinilah pentingnya kesadaran publik, bahwa dalam diri kita sebagai bangsa ada 
yang salah. Dan mestinya setelah diketahui dimana letak kesalahan tersebut, 
tidak perlu ada resistensi dalam menyatukan segenap kekuatan untuk menata 
kembali, agar kita segera bangkit dari keterpurukan, untuk segera mengejar 
ketertinggalan yang sudah terlanjur terjadi.

Tentang kemandirian bangsa dan nasionalisme, terdapat ganjalan besarnya utang 
luar negeri kita, yang hingga kini telah mencapai US$150milyar, merupakan 
instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat. Utang luar 
negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa, juga merupakan 
bentuk penghisapan. Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa 
kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. 
Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada 
kepentingan IMF yang berarti segala-galanya ditentukan oleh IMF. Padahal 
kenyataan membuktikan bahwa IMF sudah diusir hampir di semua negara, terutama 
Amerika Latin, mengapa Indonesia masih bergantung kepada IMF? Ini kebodohan 
Indonesia sendiri. Persoalannya tinggal bagaimana kedepan kita bersikap. 
Indonesia harus berani mengubah model ekonominya yang harus dilandasi dengan 
perubahan sistem kenegaraan yang melandasinya. 

Dengan pemahaman tersebut, maka yang perlu dijadikan prinsip atau landasan 
untuk memaknai nasionalisme baru Indonesia. Bukan lagi nasionalisme karena 
bangsa merasa senasib bekas dijajah Belanda, namun nasionalisme harus ditata 
ulang, dimaknai ulang, yakni apa manfaat keberadaan negara bagi nasib orang per 
orang secara nyata. Kata kuncinya adalah menjamin kesetaraan di bidang ekonomi, 
politik, sosial kultural, keamanan baik individu maupun kelompok tanpa pandang 
latar belakang primordialnya. Kesemuanya itu harus dibingkai oleh platform 
Indonesia Incorporated berdasar kepada ”people cybernomics” (sibernomik 
kerakyatan = ekonomi digital kerakyatan). Platform ini yang menjadi pengikat 
persatuan dan kesatuan nasional dalam arti baru yang relevan dengan jamannya, 
dan yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan peluang-peluang jaman baru 
untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Pelopor rahmatanlil alamin.

(*) Justiani (Liem Siok Lan). Direktur Asia Pacific SMarT Development and 
Financing. Direktur EDinar University. Representative WITO (World Islamic Trade 
Organization) . Alamat: 1615 Place Therese, Brossard, Quebec J4W 3G2 Canada. 
Email: liemsioklan@ yahoo.com HP: +62 857 1922 3818

(*) Pewawancara buku Mengutamakan Rakyat (Wawancara Mayjen TNI Saurip Kadi), 
Menembus Batas (Wawancara Tokoh Dunia), Rakyat Berdaulat (Wawancara Adi 
Sasono), Alexandra dan Ali Topan: Ku Selalu Ada (Novel karya bersama Tegus 
Esha). 

(*) Ketua Dewan Pakar DESA MERAK (DEddy SAurip MEngutamakan RAKyat), Salah satu 
Pendiri NEGERI MERAK.



      

Kirim email ke