Jawa Pos [ Selasa, 30 Juni 2009 ]
Jelang Debat Pemungkas; Menimbang Presiden yang Prootonomi (1) Saatnya Konkret Atasi Kesenjangan Aktual Oleh: Dadan S. Suharmawijaya Otonomi daerah adalah sistem terbaik pengelolaan pemerintahan di Indonesia. Negara ini terlalu luas untuk hanya diurusi sekelompok orang di Jakarta (baca: pusat). Tema besar itu akan jadi pokok debat capres putaran terakhir pada 2 Juli 2009 lusa. Pakar otonomi daerah dari UGM Prof Dr Pratikno MSoc SC bakal jadi moderator. Tim The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi menyampaikan ulasan menjelang debat tersebut. --- TAK bisa tidak, presiden harus prootonomi daerah. Komitmen verbal ini bahkan sudah sering diucapkan ketiga capres. Megawati mengklaim UU 32 Tahun 2004 yang menjadi dasar otonomi daerah saat ini merupakan produk era kepemimpinannya periode 2001-2004. SBY maupun JK bahkan secara khusus mendeklarasikan komitmen prootonomi pada acara tahunan Otonomi Award The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi di kesempatan berbeda. Namun, sekali lagi, komitmen prootonomi para capres tersebut perlu diuji. Sejumlah kendala implementasi otonomi daerah justru bersumber dari tarik ulur kepentingan elite politik maupun birokrasi di pusat (yang dipimpin presiden). Hal itu tampak pada kekacauan regulasi implementasi otonomi, baik secara regulasi sektoral maupun regulasi vertikal. Sampai saat ini, sejumlah regulasi sektoral belum selaras dengan semangat otonomi daerah. Bahkan, oleh sebagian departemen, UU Pemerintahan Daerah masih dipandang sebagai undang-undangnya Departemen Dalam Negeri. Kekacauan regulasi sejenis secara vertikal juga demikian. Antara UU, peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan menteri (permen), yang mengatur substansi yang sama, belum ada keselarasan. Sebagian tidak implementatif karena tidak ada peraturan pelaksana di bawahnya, namun sebagian lagi justru tumpang tindih, bahkan bertabrakan. Persoalan lain yang menghambat otonomi daerah bersumber dari persoalan ketidakselarasan sistem pemerintahan yang didesain desentralisasi dengan sistem kepartaian yang masih sangat sentralistik. Sejumlah kebijakan partai di daerah maupun pemilihan kepala daerah ditentukan pengurus pusat partai, bahkan oleh ketua umum atau ketua pembina partai. Dengan demikian, persoalan besar otonomi daerah bersumber dari birokrasi pemerintahan di pusat dan konstelasi politik kepartaian. Sekelompok kecil elite birokrasi dan politisi pusat itulah yang masih memengaruhi tarik ulur implementasi otonomi daerah. Mereka seakan belum rela menyerahkan sebagian kewenangan mereka kepada daerah. Karena itu, komitmen prootonomi capres harus ditunjukkan sedikitnya dalam dua kapasitas. Yaitu, sebagai kepala pemerintahan dan sebagai politisi yang negarawan. Sebagai kepala pemerintahan, dia harus mampu mengendalikan elite birokrasinya. Sebagai negarawan, dia harus mampu menyinambungkan konstelasi sistem politik yang kondusif terhadap otonomi daerah. Kesenjangan Otonomi Akibat sejumlah kendala otonomi yang belum terselesaikan di atas, sejumlah PR (pekerjaan rumah) muncul sebagai bahan ujian nyata bagi pasangan capres. Di antaranya, sejumlah kesenjangan nyata antara hubungan pusat dan daerah. Menurut ekonom UI Faisal Basri dalam sebuah diskusi dengan JPIP, saat ini masih terdapat empat kesenjangan. Yaitu, kesenjangan kewenangan, kesenjangan fiskal, kesenjangan moneter, dan budaya konsumsi yang salah. Pertama, kesenjangan kewenangan -yang sebagian telah diulas di atas- yaitu tereduksinya kewenangan pemerintah daerah sebagai amanat undang-undang oleh regulasi perundangan lain atau yang di bawahnya. Ujung-ujungnya, reduksi kewenangan itu mengembalikan desentralisasi menjadi sentralisasi terselubung. Kedua, kesenjangan fiskal terjadi karena terserapnya seluruh potensi pendapatan negara oleh pemerintah pusat. Daerah hanya mendapatkan sumber pendapatan sisa yang tidak berarti. Sumber pendapatan seperti pajak potensial (pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dll), cukai, hasil alam migas dan pertambangan, diserap pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil yang dikembalikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (DAU, DAK, bagi hasil). Hal itu semakin parah karena sebagian besar perusahaan yang beroperasi di daerah terdaftar di Jakarta. Dengan demikian, seluruh pembayaran pajak perusahaan tersebut dilakukan di Jakarta meski transaksinya dilakukan di daerah. Ketiga, kesenjangan moneter, yaitu terserapnya dana masyarakat melalui perbankan di daerah. Uang masyarakat daerah yang ditabung di cabang-cabang perbankan yang ada diserap oleh bank nasional yang disetorkan ke kantor pusatnya di Jakarta. Tabungan rakyat tersebut kemudian disalurkan berupa kredit bagi para konglomerat. Hanya sedikit dana tabungan masyarakat di daerah yang dikembalikan dalam bentuk kredit UKM bagi masyarakat di daerah. Hasil olah data JPIP menunjukkan perbandingan rata-rata 85 : 15. Artinya, hanya 15 persen tabungan rakyat daerah yang menjadi kredit usaha di daerah, 85 persen tersalurkan ke konglomerat. Ini sebuah ironi, konglomerasi justru dibesarkan oleh dana rakyat kecil di daerah. Terakhir, kesenjangan konsumsi yang memperparah kesenjangan fiskal dan moneter. Yaitu, tersingkirnya pelaku usaha daerah dan pasar tradisional akibat terserapnya perekonomian daerah melalui kesalahan budaya belanja masyarakat yang hampir semua kebutuhannya (primer, sekunder, dan tersier) mengonsumsi produk perdagangan kartel. Semua produk dan fasilitas perdagangan di daerah (mal, pasar modern, jaringan distributor, dan franchise) merupakan cabang usaha konglomerasi Jakarta (bahkan, dunia). Melalui jaringan perdagangan ini, uang masyarakat di daerah terserap ke dalam sistem produksi nasional yang mengakibatkan sistem produksi lokal tergilas habis dan mati. Sejumlah kesenjangan faktual di atas mau tidak mau akan menjadi batu ujian, sekaligus menunjukkan apakah kebijakan yang diambil para capres menjadi bukti komitmen prootonomi mereka. Kita tunggu apa yang akan dijanjikan dalam debat dua hari mendatang. *) Dadan S. Suharmawijaya, research executive pada The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP), Surabaya HALAMAN KEMARIN a.. Jelang Debat Pemungkas; Menimbang Presiden yang Pro-Otonomi (2) b.. Refleksi HUT Bhayangkara 1 Juli 2009 c.. Menunggu Realisasi Janji Kapolri d.. Bergaya ala Manohara e.. Menyikapi Kepongahan Negeri Tetangga f.. Pilpres, Etnis Tionghoa Pilih Siapa? g.. Dunia Tontonan Telah Melindas HAM h.. Stop Eksploitasi Anak! i.. Merawat Industri Kreatif j.. Kemiskinan Tak Kunjung Hilang
<<logo_index%20_hari_ini.jpg>>