5 Fakta-Fakta Penyelewangan Dana BOS, Ironi “Sekolah Gratis”
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/07/02/5-fakta-fakta-penyelewangan-dana-bos-ironi-sekolah-gratis/
 
 
Seperti yang saya singgungkan dalam dua artikel sebelumnya mengenai iklan 
“sekolah gratis, pasti bisa” dan fakta bahwa butuh biaya Rp 575.000 per siswa 
SMP untuk masuk ke jenjang pendidikan menengah pertama. Dan angka-angka ini 
bervariasi tergantung daerah dan kebijakan sekolah.
 
Depdiknas
Berdasarkan UU 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, telah mengatur bahwa pendanaan 
pendidikan menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 
dan masyarakat sebesar minimal 20% dari belanja negara/daerah. Namun, 
perjuangan 3 tahun para guru dalam wadah PGRI menuntut pemerintah SBY-JK untuk 
mematuhi UU 20/2003 agar APBN memberi porsi 20% bagi pendidikan tidak dipatuhi 
pemerintah. Hingga pada Mei 2008, para guru berhasil mengugat APBN pemerintah 
SBY-JK periode 2009 melalui keputusan MK agar pemerintah SBY-JK mematuhi UU 
20/2003 sekaligus menandakan kemenangan para guru (maaf, bukan inisiasi 
partai/politkus yang gemar mempolitisasi APBN 20% adalah hasil usahanya).
Sebelum Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan para guru pada Mei 2008, 
akhirnya pemerintah SBY-JK “terpaksa” mematuhi 20% anggaran pendidikan dari 
APBN. Angka ini meningkat bak  disampar petir, karena kita tahu bahwa sektor 
pendidikan pada tahun 2007 hanya menerima sebesar 11.8% dari APBN (Rp 50.02 
triliun). Dan pada tahun 2008 hanya 12% dari APBN (Rp 61.4 triliun). Dan pada 
tahun 2009, pemerintah baru menganggarkan pendidikan 20% APBN setelah digugat 
oleh para guru melalui PGRI. Sekali lagi saya tekankan, agar rakyat tidak 
dibodohi oleh iklan tidak bertanggungjawab karena secara tidak langsung pembuat 
iklan menghina perjuangan para guru melalui PGRI yang setia selama 3 tahun  
menggugat APBN yang tidak menganggarkan 20% pendidikan. Inilah politik busuk!
Berikut ini saya sampaikan Buku Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas 
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan 
Dana Pendidikan Dasar Lainnya (DPL) TA 2007 dan 2008. Dalam mengaudit hasil 
laporan dana BOS dan dana pendidikan lainnya, BPK RI mengambil uji sampling 
pada 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, serta hasil pengolahan kuesioner yang 
telah diisi kepala sekolah. Catatan penting : Data penyalahgunaan anggaran ini 
hanya disampling 4127 sekolah SD/SMP dari sekitar 200.000 SD/SMP. Atau angka 
tertera hanya mencatat 2% dari total penyalahan anggaran dana BOS..
Dari hasil audit dan pengolahan data di lapangan, maka diperoleh statisik 
penyelewangan dana BOS dan dan pendidikan dasar lainnya sebagai berikut :
1. Sebanyak 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS dan DPL (indikasi 
korupsi)

Sebanyak 62,84% sekolah yang disampling tidak mencantumkan seluruh penerimaan 
dana BOS dan DPL dalam RAPBS dengan nilai Rp 479,96 miliar [TA 2007] dan  Rp 
144, 23 miliar [TA 2008 semester I]. Padahal salah satu media perencanaan yang 
dipakai sekolah dalam pengelolaan keuangannya adalah Rencana Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). 
Penyalahan ini disebabkan oleh : 1) petunjuk teknis BOS dalam penyusunan RAPBS 
tidak mengatur
secara jelas cara penyusunan dan mekanisme pengesahan dari RAPBS menjadi APBS 
dan 2) Kepala sekolah tidak transparan dalam mengelola dana sekolah. 
2. Sebanyak 4.12% sekolah tidak mengratiskan biaya operasional sekolah pada 
siswa didiknya

Dari 4.127 sekolah di 62 kabupaten/kota, diperoleh 47 SD (27 SD Negeri dan 20 
SD Swasta) dan 123 SMP (95 SMP Negeri dan 28 SMP Swasta) di 15 kabupaten/kota 
belum membebaskan biaya/iuran bagi siswa tidak mampu di sekolah dan tetap 
memungut iuran/biaya pendidikan seperti iuran ekstra kurikuler, sumbangan 
pengembangan sekolah, dan iuran komputer kepada siswa. 
3. Dana BOS sebesar Rp28.14 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya 
(indikasi korupsi).


Sesuai dengan peraturan dan perundangan, dana BOS diperuntukkan untuk : 

pembiayaan seluruh kegiatan Penerimaan Siswa Baru (PSB); 
pembelian buku tekspelajaran dan buku penunjang untuk koleksi perpustakaan; 
pembelian bahan-bahan habis pakai, misalnya buku tulis, kapur tulis, pensil, 
bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran, gula, kopi 
dan teh untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah; 
pembiayaan kegiatan kesiswaan, program remedial, program pengayaan siswa, 
olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja dan 
sejenisnya; 
pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil 
belajar siswa; 
pengembangan profesi guru antara lain pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS; 
pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor, 
perbaikan pintu dan jendela, perbaikan meubelair dan perawatan lainnya; 
pembiayaan langganan daya dan jasa; 
pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah; 
pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin; 
pembiayaan pengelolaan BOS dan bila seluruh komponen diatas telah terpenuhi 
pendanaannya dari BOS dan jika masih terdapat sisa dana maka sisa dana BOS 
tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran  
sekolah. 
Penggunaan dana BOS yang dilarang: 

untuk disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan; dipinjamkan 
kepada pihak lain; membiayai kegiatan yang bukan merupakan prioritas sekolah; 
membayar bonus,transportasi, atau pakaian yang tidak berkaitan dengan 
kepentingan murid; 
melakukan rehabilitasi sedang dan berat; 
membangun gedung/ruanganbaru; 
membeli bahan atau peralatan yang tidak mendukung prosespembelajaran; 
menanam saham; dan 
membiayai kegiatan yang telah dibiayai sumber dana pemerintah pusat atau 
daerah. 
Fakta dilapangan: dari hasil sampling 4127 sekolah terdapat 2054 sekolah 
(sebesar 49,79%) penerima dana BOS menyalahi penggunaan dana BOS sebesar Rp 
28.14 miliar dengan sebagai berikut: 

Biaya transportasi kegiatan rekreasi kepala sekolah dan guru. 
Uang lelah kepala sekolah. 
Biaya pertemuan hari ulang tahun yayasan (biasa terjadi di sekolah swasta yang 
dikelola yayasan). 
Dana BOS digunakan untuk membeli laptop, PC desktop, flash disk, dan peripheral 
komputer lainnya yang tidak terkait langsung dengan murid. 
Membeli peralatan yang tidak berkaitan langsung dengan murid seperti dispenser, 
TV, antena parabola, kursi tamu di ruang kepala sekolah, lemari, dan lain-lain. 
Pembelian voucher hand phone, pemberian uang duka dan karangan bunga acara 
pisah sambut kepala dinas, pembelian note book dan PC desktop. 
Melakukan rehab gedung sekolah yang termasuk dalam rehab sedang atau berat. 
Biaya honor dan transportasi guru untuk kegiatan-kegiatan pengembangan profesi 
yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah 
lainnya seperti LPMP, SKB, dan Pemda. 
Dana BOS dipinjamkan sementara untuk membiayai honor guru bantu atau honor guru 
tidak tetap yang belum dibayarkan oleh pemerintah daerah. 
Biaya partisipasi HUT Kota/Kabupaten (mengikuti parade HUT kota atau 
kabupaten). 
Biaya konsumsi guru dari pagi s.d. siang hari (selain biaya teh, gula, dan kopi 
seperti diperbolehkan dalam juklak) 

Dengan mengunakan uji sampling (uji petik) 4127 dari sekitar 200 ribu sekolah, 
maka dana BOS yang tidak digunakan sesuai peruntukan dalam operasional sekolah 
mencapai Rp 1.4 triliun. 
Dari laporan BPK RI tersebut, mestinya Departemen Pendidikan Nasional (Menteri 
Bambang Subadyo) berbenah diri mengurusi penyalahan penggunaan anggaran sekolah 
dan mensosialisasi melalui kepada dinas kabupaten/kota untuk 
mengimplementasikan dengan tepat anggaran BOS dari uang pajak rakyat+sumber 
daya alam+ utang negara.  Bukan pula dengan melancarkan iklan “sekolah gratis” 
yang menghabiskan ratusan miliar rupiah. 
4. Buku dana BOS buku sebesar Rp562.4 juta tidak sesuai dengan buku panduan 
BOS  (indikasi korupsi) dan senilai Rp656.7 juta belum/tidak dapat dimanfaatkan.

Dari sampling 4127 SD/SMP di 62 kabupaten/kota, terdapa 134 sekolah di  14 
kabupaten/kota senilai Rp 562.4 juta yang menggunakan dana BOS buku untuk 
membeli buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan juknis BOS buku. Secara 
statistik, angka penyalahaan BOS buku ini setara dengan Rp 25 miliar untuk 
sekitar seluruh SD/SMP di Indonesia. 
5. Terjadinya indikasi korupsi sebesar Rp 2.41 miliar dana safeguarding 

Dalam pemeriksaan BPK RI atas pengelolaan dana safeguarding menunjukkan bahwa 
pengelolaan dana safeguarding pada Tim Manajemen BOS Provinsi Maluku Utara, 
Jawa Timur dan Maluku terjadi penyimpangan senilai Rp 2.14 miliar. 
Dalam dokumen pemeriksaan BPK RI, secara jelas menyatakan adanya indikasi 
korupsi dengan rincian sebagai berikut : 

Pemasangan iklan safeguarding Maluku Utara diragukan kewajarannya dan 
diindikasikan merugikan keuangan negara sebesar Rp250,37 juta dan ditambah  
perjalanan dinas tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar  Rp1,32 miliar. 
Kerugian negara atas kelebihan pembayaran atas pekerjaan penyuluhan dan 
penyebaran informasi melalui media cetak di Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 
749,63 juta. 
Kemahalan harga atas penayangan iklan di Provinsi Maluku sebesar Rp 88,57 juta. 
************
Sebenarnya ada 12 temuan penyalahan penggunaan anggaran BOS dan DPL dari hasil 
pemeriksaan BPK RI. Namun dalam kesempatan ini, saya hanya mengambil 5 dari 12 
laporan temuan penyalahgunaan anggaran BOS dan DPL yang merugikan negara hingga 
puluhan bahkan triliun rupiah.
Dalam laporan setebal 93 halaman tersebut juga secara jelas merilis 
kabupaten/kota yang bermasalah dalam menggurus dana BOS dan DPL.  Penyaluran 
dana BOS ke sekolah-sekolah pada 32 provinsi mengalami keterlambatan 1 sd 66 
hari untuk TA 2007 dan 1 sd 60 hari untuk TA 2008, sehingga bank/diknas 
setempat mendapat keuntungan dari dana ‘tabungan’/bunga setoran yang ditanamkan 
di bank-bank tersebut.
Begitu juga, penitipan uang pajak senilai Rp1.212,00juta atas DAK Bidang 
Pendidikan yang diterima sekolah di Kota Jayapura dipergunakan untuk 
kepentingan lain dan sisa dana penitipan uang pajak sebesar Rp423,18juta belum 
disetor ke kas negara
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengorganisasian dan implementasi dari 
dinas pendidikan kabupaten/kota. Birokrasi masih menjadi biang kebocoran dana 
negara. Mestinya Depdiknas melalui Mendiknas Bambang S sudah melihat hal ini 
jauh ke depan dan tidak dengan begitu ambisius melancarkan iklan “sekolah 
gratis”. Jika Anda memang piawai dalam pendidikan, jangan khawatir Anda akan 
diangkat sebagai Mendiknas lagi oleh Capres yang menang, tanpa harus 
memenangkan salah satu capres, karena jelas sekali dana iklan sekolah gratis 
“bisa” menggunakan dana rakyat.
Akhir kata, apa makna “sekolah gratis”, jika reformasi birokrasi di Depdiknas 
masih jauh dari harapan serta terjadi penyalahgunaan anggaran karena 
ketidakprofesionalan pejabat Depdiknas baik di pusat maupun daerah serta mental 
korup yang masuk dalam sendi-sendi para pendidik?
 
Salam Perubahan, 2 Juli 2009



      

Kirim email ke