http://batampos.co.id/Opini/Opini/Kemiskinan_Tak_Kunjung_Hilang.html
Kemiskinan Tak Kunjung Hilang Selasa, 30 Juni 2009 Oleh: Dr Sri Adiningsih Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus berkutat dengan masalah kemiskinan dan pengangguran, meski sudah merdeka 64 tahun. Apalagi, sejak krisis ekonomi 1997-1998, kemiskinan dan pengangguran meledak sehingga menjadi isu sentral dalam kebijakan publik. Tak heran, isu itu menjadi tema dalam debat pemilihan presiden pada 25 Juni lalu. Krisis ekonomi, baik di negara maju maupun berkembang, selalu meningkatkan kemiskinan dan pengangguran. Kondisi AS yang menjadi episentrum krisis ekonomi pun saat ini terpuruk. Sebelum krisis, tingkat pengangguran tercatat 4 persen dan kini naik menjadi 9,4 persen. Akibatnya, tingkat kemiskinan naik lipat dua dari posisi sebelum krisis yang 5 persen. Keluarga yang dikatakan miskin di AS adalah yang berpenghasilan 10 ribu dolar (sekitar Rp 100 juta) per tahun dengan satu anggota keluarga. Sedangkan yang memiliki empat anggota keluarga berpenghasilan 20 ribu dolar AS (sekitar Rp 200 juta) per tahun. Karena itu, orang miskin di AS masih bisa hidup layak dengan kriteria kita. Berbeda dengan definisi kita yang menggunakan pengeluaran Rp 183 ribu per bulan (BPS), yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum di perkotaan. Itu pun tidak berarti orang yang bersangkutan memiliki penghasilan yang bisa menopang hidup. Sebab, uang yang dibelanjakan tersebut termasuk penerimaan dari bantuan langsung tunai (BLT) serta beras dan program lain untuk orang miskin. Kalau warga AS yang mendapatkan bantuan dari negara dikatakan miskin, di Indonesia orang yang memperoleh bantuan untuk orang miskin tapi dapat membelanjakan uang Rp 183 ribu dibilang tidak miskin. Karena itu, kita harus berhati-hati jika membandingkan data kemiskinan antarnegara, apalagi dengan negara maju seperti AS. Sebab, untuk ukuran orang Indonesia, mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia bisa merasakan hidup nyaman seperti kelas menengah Jakarta, misalnya punya mobil, tinggal di apartemen dengan fasilitas komplet, serta bisa makan daging, ayam, dan minum jus. Sedangkan di AS, orang seperti itu dikategorikan sebagai orang miskin sehingga bisa mendapatkan tunjangan kesehatan gratis, bantuan untuk balita, dan lain sebagainya. Potret Buram Di masa lalu, Indonesia pernah sukses mengurangi kemiskinan. Pada pembangunan ekonomi awal 1970-an, kita cukup sukses mengentas kemiskinan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau 40,15 persen. Pembangunan ekonomi berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin dalam empat tahun menjadi 28,65 persen pada 1980. Penuruan terus berlanjut sehingga pada 1990 tinggal 27,20 juta atau 15,10 persen penduduk miskin. Namun, krisis ekonomi membuat tingkat kemiskinan naik tajam, dari 22,5 juta orang pada 1996 menjadi 47,9 juta (23,45 persen) pada 1999. Pada masa pemulihan ekonomi, angka kemiskinan terus berkurang hingga menjadi 16,6 persen pada 2004 dan 15,4 persen pada Maret 2008. Artinya, kemiskinan turun 1,2 persen selama empat tahun terakhir. Demikian juga angka pengangguran yang naik sejak krisis 1997, dari 6,36 persen pada 1999 menjadi 11,22 persen pada 2005. Tapi, per Februari 2009 angka tersebut turun menjadi 8,14 persen. Melihat angka-angka itu, Indonesia mestinya bangga. Sebab, di tengah krisis ekonomi, data kemiskinan dan pengangguran dari BPS turun. Sedangkan jumlah pengangguran negara kaya, seperti AS, Jepang, dan Singapura, justru naik. Benarkah kita pantas bangga? Kita sebaiknya berhati-hati dalam menyikapi data BPS. Pertama, data tersebut tidak berarti merefleksikan kondisi ekonomi rakyat. Dengan definisi yang sangat lunak, penurunan kemiskinan tidak berarti ekonomi rakyat membaik. Sebab, rakyat sekadar bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi hidup. Lihat saja, orang dengan penghasilan yang tidak bisa mencukupi pada tingkat paling minim (Rp183 ribu per bulan) diklasifikasikan tidak miskin. Demikian juga orang yang bekerja satu jam tanpa upah pada orang lain yang berbisnis, dianggap bekerja. Ibaratnya, kita melakukan general checkup, tapi menggunakan batasan yang tidak benar sehingga menyesatkan. Isu tersebut membuat debat calon presiden menarik. Bayangkan kalau presiden terpilih menggunakan data BPS untuk menyiapkan rencana kerja dengan keyakinan bahwa kesejahteraan rakyat sudah baik karena angka kemiskinan dan pengangguran turun. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran bukan fokus utama kebijakan ekonomi. Betapa akan salah rencana pembangunan ekonomi yang dia buat. Padahal, angka-angka yang tampak membaik itu tidak sepenuhnya menggambarkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Terbukti, lapangan kerja semakin banyak di sektor informal (sekitar dua pertiga) dan usaha mikro mendominasi ekonomi (lebih dari 95 persen). Banyak juga orang bekerja yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Karena itu, kita jangan merasa berhasil meningkatkan perekonomian rakyat. Kesadaran bahwa kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah sentral membuat kita bekerja keras untuk mengatasinya. Dengan begitu, para calon presiden dan wakil presiden punya komitmen besar untuk memperbaiki ekonomi rakyat secara riil, bukan di atas kertas.