Rfeleksi : Artikel ini belum daluwarsa untuk dibaca dan direnungkan. http://www.pks-arabsaudi.org/pip/?pilih=lihat&id=141&PHPSESSID=164451bbbe29ae4c590820467098dc14
pks-arabsaudi.org | BERSIH, PEDULI, PROFESIONAL Rubrik : Opini Meruntuhkan "Benteng Konstantinopel"nya Indonesia Ahad, 19 April 2009 - pengirim: redaksi Jumat, 6 April 1453 M, Sultan Muhammad II atau disebut juga Mehmed bersama gurunya, Syaikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Byzantium dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 150.000 ribu pasukan dan meriam buatan Urban -teknologi baru pada saat itu-Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa. Kota dengan benteng setinggi 10m-an tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit selebar 7m. Dari sebelah barat melalui pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat. Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan celah tersebut dan dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah Selat Golden Horn. Setelah sehari istirahat perang, Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari. Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan. Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen. Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya. Negeri kita, Indonesia, mirip dengan konstantinopel. Susah ditaklukan. Mau membudayakan budaya Islami yang santun, dihadang oleh serbuan pasukan media, artis, dan infotainment. Mau menyelamatkan rakyat dari kemiskinan, ada mafia ekonomi yang berkuasa memutar roda ekonomi kita seenak perutnya. Mau melakukan rekonsiliasi dan menggalang persatuan atas dasar kebaikan, dihadang oleh fitnah dan rekayasa politik aliran, sehingga kita, satu dengan yang lain selalu berseteru karena tokoh atau aliran kita masing-masing. Jadilah bangsa kita itu lemah, dan diproteksi kelemahannya oleh benteng yang luar biasa kuat, agar bisa senantiasa dihisap sumberdayanya. Mari kita analisis benteng yang luar biasa itu. Kalo kita serang di sisi media dan hiburan, sebagaimana yang dilakukan sebagian ikhwah, sampai sekarang belum sukses. Prestasi yang perlu dicatat mungkin populernya film Ayat-Ayat Cinta. Tapi itu toh tidak kemudian berdaya untuk menahan serangan aliran lain yang merusak. Saya suka dengan "Para Pencari Tuhan" punya Deddy Mizwar cs. Bagi saya banyak kisah mereka sangat menginspirasi saya, dan semoga juga banyak penonton yang lain. Bagaimana dengan nasyid ? Hiks sedih...., bahkan sebelum sukses hasil karya mereka dibajak oleh para aktivis kita sendiri. Tapi oke deh, sekali lagi di sisi ini kita masih bertempur. Di sisi ekonomi, kita perlu bersyukur dengan berkembangnya ekonomi syariah dan mobilisasi Ziswaf di Indonesia. Tapi tetap saja, putaran ekonomi syariah kita masih ada di pinggiran roda perekonomian bangsa. Terbukti, krisis ekonomi apapun, kecil pengaruhnya di ekonomi syariah, tetapi masih saja dahsyat menghantam ekonomi bangsa kita. Sekali lagi di sisi ini kita masih bertempur, dan belum mengguncangkan 'Benteng Konstantinopelnya Indonesia'. Dari sisi politik, ini menarik. Sebagian besar sejarah bangsa kita diwarnai dengan perisitiwa saling membunuh dan menghancurkan. Kita selalu mudah untuk saling bermusuhan, dan menjadikan aliran serta tokoh sebagai basis dan alasan permusuhan tersebut. Hal ini membuat kita lemah, dan mudah dipecah belah. Jika rantai politik aliran dan permusuhan itu berhasil kita lewati, mungkin kita bisa meruntuhkan sebagian sisi 'Benteng Konstantinopelnya Indonesia'. Untuk itu kita mungkin perlu melakukan "perjalanan darat dengan kapal laut". Dan kapal laut kita sekarang itulah yang bernama PKS. Teman-teman sekalian, bagi kita apakah PKS? Mungkin sebagian kita akan menjawab, "Partai Dakwah", "Partai Bersih", "Peduli dan Profesional" dan segudang pujian yang melangit. Saking susahnya membangun citra PKS, kita tidak rela jika "kapal PKS" ini rusak, kotor, atau bahkan hanya lecet. Nah dengan perasaan demikian, lambat laun secara tidak langsung kita menyukseskan politik aliran. Kita hanya percaya negeri ini baru jadi beres jika jadi PKS. Jika ada yang menghalanginya merekalah musuh-musuh dakwah yang harus dimusnahkan. Nah lho serem khan. Ya itulah politik aliran. Oleh karena itu, satu hal besar yang ingin kita sampaikan kepada negeri ini adalah mari kita lepas rantai-rantai politik aliran itu. Mari kita bangun negeri ini bersama-sama, mari kita runtuhkan 'Benteng Konstantinopelnya Indonesia' ini dengan rekonsiliasi bersama- sama. Karena melepas rantai itu sulit, kita perlu strategi khusus. Dan strategi itu yang sekarang kita lakukan: "Mentarbiyah Negeri". Caranya kita seret "kapal PKS" keluar dari laut, dan berjalan ke darat. Maka muncullah iklan PKS, ada Soekarno-nya, ada Soehartonya, ada Mukernas di Bali, dan banyak manuver lain yang 'aneh bagi PKS'. Tujuannya sederhana, menyampaikan ke masyarakat bahwa sejarah kita panjang. Mari kita ambil seluruh hikmah dan kebaikannya, dan rekonsiliasi seluruh potensi bangsa. Itu materi liqo ke mutarobbi kita yang bernama "Indonesia". Muwashoffat yang ingin dicapai adalah supaya bangsa ini berhenti bertengkar, melakukan rekonsiliasi yang berkeadilan, dan menyatukan potensi untuk sejahtera. Buat kita ada materi liqo nya sendiri. Termasuk aqidah, itu materi liqo kita, bukan materi iklan PKS. Nah tentu saja, jangankan menyeret kapal laut di darat, menyerang Konstantinopel tentu penuh dengan pro-kontra. Seluruh pendapat yang ikhlas dan konstruktif itu tentu saja harus kita hargai. Kita maklum jika banyak yang ngga rela kapal ini kalo rusak gimana, kalo pecah gimana, mbok jangan sampai lecet dsb. Disini yang penting adalah masalah esensi, sebagaimana pelajaran yang kita ambil dari perjanjian Hudaibiyah. Tidak disebutnya Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah bukannya berarti kaum muslimin tidak mengakui Rasulullah. Munculnya Sukarno dalam iklan kita bukan berarti semua harus menggondrongkan rambut dan mengisi materi liqo dengan materi Budak Bangsaku. Kapal kita hanyalah alat, bisa dipuji, bisa pula dicela, namun bukan berarti alat itu adalah diri kita. Ada yang memuji: "Alhamdulillah, ada juga yang berpikir rekonsiliasi, PKS lagi...", ada juga yang mencela memuat Sukarno dalam iklan PKS dengan kata-kata Soekarno: "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!" Pujian kita serahkan kepada Allah, celaan kita konfirmasi, koreksi, dan tetap konsolidasi. Yang lebih penting adalah esensi dari kapal PKS itu, yaitu pasukan yang ada di dalamnya. Sampai atau tidak kita ke seberang, menang atau tidak di Pemilu, pasukan kita masih punya tugas untuk merobohkan benteng jahiliah negeri ini, dan meneranginya dengan cahaya Islam. Oleh karena itu, meminjam taujih Ust Hidayat Nurwahid beberapa hari lalu di Yogyakarta: "Perbedaan pendapat kita, tidak semuanya kontradiktif, adapula yang variatif. Yang penting kita jangan sampai kehilangan esensi dakwah di dalam hati dan perjuangan kita di mihwar apapun yang kita lalui. Jangan hentikan aksi dan kepedulian kita di lapangan. Jangan pula tinggalkan kezuhudan dan kebersihan kita dimanapun kita berada." Itu bahasa yang lebih mudah dimengerti daripada penjelasan yang panjang lebar. Somehow, saya merasa kita sedang berangkat menuju Uhud. Rasulullah SAW menghendaki perang di dalam kota, sebagaimana beberapa Syaikh kita tidak setuju terlalu memaksakan kemenangan kita di 2009. Namun anak-anak muda di antara para sahabat berniat bertempur di luar kota, sebagaimana sebagian kalangan muda kita berharap menyongsong kemenangan 2009. Saya sepakat dengan Syaikh Munir Al Ghadhban dalam sistem kaderisasi zaman nabi (Rabbani Press), hasil pertempuran tidak menunjukkan salah atau benar keputusan. Esensi pertempuran Uhud adalah pembersihan maknawi bagi para pejuang dakwah. Jadi gimana nih, jadi ikut perang ngga? "Ngga usah saja, kalian sedang berjalan menuju kematian/kekalahan" , demikian kata Abdullah bin Ubay dkk sebelum perang Badar. Atau "jangan serius-serius amat, paling juga ga menang" ini juga mirip perkataan Abdullah bin Ubay di perang Uhud. Kira-kira setelah perang Uhud, Abdullah bin Ubay pula yang kemudian mengatakan "tuh khan kalah, apa kubilang" Terdengar merdu khan bagi para pengecut? Saya lebih sepakat dengan perkataan Rasulullah Muhammad SAW, "Tidak layak bagi seorang nabi, jika sudah memakai baju besi, kemudian mundur lagi ke belakang !" Allahu Akbar !!! Wassalam, Muhammad Idham A.T, S.T, M.Kom Diambil dari milis PKS Jogja