?

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9356

2009-07-23 
Terorisme Bukan Ajaran Islam



[JAKARTA] Terorisme sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Agama Islam 
memiliki etika yang mulia, termasuk dalam berperang. Umat Islam tidak akan 
menyerang lebih dahulu, umat Islam hanya membalas serangan orang yang menyerang 
mereka. Karena itu, umat Islam wajib menolak dan melawan terorisme. 

Demikian ditegaskan Pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jombang, Salahuddin Wahid kepada 
SP, Kamis (23/7). Ia menyatakan sangat prihatin atas aksi pengeboman Hotel JW 
Marriott dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7) lalu. 

"Terorisme sangat tidak sesuai dengan esensi Islam. Selain itu dalam Islam, 
haram hukumnya kalau dalam peperangan harus membunuh anak kecil, orang-orang 
tua dan para jompo-lansia. Para tawanan juga harus diperlakukan dengan baik. 
Moralitas yang tinggi diterapkan dalam peperangan," kata Gus Solah, panggilan 
akrab Salahuddin Wahid. 

Menurut adik kandung Gus Dur ini, kalau teroris yang mendalangi aksi tersebut 
beragama Islam, maka orang tersebut sesungguhnya tidak mengerti ajaran Islam. 
Pelaku pengeboman bukan penganut Islam yang benar. "Dalam Islam ditegaskan 
bahwa barang siapa yang membunuh orang yang tidak membunuh orang lain, dosanya 
sama seperti membunuh semua manusia di dunia," sambungnya. 


Tak Bisa Dibenarkan

Sementara itu, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan menegaskan, ajaran 
agama apapun tidak pernah membenarkan aksi teror. Oleh karena itu, sangat tidak 
layak apabila aksi teror, terutama yang terjadi di Tanah Air dikaitkan dengan 
agama tertentu.

"Kalau agama sebagai sumber inspirasi, seharusnya tidak ada teror. Saya kira 
ada sumber lain, tetapi agama yang digunakan untuk justifikasi. Saya kasihan, 
kalau persoalan ini dilihat dari sudut pandang agama tertentu," ujarnya kepada 
SP di Jakarta, Rabu (22/7) malam.

Saat ini, sambung Anies, untuk menghentikan kekejian teroris, pemerintah perlu 
mencari tahu penyebab teror. "Cari dan selidiki pelakunya, tetapi jangan 
prematur. Kemudian, coba gali apa motivasi si pelaku melakukan teror," tegasnya.

Anies mengakui, pemerintah cukup serius menangani persoalan teror. "Dunia 
melihat kita, Indonesia. Jadi, tidak mungkin pemerintah tidak serius. 
Pemerintah serius. Namun, apakah keseriusan ini nantinya membuahkan hasil, itu 
yang belum kita tahu," katanya.

Ideologi di Balik Bom 

Peneliti terorisme dan ideologi gerakan transnasional, Agus Maftuh Abegebriel, 
keterkaitan pelaku bom bunuh diri di JW Marriott dan Ritz-Carlton dengan 
keberadaan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di Indonesia memang menjadi realita 
yang sulit terbantahkan. "Gerakan mereka sangat rapi dengan pedoman yang 
bertitelkan PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah), yang memuat 
tujuan, target, dan strategi untuk proyek pembentukan khilafah," kata dosen 
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Menurutnya, JI telah mempersiapkan segalanya termasuk pengambilalihan NKRI 
sebagai area aman atau basecamp menuju terbentuknya khilafah Islamiyah atau 
negara Islam model propetik. JI pun memiliki "nidlom asasi", semacam UUD 1945, 
yang mengatur mekanisme gerakan, dan pelatihan militer dengan empat materi 
pokok. Yakni, penggunaan senjata, teknik infanteri, membaca peta, dan teknik 
lapangan lengkap dengan pelatihan pengeboman, yang merupakan oleh-oleh dari 
para alumni Afghanistan ketika dididik di Akademi Militer Peshawar (AMPES), 
yang merupakan Virtual Universities for Future Islamic Radicalism.

Dijelaskan, JI menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif untuk 
mengubah tatanan peradaban manusia, yang menurut mereka telah gagal sebagai 
akibat intervensi Barat dan segala produknya, seperti demokrasi, HAM, dan 
masyarakat madani.

Penulis buku 'Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia' ini menyimpulkan bahwa 
diaspora ideologi JI memang sudah menjadi wacana pembebasan gerakan fatwa 
surgawi demi mewujudkan cita-cita politik Al-Khilafah Al-Islamiyyah atau 
disebut juga khilafah global.

Namun lepas dari persoalan tudingan bahwa JI atau kelompok lain yang 
bertanggung jawab di balik bom Kuningan II, Agus memaparkan bahwa bahaya 
ideologis justru lebih mengancam NKRI. "Karena itu saya seringkali mengusulkan 
agar pemerintah membentuk pertahanan ideologi forensik atau membedah ideologi 
yang tertanam itu untuk mengetahui seluk beluk fatwa yang ditanamkan. Sekaligus 
mencari faedah hukum yang bisa diterapkan untuk menganulir fatwa kekerasan atau 
dishumanitas itu," katanya.

Ideologi mereka yang jelas adalah membubarkan NKRI dan anti Pancasila. Inilah 
bahayanya. "Soal nama pelaku di balik bom itu memang penting untuk penyelidikan 
Kepolisian. Tetapi jangan terjebak pada satu atau dua nama. Ideologi inilah 
yang jelas-jelas mengancam," ujarnya.

Meski JI di Indonesia telah kocar-kacir, menurut Agus, tetap saja fatwa itu 
tertanam rapat dan hanya dibungkus dengan nama dan struktur baru. 

"Memang lebih tepat gerakan radikal itu dinamai ideologi surgawi, penafian 
kemanusiaan dan dishumanitas. Yang ada hanya faham membasmi musuh bersama yakni 
Amerika dengan sekutunya termasuk kroni dan item-item liberalisme termasuk 
neoliberalisme," jelasnya.

Fakta berdasar penelurusan berbagai ajaran yang ada dalam konsep radikalisme 
surgawi ini, muncul fatwa bernama 'Jalalabad', yang artinya pembasmian musuh 
dengan cara apapun. "Cuma sayangnya, di kalangan umat Islam sendiri, baik itu 
NU maupun Muhammadiyah tidak pernah menyinggung bahwa fatwa ini sangat 
membahayakan bangsa. Ini yang saya tekankan kepada semua pemuka agama, namun 
kenyataannya harapan saya belum terpenuhi," tegasnya.

Fatwa itu, lanjut Agus, sudah hadir di Indonesia sejak 23 Februari 1998 dan 
langsung mendapat respon dari 12 ribu penganut. Jumlah itu tentunya berlipat 
ganda saat ini. Banyak faktor yang mempermudah fatwa tersebut hadir di 
Indonesia, salah satunya adalah ketidak-pedulian rakyat kepada kebangsaan dan 
rendahnya mutu pengajaran keimanan. 

Untuk memerangi ideologi tersebut, menurut Agus masih perlu penelaahan 
lagi."Kalau Indonesia menjadi korban dalam tanda petik, hal ini tidak bisa 
hanya dipandang dari sisi kelokalan, sebab target mereka adalah Amerika dan 
masih Amerika sampai saat ini," tandasnya

Soal hubungannya dengan Ponpes Ngruki yang disebut-sebut menyumbang kader 
beraliran radikal, Agus mengatakan, sebenarnya bukan Ngrukinya. Tetapi Abu 
Bakar Ba'asyir yang disebut sebagai pendiri Ngruki itu yang tidak benar. Ngruki 
didirikan oleh H Amir SH yang membentuk pondok pesantren dari tanah wakaf 
masyarakat, dan ponpes itu sangat moderat. Meski sekarang terbagi menjadi dua 
kelompok, utara dan selatan, namun Ngruki sama sekali bukan mencetak kader 
teroris. Rekruitmennya dilakukan di luar ponpes," ujarnya.. [EMS/C-4/152]




--------------------------------------------------------------------------------

 

Reply via email to