Ketika seorang melanggar hak-hak orang lain, masyarakat cenderung
melabelkan si pelanggar sebagai penjahat dan tindakannya yang melanggar
hak orang lain tersebut disebut kejahatan. Di dalam kehidupan
bermasyarakat, terkadang pelebellan istilah “kejahatan” ini diukur
berdasarkan pada norma-norma yang ada di masyarakat itu sendiri.
Terkadang, apa yang disebut kejahatan oleh sebagian masyarakat belum
tentu diakui oleh sebagian masyarakat lain sebagai suatu kejahatan
pula. Hal ini sejalan dengan pengertian “kejahatan” menurut R. Soesilo
yang membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian
kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan
kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si
penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

Mengikuti pendapat R. Soesilo yang menyatakan kejahatan adalah suatu
perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang maka
jelas dan tegas bahwasanya suatu perbuatan baru dianggap sebagai
kejahatan bilamana Undang-Undang telah menegaskan bahwasanya perbuatan
tersebut adalah kejahatan (legal justice). Hal ini sesuai dengan Pasal
1 ayat (1) KUHPidana yang menegaskan “suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada” (asas legalitas formal). Pendapat ini juga
sesuai dengan Teori Principles of Criminology yang menyebutkan tujuh
unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu
perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua
tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :

1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus
dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana
3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan
4. Harus ada maksud jahat (mens rea)
5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan
6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang
undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri
7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Menjadi permasalahan dalam praktek hukum adalah menyikapi perbuatan
kejahatan yang ternyata tindakan tersebut tidak diatur oleh
Undang-Undang. Haruskah nilai-nilai keadilan masyarakat dirusak karena
adanya pertentangan arti kejahatan menurut keadilan yang didasarkan
pada perundang-undangan (legal justice) ?

Pada prinsipnya hukum haruslah mampu dan berani membawa prinsip “adil”
bagi mereka yang lemah. Namun pada kenyataannya, hukum mengalami
simplifikasi tafsir sebagai bentuk atau wujudnya yang positif, sehingga
“adil” dalam diskursus ini adalah yang sesuai dengan hukum atau apa
yang dinyatakan dalam undang-undang. Bila tafsir “adil” disamakan
dengan yang legal ini terjadi, maka celakanya, sumber keadilan adalah
didasarkan pada tafsir (kehendak) pembuat hukum (legislator) belaka.
Berbeda dengan civil law system, common law system lebih
menitikberatkan kekuasaan tafsir bukan pada law creation atau
legislator, tetapi pada law application atau peran hakim.


--
Posting oleh NM. WAHYU KUNCORO, SH ke ADVOKATKU pada 7/30/2009 07:15:00
PM

Kirim email ke