http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009082101234244

      Jum'at, 21 Agustus 2009 
     
      OPINI 
     
     
     
Mana Merah Putihmu?

      Toeti Adhitama

      Anggota Dewan Redaksi Media Group

      Tentu kita amat prihatin dengan pengeboman 17 Juli 2009. Ketenteraman 
batin terusik kembali. Peristiwa tersebut juga membuktikan betapa ringkihnya 
kebersamaan kita sebagai suatu bangsa; membuat kita rapuh terhadap gangguan 
petualang-petualang asing yang ingin memaksakan ideologi keras yang, lacurnya, 
mengatasnamakan agama. Ditimbulkanlah asumsi bahwa yang terjadi adalah benturan 
Islam dan Barat.

      Walaupun yang sebenarnya terjadi adalah ulah kelompok kecil bergaris 
keras, bagian dari gerakan ekstrem internasional yang tega mengorbankan 
orang-orang tak berdosa di mana saja. Tidak jelas tujuan konkretnya. Masyarakat 
luas, di mana-mana, merasa cemas akan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang 
bisa terjadi.

      Di zaman Orde Baru, kita dibanjiri ajaran-ajaran yang bertolak dari 
idealisme Pancasila. Begitu gencarnya ajaran-ajaran itu, segenap lapisan 
masyarakat menjadi hafal akan isinya. Sayangnya, lain kata, lain perbuatan. 
Tidak adanya keteladanan dan bahwa terjadi pelanggaran mencolok terhadap 
ajaran-ajaran itu membuat masyarakat kehilangan rasa percaya pada falsafah 
negara. Kita menjadi rapuh, gampang terpengaruh, lebih-lebih bagi mereka yang 
merasa menjadi korban ketidakadilan dan ketimpangan penghidupan. Bagi mereka 
ini, teror datang dari mana-mana, termasuk dari kalangan yang tega mengorbankan 
kepentingan rakyat demi kepentingan sendiri. Korupsi, contohnya.

      Sesuai dengan spirit HUT Kemerdekaan, tiba saatnya kita membina kembali 
kesadaran akan perlunya rasa kebangsaan dan kebersamaan, antara lain lewat 
jalur pendidikan. Sekadar contoh, Amerika yang menyebut dirinya pelopor 
demokrasi masih tekun menanamkan benih-benih rasa kebangsaan kepada warganya 
sejak mereka usia dini. Anak-anak sekolah dasar, misalnya, setiap hari sebelum 
kelas dimulai selalu secara ritual bersama-sama mengangkat tangan untuk membuat 
janji setia pada negara. Janji setia juga diucapkan mereka yang akan memasuki 
birokrasi pemerintahan dan tentu saja oleh orang-orang asing yang mendapat 
kewarganegaraan Amerika.

      Kesadaran akan perlunya menanamkan rasa bangga akan negaranya juga tampak 
pada film-film buatan Amerika. Hampir di setiap film komersial Amerika yang 
diputar di seluruh dunia selalu ada adegan yang menampilkan bendera Amerika: 
apakah dikibarkan, dipasang di dalam ruang, atau ditempelkan di pakaian 
seragam. Mungkin itu sebagai kelanjutan upaya Presiden Truman setelah Perang 
Dunia II yang menganjurkan agar film-film Amerika dijadikan ambassadors of 
goodwill, propaganda tentang kemauan baik Amerika. Sekarang pun para eksekutif 
muda di Wall Street kabarnya biasa mengenakan lencana bergambarkan bendera 
Amerika. Spirit semacam itu yang belum lama ini rupanya dicoba dibangkitkan 
Indonesia Unite setelah terjadi ledakan bom 17 Juli 2009. Mereka ingin 
berteriak, rakyat Indonesia yang bersatu tidak takut ancaman-ancaman bom.

      Namun, seorang pemuda yang menonton di tempat kejadian perkara di 
Temanggung ketika menjawab pertanyaan wartawan mengatakan kekerasan seperti 
yang baru terjadi masih akan berulang lagi karena banyaknya kalangan yang 
bersikap keras di negeri kita. Bagaimana sikap seperti itu bisa ditanggulangi? 
Saya kutip sebagian dari apa yang ditulis Ahmad Zaky, Ketua DPP KNPI dan 
alumnus Rochester Institute of Technology, New York (Media Indonesia [10-8]): 
...Yang penting bukan lamanya pendidikan, tetapi muatan pendidikan yang 
diajarkan di sekolah-sekolah. Kasus di Pakistan adalah salah satu contohnya.

      Sebagaimana dikemukakan Stern (2000), meskipun banyak sekolah (madrasah) 
dibiayai kalangan industrialis, banyak di antara sekolah itu yang dengan 
sengaja mendidik siswa mereka untuk menjadi agen dan mata-mata bagi gerakan 
ekstremis di seluruh dunia. Pada titik inilah, peran tenaga pendidik menjadi 
penting, bukan hanya di lingkungan tinggi, melainkan juga pada pendidikan dasar 
dan menengah, termasuk sekolah agama (madrasah). Peran yang dimaksud bukan 
hanya pada muatan kurikulum yang bernuansa damai dan toleran, melainkan lebih 
dari itu, pada penciptaan lingkungan pendidikan yang damai, sebagai modal hidup 
bermasyarakat kelak. Penanaman nilai-nilai kebersamaan, tolong-menolong, 
pengorbanan, tanggung jawab, kejujuran, dan nilai-nilai sosial lainnya wajib 
diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan di setiap tingkat.

      Penulis ingin menandaskan pentingnya menanamkan kembali rasa kebangsaan 
dan kebersamaan di antara kita setiap saat, bukan sebaliknya malahan merangsang 
rasa tidak percaya pada upaya sungguh-sungguh--seperti yang dilakukan Densus 
88--untuk membangun rasa tenang dan damai. Yang baru-baru ini terjadi, sangat 
tidak elok untuk menyatakan apa yang dilakukan Densus 88 hanyalah sebuah 
sandiwara. Apalagi kalau hal itu dinyatakan orang-orang yang tepercaya dan 
diteladani masyarakat. Selain mengecilkan arti upaya kepolisian untuk menghapus 
terorisme dari bumi kita ini, ucapan demikian bisa mematikan harapan masyarakat 
yang cinta damai. Sebaliknya, dia memberi angin kepada mereka yang, karena 
alasan pribadi, menganut nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai 
kemanusiaan universal. n
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke