http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=26908

Selasa, 18 Aug 2009, | 20 

Soemarsono, Golongan Kiri, dan Pergolakan Seputar Proklamasi (2)


Terpaksa Dua Kali Ganti Proklamator SETELAH para pemuda pejuang itu bulat 
memutuskan bahwa Amir Syarifuddin-lah tokoh yang akan memproklamasikan 
kemerdekaan Indonesia, muncul pertanyaan: bagaimana caranya agar keinginan itu 
terwujud" Waktunya sudah mendesak. 
Saat itu sudah tanggal 14 Agustus. Amir tidak di Jakarta. Dia sedang mendekam 
di Penjara Lowok Waru, Malang. Amir harus menjalani hukuman yang dijatuhkan 
penjajah Jepang. Dia dijatuhi hukuman mati. Hanya berkat jasa Bung Karno yang 
memang dekat dengan Jepang, hukumannya diubah menjadi seumur hidup.

"Waktu itu tidak ada pilihan lain. Musso tidak masuk hitungan karena sudah lama 
tinggal di Rusia. Bung Karno tidak masuk hitungan karena sikapnya yang memihak 
Jepang," ujar Soemarsono yang hari-hari itu tergolong pejuang yang paling 
yunior di antara para pemuda tersebut. Soemarsono kini masih hidup segar dengan 
status warga negara Australia. Saya tidak menyangka bahwa dia (usianya hampir 
88 tahun) masih sesegar itu. Masih bisa melayani wawancara saya hampir lima jam 
dengan semangat tinggi dan tidak kelihatan lelah.

Saat pergolakan menjelang kemerdekaan itu, Soemarsono, tokoh kelahiran Kutoarjo 
(bukan Temanggung seperti tertulis kemarin) tersebut, masih di Jakarta. Baru 
beberapa minggu kemudian, dia ditugasi untuk berjuang di Surabaya yang 
selanjutnya dalam pertempuran Surabaya menjadi salah satu tokoh utama.

Menurut Soemarsono, kala itu ada ide yang radikal agar Amir bisa 
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 15 Agustus 1945. Amir harus 
dikeluarkan dari Penjara Lowokwaru secara paksa. Caranya: menculik dia. Namun, 
risikonya memang besar. Jepang secara de facto masih berkuasa. Bisa 
menggagalkan rencana proklamasi itu sendiri. 

Dengan pertimbangan itu, dicarilah tokoh proklamator lain sebagai pengganti. 
Mereka lantas memilih Sjahrir yang meski bukan dari golongan "kiri dalam?, tapi 
masih berbau kiri. Tidak ada suara yang tidak setuju. Sjahrir, di mata mereka, 
juga tidak punya cacat. Satu-satunya kekurangan hanyalah: kurang kiri. Tapi, 
setidaknya, tidak seperti Bung Karno yang dianggap terlalu menghamba ke Jepang.

Delegasi pun dikirim ke rumah Sjahrir. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menyatakan 
tidak bersedia. Perdebatan di antara mereka sangat keras. Terutama setelah 
Sjahrir bahkan mengajukan nama Bung Karno saja. Rekomendasi Sjahrir itu 
menimbulkan pro-kontra di kalangan pejuang bawah tanah tersebut. Tapi, Sjahrir 
terus meyakinkan mereka. Alasan utamanya, proklamasi tersebut juga harus 
mendapat dukungan penguasa waktu itu. Termasuk harus didukung birokrasi 
pemerintah yang masih dikuasai Jepang. Tidak mungkin membentuk pemerintah tanpa 
punya birokrasi. Tanpa birokrasi, bagaimana pemerintah yang sudah 
diproklamasikan itu akan dijalankan" Pikiran Sjahrir, sebagaimana yang ada 
dalam buku-buku sekitar peristiwa ini, Bung Karno memang dekat dengan Jepang.

Para pemuda bawah tanah itu tetap keberatan. Bung Karno di mata mereka penuh 
cacat. Apalagi ketika mereka ingat bahwa demi pengabdiannya ke penjajah Jepang, 
Bung Karno sampai mau mengerahkan romusa. Yakni petani-petani dari Jawa yang 
dikirim ke Sumatera Utara untuk kerja paksa yang jumlahnya sampai, kata mereka, 
jutaan.

Melihat kerasnya penentangan para pemuda terhadap Bung Karno itu, Sjahrir 
memberikan jalan keluar. Bung Karno hanya akan dijadikan presiden sementara. 
Hanya untuk satu?dua tahun. Setelah itu diganti. Toh yang penting segera bisa 
merdeka dulu. Mumpung Jepang lagi kalah. Penundaan atas proklamasi bisa 
mengakibatkan kegagalan.

Akhirnya, pendapat Sjahrir diterima. Catatannya: Bung Karno adalah "proklamator 
cadangan" yang diturunkan ke lapangan karena terpaksa. 

Lantas, diutuslah delegasi menemui Bung Karno. Ternyata, Bung Karno juga 
menolak. Alasannya, menurut Soemarsono, Bung Karno belum percaya bahwa Jepang 
sudah kalah. Bung Karno memilih menunggu saja Jepang memberikan kemerdekaan 
kepada bangsa Indonesia sebagaimana yang telah berkali-kali dijanjikannya. 

Tapi, para pemuda yang sangat radikal itu tidak pernah percaya terhadap janji 
Jepang. "Mana ada penjajah rela menyerahkan daerah jajahannya," ujar 
Soemarsono. Paling-paling, kita dijanjikan "nanti'', lalu "kelak'', lalu 
"kemudian'', dan akhirnya "nanti kelak di kemudian hari?.
Menghadapi penolakan Bung Karno itu, para tokoh pemuda seperti Sukarni, Chairul 
Saleh, dan Wikana tentu sangat kesal. Pikir mereka, tokoh-tokoh itu diajak 
merdeka kok tidak mau. Padahal, ini sudah tanggal 15 Agustus. Padahal, kalau 
saja Bung Karno mau, maka pada tanggal 15 Agustus 1945 itu, proklamasi sudah 
bisa dibacakan.

Melihat Bung Karno tetap menolak, para pemuda tersebut membuat skenario 
politik: menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk "dipaksa" mau 
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Karena itulah, pada malam tanggal 15 
Agustus itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik para pemuda dan dibawa ke Desa 
Rengasdengklok di timur Bekasi.

Tahu Bung Karno hilang, pemerintah Jepang bingung. Tapi, Jepang punya intelijen 
bernama Ahmad Subardjo yang juga dekat dengan pemuda pergerakan itu. Maka, 
dengan mudah, Jepang mengetahui di mana Bung Karno berada. Saya baru tahu dari 
Soemarsono ini bahwa Ahmad Soebardjo itu intel Jepang. Buku sejarah yang pernah 
saya pelajari di sekolah tidak pernah mengungkap peran Ahmad Soebardjo sebagai 
intel Jepang. 

Kejadian selanjutnya sama dengan buku sejarah: ada yang bilang di 
Rengasdengklok-lah teks proklamasi itu disusun, ada juga yang bilang dibuat 
setelah tiba kembali di Jakarta. Ada yang bilang Bung Hatta-lah yang membuat 
konsepnya, lalu Bung Karno yang menuliskannya, ada pula yang bilang Mr Moh. 
Yamin-lah yang membuat konsepnya. Ada yang bilang Bung Karno dikembalikan ke 
Jakarta karena sudah setuju untuk membacakan proklamasi, ada juga yang bilang 
karena Jepang sudah memberikan lampu hijau untuk pernyataan proklamasi itu. 
Yang jelas, dua hari setelah peristiwa Rengasdengklok itu, proklamasi dibacakan 
Bung Karno pada 17 Agustus 1945. 
(bersambung)

Kirim email ke