=================================================
    

THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center]
 

Seri : "Membangun spirit, demokrasi,
konservasi sumber daya, 

          
nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  

================================================= 
    [Spiritualism, Nationalism, Resources,
Democration & Pruralism Indonesia Quotient] 

Menyambut Pemerintahan Baru - Kabinet Indonesia Baru II Masa Bhakti
2009-2014         "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara
untuk kebaikan rakyat Indonesia." 

Orang Bodoh yang
Beruntung 



Oleh : Gede Prama 

Bagi sejumlah orang pintar yang menganggap dirinya layak
menjadi menteri, bulan Oktober 2009 adalah bulan mendebarkan. Ada yang mulai 
menghitung kancing:
dipilih, tidak, dipilih, tidak. 

Andaikan rambu-rambu etika memungkinkan, bisa jadi banyak
calon menteri akan meniru calon anggota legislatif yang memasang iklan: ”pilih
saya karena lebih pintar”. 0rangtua juga serupa, tidak ada yang berdoa agar
anaknya bodoh kelak. 

Ribuan tahun lalu, saat manusia mulai mengagumi kepintaran,
tidak terbayangkan jika kepintaran akan bersahabat dengan kehancuran.
Perhatikan skandal-skandal besar yang mengguncang dunia, teror, dan perang yang
memakan banyak nyawa manusia, tidak ada yang dilakukan orang-orang desa yang
”bodoh”. Semua diotaki orang kota yang berpendidikan tinggi. 

Dari sini, terlalu dini menyimpulkan bahwa kepintaran itu
berbahaya. Orang pintar berperilaku jahat ada, orang pintar dengan perilaku
menyentuh juga ada. Pertanyaannya, mengapa kepintaran kian bersahabat dengan
kelicikan dan keruntuhan? 

Perhatikan sebagian percakapan di antara orang-orang pintar.
Begitu kepentingannya tidak terpenuhi, dicarilah argumen yang bisa meruntuhkan
orang lain. Sebaliknya, jika kepentingannya terakomodasi, pendapat yang
diungkapkan cenderung yang mendukung. Maka di Barat terjadi keruntuhan
kepercayaan besar-besaran terhadap orang pintar yang membuka pintu pada
munculnya budaya tanding. Sekaligus menghadirkan dahaga mendalam akan
kebijaksanaan Timur yang berisi kejujuran, ketulusan, dan kerendahhatian. 

Di Timur gejala ke arah itu ada. Thailand adalah sebuah guru. Munculnya orang
pintar seperti Thaksin Shinawatra sempat mencuatkan kemajuan sebentar. Namun,
sebagaimana perilaku kepintaran yang mengundang kepintaran lain untuk melawan,
Thaksin diturunkan oleh dugaan skandal, diikuti berkali-kali kekacauan yang
menakutkan. Malaysia dengan cerita Anwar Ibrahim, Iran yang memanas 
pascapemilihan
presiden, Madagaskar yang ditandai banyak kudeta, hanya sebagian gejala yang
mungkin membukakan datangnya budaya tanding di Timur. 

Karena itu, tanpa persiapan dan kepekaan cukup, Indonesia berpotensi dikacaukan 
oleh hadirnya
budaya tanding. Perhatikan orang-orang pintar yang diberi kesempatan oleh
reformasi untuk mengubah keadaan di birokrasi. Sebagian keluar dari gelanggang
tanpa tanda-tanda kemenangan. Sebagian kecil masuk lembaga pemasyarakatan
karena terjaring perkara korupsi. Melihat kecenderungan ini, menakuti
kepintaran bukan jalan keluar yang disarankan. 

Suara kebijaksanaan 

Tetua di Jawa punya pesan indah sekaligus menggugah. Orang
bodoh kalah sama yang pintar. Manusia pintar ditaklukkan oleh orang licik.
Namun, ada jenis manusia yang tidak bisa ditaklukkan oleh kelicikan, yakni
orang beruntung. Mungkin itu sebabnya tersisa banyak orang Jawa yang senantiasa
beruntung. Bila kecelakaan patah tulang, untung patah tidak mati. Jika mati,
untung mati tidak cacat. 

Bagi sejumlah orang pintar, cara memandang kehidupan yang
penuh keberuntungan seperti ini mudah diberi judul tolol. Ada yang mengejek 
dengan tawa. Namun,
bagi penekun kebijaksanaan, wajah kehidupan yang penuh keberuntungan adalah
tanda-tanda jauhnya penggalian seseorang ke dalam dirinya. 

Pertama, ia menjadi pertanda bertekuk lututnya hawa nafsu
yang mau semua serba sempurna. 

Kedua, terbukanya pintu kehidupan yang jauh lebih luas dari
sekadar mementingkan diri. 

Ketiga, seperti anak ayam yang keluar bebas dari telur, demikian
juga manusia yang melihat keberuntungan di mana-mana. Ia sudah terbebas.
Setidaknya terbebas dari kepintaran yang picik, sekaligus kelicikan yang tidak
mendidik. 

Maka ada yang berpesan, bila anak ayam dipenjara kulit
telur, manusia dikerangkeng oleh kepicikannya. Perbedaan antara yang
tercerahkan dan yang tak tercerahkan adalah perbedaan antara keterbukaan dan
kepicikan, demikian kira-kira bunyi pesan aslinya. Untuk itu, banyak kursi
birokrasi sekaligus korporasi yang rindu sekaligus lapar akan orang-orang bodoh
yang beruntung (baca: keseharian yang bersahabatkan pelayanan dan keterbukaan.
Beruntung karena keterbukaan dan pelayanan mudah sekali menghadiahkan
kebahagiaan). 

Bagi sebagian orang pintar, pelayanan hanya pekerjaan orang
rendah. Keterbukaan pikiran kerap dicaci dengan ketiadaan sikap. Ini bisa
terjadi karena kepintaran menghargai diri amat tinggi, meletakkan pelayanan
sebagai sesuatu yang rendah. Kepintaran membuat kotak. Yang cocok dengan kotak
jadi teman, yang tidak cocok disebut musuh. 

Padahal, sebagaimana dialami bersama, kehidupan bergerak
tanpa kotak. Seperti melihat Indonesia, bila ukuran yang digunakan adalah
Singapura, apalagi China, Indonesia hanya negara yang tidak diurus.
Bila acuannya adalah negara-negara yang baru mengenal telepon genggam seperti
Afganistan, Kamboja yang ibu kotanya berisi sedikit lampu pengatur lalu lintas,
apalagi sebagian Afrika yang harapan hidupnya 39 tahun, Indonesia memiliki
banyak hal yang layak disyukuri. Keinginan maju selalu menggunakan yang lebih
tinggi sebagai pembanding. Namun, seperti mobil yang dipaksa berlari kencang,
di suatu tanjakan, akan terbakar. Tanda-tanda akan terbakar mulai terlihat. Bom
teroris, pengerdilan Komisi Pemberantasan Korupsi, orang menekuni hukum bukan
untuk diikuti, tetapi untuk dicari celahnya. 

Di tanjakan-tanjakan yang nyaris terbakar, energi panas
kepintaran memerlukan kesejukan air kebijaksanaan. Bekerja, belajar, dan berdoa
tentu terus dilakukan karena ini yang membuat kehidupan berputar. Namun,
menarik udara segar kehidupan melalui pelayanan dan keterbukaan amat membantu
dalam membuat kehidupan agar tidak terbakar. Seorang sahabat bodoh yang
beruntung pernah mengirimkan pesan singkat: ”sebagaimana air yang sejuk dan
lembut senantiasa mengalir ke tempat-tempat rendah, demikian juga dengan
orang-orang yang rendah hati, kesehariannya juga sejuk dan lembut”.   [Gede 
Prama Penulis Buku Sadness, Happiness,
Blissfulness: Transforming Suffering Into The Ultimate Healing - Kompas 
24/10/2009] 

------ 

Menuju
Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.  

Best Regards,
 

Retno Kintoko                                                                   
                                  


Magnificat Choir Competition 2009 [MCC
2009]         
The Flag  

Air minum COLDA - Higienis n Fresh !
 

ERDBEBEN Alarm [Alarm gempa]
 


    SONETA INDONESIA <www.soneta.org>  Retno Kintoko Hp. 0818-942644  Aminta 
Plaza Lt. 10  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan  Ph. 62 21-7511402-3  
  


      

Kirim email ke