================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri 81 tahun semangat jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
TOKOH MUDA INSPIRATIF (8)
Penegakan HAM, Tak Mungkin Mundur Lagi
Kamis, 5 November 2009 | 03:18 WIB
Oleh Tri Agung Kristanto
Hampir tidak ada yang berubah pada diri Ester Indahyani Jusuf saat bersua lagi 
setelah lebih dari tujuh tahun lampau. Ia tetap berdiri di depan untuk 
memperjuangkan penghargaan dan penegakan hak asasi manusia, khususnya 
antidiskriminasi dan antirasialisme di negeri ini. Ia tetap saja bersahaja. 
Ester menggeluti penegakan HAM terkait persoalan suku, agama, ras, dan 
antargolongan (SARA) sejak tahun 1998. Ia tidak bergeser dari idealisme 
persamaan hak dan perlakuan itu meski banyak tawaran bidang lain, yang lebih 
menggiurkan secara materi.
Gerakan antidiskriminasi dan antirasialisme yang digelorakannya tidak hanya 
terkait etnis Tionghoa, tetapi lebih luas lagi. Warga yang berasal dari etnis 
mayoritas pun bisa mengalami diskriminasi di negeri ini.
”Saya pernah memperjuangkan seorang warga Sunda yang diperlakukan diskriminatif 
di sebuah perusahaan. Padahal, selama ini hampir tak ada perjuangan penegakan 
HAM, yang terkait persoalan SARA, yang tak berhasil,” kata Ester, pekan lalu di 
Jakarta.
Melalui Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dia terus mendorong tumbuhnya 
kebersamaan sebagai satu anak bangsa. Ini lahan garapan yang masih luas dan 
menantang karena sampai kini perilaku rasialis dan diskriminatif masih mewarnai 
kehidupan berbangsa kita. ”Kita tak mungkin lagi mundur untuk menegakkan HAM,” 
kata Ester.
Bagaimana kini kondisi penegakan HAM di negeri ini?
Khusus masalah SARA masih parah. Namun, yang paling parah adalah segala sesuatu 
yang terkait masa lalu karena sudah dianggap selesai. Kalau kita bicara 
mengenai penegakan HAM masa lalu, dianggap merugikan kepentingan bangsa dan tak 
mendukung kemajuan bangsa.
Kita memang dijanjikan kondisi yang lebih baik, seperti undang-undang dibenahi, 
penghargaan HAM pada masa kini diperbaiki, tetapi masa lalu jangan diutik-utik. 
Padahal, pada masa lalu aneka pelanggaran HAM terjadi dan tak banyak yang 
selesai. Banyak yang mengatakan, persoalan korban sudah selesai dan kejadiannya 
sudah selesai, lalu mau apa lagi? Kalau seperti itu, berarti pelanggaran HAM 
masa lalu tak akan selesai.
Misalnya, peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kalau saja ada seribu pelaku 
pemerkosaan, pembakaran, atau perusakan, apakah mereka dianggap tidak ada? 
Mereka tetap ada. Korban juga tetap ada. Mereka sampai kini menanggung beban 
sejarah yang tak selesai, yang dilakukan atau dialami, yang bisa memengaruhi 
pola pikir mereka.
Memang saat ini sudah ada UU Antidiskriminasi Ras dan Etnis, UU 
Kewarganegaraan, dan UU Administrasi Kependudukan yang menghargai hak warga 
negara. Secara politis juga lebih melindungi ras dan etnis, terutama Tionghoa, 
tetapi untuk keseluruhan etnis di negeri ini belum. Rasialisme dianggap hanya 
masalah Tionghoa, padahal bukan. Namun, kalau ada masalah terkait rasialisme 
yang dialami etnis Tionghoa memang kasusnya membesar dan memperoleh perhatian 
secara nasional. Kalau etnis lain tidak. Misalnya yang menjadi korban adalah 
warga Madura, tidak dianggap masalah atau dianggap sudah selesai. Siapa yang 
kini masih membicarakan masalah Sambas? Ya, dianggap selesai. Juga yang dialami 
etnis Betawi dan Papua.
Pelanggaran HAM terkait etnis, apa pun etnisnya, hampir tak ada yang 
diselesaikan. Khusus kasus kerusuhan Mei 1998, karena mengangkat persoalan ini, 
diciptakan situasi seolah-olah kasus ini adalah persoalan masa lalu yang tak 
harus diselesaikan melalui jalur hukum, rekonsiliasi. Bagaimana kita dapat 
saling menerima, memaafkan satu sama lain. Ini diangkat oleh semua calon 
presiden pada pemilu yang lalu dan sebelumnya. Intinya menegasikan masalah 
hukum dan HAM yang sebenarnya belum selesai.
Perhatian pada etnis Tionghoa karena terkait ekonomi...?
Tidak. Sebenarnya lebih terkait kepentingan politik. Bahwa ada terkait dengan 
persoalan ekonomi, memang iya. Padahal, masalah yang terkait dengan etnis lain 
itu banyak, dan belum selesai, terutama terkait pelanggaran HAM yang mereka 
alami.
Sebenarnya kejahatan diskriminasi itu masih terjadi, misalnya dalam penerimaan 
tenaga kerja. Misalnya, ada seseorang dengan nilai tertinggi dalam seleksi, 
tetapi tidak diterima pada kantor yang dilamarnya. Apakah ada persoalan etnis? 
Pembuktiannya memang susah. Tetapi, ini memang dirasakan masyarakat. 
Masalahnya, memang ada yang berkeinginan melakukan diskriminasi, tetapi agar 
tak ketahuan.
Jadi, masih banyak pekerjaan untuk mewujudkan kehidupan tak diskriminatif di 
negeri ini...?
Masih banyak sekali. Mungkin juga sedikit yang beritikad untuk menyelesaikannya 
persoalan HAM di masa lalu sehingga ada kehidupan yang tak diskriminatif itu.
Mengapa Anda berani mengambil jalur penegakan HAM, khususnya antidiskriminasi 
ini?
Mungkin karena aku nggak sempat berpikir ke situ, berani atau tidak berani. 
Tetapi, pekerjaan ini banyak. Kalau kita sibuk dengan pikiran yang terkait 
dengan risiko, kapan kita bisa maju? Jalan saja. Soal risiko, banyak hal di 
luar kuasa kita. Kita tidak melakukan apa-apa, bisa seperti tukang becak yang 
tertimpa pesawat juga atau keluar rumah tertabrak bajaj atau terpeleset. Semua 
ada risiko.
Bidang pembelaan HAM kan tak menjanjikan kesejahteraan...
Kalau yang dimaksud kerja terkait masalah SARA, rasialisme, memang tak 
menjanjikan uang. Bahkan, terkadang kita keluar uang. Tentu saja aku harus 
bekerja yang lain untuk menafkahi diriku, selain kerja sosial. Semua dihitung 
baik. Masalahnya bukan uang di sini, namun kita mempunyai keinginan. Ini tak 
mungkin terjadi jika aku tidak bekerja.
Artinya, jika orang hanya bicara tak ingin ada rasialisme di sini, tidak cukup. 
Kita harus bekerja. Ada harga yang harus dibayar, ya dibayar saja. Jika mau 
membuat kegiatan yang menentang rasialisme atau membuat UU, ya kerjakan saja. 
Tidak bisa kita hanya bermimpi. Kita harus mengerjakannya.
Apa yang mendorong Anda terus menggeluti bidang ini?
Kalau hukum dan HAM secara umum memang tak ada hal yang khusus. Pada saat aku 
lulus SMA, papaku dan seorang pendeta memintaku masuk fakultas hukum sehingga 
suatu saat aku bisa membela orang-orang lemah. Buatku sederhana saja, jika 
Tuhan izinkan, aku mau masuk fakultas hukum yang baik dan jaga tanganku tetap 
bersih, tidak menyuap orang. Ya, seperti jalan di karpet merah, Tuhan 
memberikanku jalan. Aku tidak ingin salah. Sesimpel itu. Sampai sekarang pun 
aku tak perlu menyuap untuk memperjuangkan impianku. Organisasi berjalan dengan 
baik.
Tidak ada peristiwa khusus, tetapi dengan banyak mengalami peristiwa membuatku 
tak mungkin mundur lagi. Kadang kala ingin mundur, ingin berhenti. Lelah juga. 
Tetapi, mengingat para korban, ya mau mundur bagaimana caranya? Siapa yang mau 
membantu mereka? Ketika aku lelah, aku ingat wajah korban pelanggaran HAM, 
seperti Ibu Ruminah atau mereka yang menjadi korban 1965. Aku akan berjanji 
sekuatku agar keadilan terungkap. Janji kan gampang, bisa diingkari. Tetapi, 
setelah berjalan dan bertemu ribuan korban, bagaimana mundurnya? Tidak mungkin. 
Kita sudah melihat ribuan korban ketidakadilan. Siapa yang mau menyentuh 
mereka. Jika negara peduli dan masyarakat mendukungnya, mungkin saatnya saya 
mundur. Masalahnya selesai.
Bagaimana Anda melihat sejumlah korban pelanggaran HAM yang berbalik, 
melemahkan upaya penegakan HAM?
Ini memang fenomena yang tidak diharapkan. Tetapi, itulah realita. Orang yang 
semula menjadi korban pelanggaran HAM begitu mudah menukar idealismenya hanya 
karena uang atau kesempatan. Aku tak ingin menghakimi mereka. Tetapi, tindakan 
mereka itu merugikan penegakan HAM secara umum. Pandangan pada HAM atau 
kemanusiaan menjadi demikian rendahnya. Ini tantangan untuk mereka yang terus 
berteriak soal penegakan HAM. Apalagi, tak ada jaminan apa-apa untuk mereka 
yang terus memperjuangkan penegakan HAM. [Kompas, 5/11/09]
------
Melanjutkan semangat kepemimpinan dan keteladanan pemuda Indonesia 1928 bagi 
masa depan bangsa. 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
 
Ikutilah :
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009] 
 


 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [ Alarm gempa ] 
 
 


 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke