Refleksi : Air yang begitu banyak mengalir di sungai-sungai dan turun  
berlimpah-limpah dari langit mengakibatkan banjir sana sini, tidak  mampu 
diatur dengan  baik agar penduduk memperoleh ari bersih sesuai 
sebanyak-banyaknya kebutuhan mereka, sebagai kebutuhan primer  untuk manusia. 

Kelalaian ini memnunjukkan dengan jelas kepincangan fatal penguasa mengabaikan  
kepentingan utama  rakyat dan kalau mau dipikirkan agak jauh sedikit dengan 
adanya hiruk pikuk korupsi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kourpsi adalah 
target utama  oknom-oknom penguasa negara di segala bidang dan tingkat.

Air diturunkan dari langit yang namanya hujan adalah berkat Illahi, manusia 
NKRI adalah kaum beragama seharusnya  mempunyai respekt kepada berkat ini  
dengan tidak  menyianyiakan berkat tsb, antara lain tidak membuat polusi air 
seperti mengotorkan sungai dan lautan sebab air adalah unsur utama kehidupan 
manusia.

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=11771

2009-11-12 
Konsumsi Air Bersih Masih Sebatas Impian 




SP/YC Kurniantoro

Warga memanfaatkan perahu sebagai alat transportasi utama di Danau Panggang, 
Hilir Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Senin (2/11). Air di danau dan rawa di 
kawasan itu juga dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari, termasuk mandi, 
mencuci, dan membuang kotoran. 


Sebagian besar warga di pelosok di sekitar Danau Panggang, Kabupaten Hulu 
Sungai Utara, Kalimantan Selatan, masih mengonsumsi air rawa yang berwarna 
cokelat keruh. Selain terkontaminasi dengan limbah rumah tangga penduduk, air 
keruh itu juga diduga telah terkontaminasi kotoran yang dihasilkan kerbau 
peliharaan yang populasinya amat banyak. 

Pengamatan SP di sejumlah desa di pelosok rawa-rawa tersebut, terlihat 
kehidupan warga pedalaman yang terpaksa mengonsumsi air rawa itu. "Air bersih? 
Kami pakai air rawa," kata salah satu warga Desa Bararawa, Kecamatan Danau 
Panggang, Bustami.

Dia mengatakan, sudah lama warga memimpikan bisa memperoleh air bersih. "Kami 
sudah mengajukan permintaan ke pemerintah daerah agar diberi fasilitas air 
bersih, tetapi sampai sekarang belum juga diberi," katanya. 

Menurutnya, dari tahun ke tahun, air rawa Danau Panggang semakin kotor, baik 
pada musim kemarau maupun penghujan. Pada musim kemarau, warga memanfaatkan air 
yang tercemar kubangan kerbau, dan pada musim hujan air yang dikonsumsi tak 
terhindarkan lagi tercemar kotoran ribuan kerbau peliharaan mereka. 

Selama ini, ada kiriman air bersih dari kota kecamatan. Namun, warga yang 
sebagian besar hidup dalam kemiskinan itu tidak mampu membelinya karena 
harganya mahal.

"Sebenarnya warga sangat terbebani dengan kondisi seperti ini. Bahkan dulu 
banyak tamu yang menolak minum atau makanan yang kami suguhkan karena masalah 
air ini," katanya.

Kondisi itu tak pelak mengakibatkan banyak warga setempat yang terserang 
penyakit, terutama diare, karena tidak ada air bersih. Anak-anak juga kerap 
terserang gatal-gatal serta berbagai penyakit kulit lainnya. 

Tokoh masyarakat Desa Bararawa Junaedi menuturkan, warga luar yang masuk dan 
tinggal di Danau Panggang pasti akan mengalami nasib serupa yaitu terkena 
penyakit kulit. 

Air keruh yang bercampur dengan berbagai limbah rumah tangga dan kotoran ternak 
tersebut ternyata tidak hanya menyerang manusia. "Pernah ada bebek yang dibeli 
dari daerah lain kalau diturunkan ke air pasti akan sakit," katanya. 

Di tepi Danau Panggang juga terlihat masih banyak warga yang menggunakan air 
rawa untuk berbagai keperluan mereka. Misalnya, mencuci, mandi, dan bahkan 
untuk minum.

Ketiadaan air bersih di wilayah itu sebenarnya sangat ironis, mengingat letak 
Danau Panggang tidak terlampau terisolasi. Dari Kota Banjarmasin hingga ibu 
kota kecamatan dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat selama lima jam, dan 
dengan kondisi jalan yang beraspal mulus. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan 
dengan perahu kelotok sekitar dua jam untuk menjangkau wilayah itu.

Danau Panggang selama ini dikenal sebagai daerah rawa-rawa penghasil kerbau 
rawa (Bubalis carabanensis). Ada 23 desa di kecamatan itu, di mana sebagian 
besar warga mengandalkan air rawa untuk keperluan sehari-hari.

Hampir separuh dari desa-desa itu berada di kawasan hamparan rawa. Penduduk 
setempat sebagian besar merupakan petani ikan keramba, nelayan rawa, dan 
peternak kerbau rawa. 

Desa Bararawa dan Paminggir, merupakan desa paling ujung di pedalaman rawa Hulu 
Sungai Utara, berjarak sekitar 31 kilometer dari daratan. 

Jamiyah, warga Desa Sapala, mengaku sudah terbiasa meminum air sungai dan 
merasa kebal. Meskipun demikian, dia tetap mendambakan suatu saat dapat 
menikmati air bersih, layaknya air PDAM yang dinikmati warga lain. 

"Kalau ditanya apakah warga ingin air bersih, ya tentu mau. Tapi, untuk saat 
ini mungkin masih mimpi," kata warga lainnya Ismet.

Desa Sapala juga termasuk desa terpencil di perairan rawa-rawa, sekitar 20 km 
dari pelabuhan Danau Panggang. Desa ini hanya dapat dijangkau dengan 
menggunakan transportasi air, sekitar 1 jam jika menggunakan perahu kelotok. 

Sebenarnya ada titian ulin, semacam pematang yang bisa dilalui kendaraan roda 
dua, dengan lebar tak lebih dari satu meter dan panjangnya mencapai 17 km, 
untuk membantu mobilitas warga. Tetapi sebagian besar kondisinya sudah rusak 
berat, sehingga sulit dilewati. [W-12/H-14]

Reply via email to