http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009111106551061

      Rabu, 11 November 2009 
     
      OPINI 
     
     
     
Demokrasi, Bukan Aristokrasi 

      Ari Darmastuti

      Dosen FISIP Universitas Lampung

      Membaca tulisan Prof. Sudjarwo yang berjudul Hilangnya Rasa Malu (Lampung 
Post, Senin 9 November 2009), saya terbujuk untuk menulis artikel sebagai 
tanggapan atas isi tulisan tersebut. Berikut adalah tanggapan saya atas tulisan 
tersebut.

      Tulisan Prof. Sudjarwo dapat diperinci menjadi beberapa bagian. Bagian 
pertama adalah argumen bahwa kesalahan pejabat publik adalah aib pribadi 
pejabat yang bersangkutan. Argumen kedua menyatakan bahwa membeberkan kesalahan 
pejabat di media massa berarti adalah membeberkan aib pejabat di muka umum. 
Argumen ketiga adalah bahwa rakyat harus percaya adanya pemimpin yang 
bijaksana. Argumen terakhir adalah bahwa pemimpin yang bijaksana selalu dapat 
bertindak secara cepat dan tepat. Saya menyebut keseluruhan argumen yang 
dibangun sebagai pembelaan atas prinsip-prinsip aristokrasi.

      Tanggapan atas argumen pertama: aib pejabat publik. Kesalahan pejabat 
publik dalam kasus kriminalisasi KPK yang diberitakan media massa bukanlah 
kesalahan dalam ranah privat. Dugaan kriminalisasi KPK, dugaan suap, korupsi, 
pernyataan palsu sama sekali bukan urusan privat, tetapi kesalahan dalam ranah 
publik. Hal ini berbeda misalnya dengan dugaan melakukan perselingkuhan, 
melakukan poligami, memakai narkoba, suka dugem, dan lain-lain yang memang 
dimensinya bersifat pribadi.

      Kalau benar terjadi kriminalisasi KPK, bagaimana mungkin hal ini kita 
anggap urusan aib pejabat yang bersifat pribadi. Ini jelas kesalahan yang 
berakibat terhadap masyarakat luas. Ini bukan soal memalukan atau tidak 
memalukan, melainkan soal kebenaran atau pembohongan publik yang bisa berakibat 
pada terhambatnya agenda publik yang sangat penting, dalam hal ini 
pemberantasan korupsi. Rakyat bisa memaafkan kesalahan pejabat yang bersifat 
pribadi (lihak kasus poligami oleh Bung Karno, perselingkuhan Bill Clinton 
dengan Monica Lewinsky), tetapi tidak bisa memaafkan kesalahan pejabat yang 
bersifat publik (lihat skandal Watergate, kesalahan mantan Presiden Soeharto).

      Argumen kedua: membeberkan kesalahan pejabat berarti membeberkan aib 
pejabat. Pemaparan media massa atas kesalahan-kesalahan pejabat publik untuk 
urusan yang bersifat publik sama sekali bukan pembeberan aib pejabat, melainkan 
bagian dari proses kontrol yang merupakan keharusan dalam sistim politik 
demokratis. Rakyat berhak tahu atas tindakan pejabat yang berakibat terhadap 
masyarakat. Sangat berbahaya kalau hal ini justru disembunyikan, karena rakyat 
tidak akan pernah tahu tindakan sebenarnya dari para pejabat. Jika memang para 
pejabat mempunyai kelakuan yang memalukan karena salah dan potensial merugikan 
masyarakat, rakyat berhak tahu. Dan hal ini harus diketahui masyarakat.

      Idealnya kontrol publik dilakukan DPR. Namun, kita sendiri memahami bahwa 
DPR sama sekali tidak dapat diharapkan untuk melakukan fungsi kontrol dalam 
upaya pemberantasan korupsi karena DPR sendiri justru ketakutan akan menjadi 
target KPK. Sebab itu, media massa bersama masyarakat sebenarnya telah 
menggantikan fungsi DPR dengan menjadi corong aspirasi masyarakat yang 
tersumbat oleh DPR. Tidak ada yang salah dengan tindakan media massa dalam hal 
ini, kecuali jika media massa menyebarkan fitnah. Saya juga melihat bahwa media 
massa sudah berupaya melakukan upaya cover both sides dengan mengakomodasi 
argumen-argumen pihak-pihak yang bertentangan.

      Tulisan Prof. Sudjarwo menjadi sangat menarik karena mengambil ilustrasi 
negara dalam pewayangan, khususnya dengan mengambil karakter baik, adil, 
bijaksana dari para pejabat kerajaan dalam pewayangan tersebut. Ide ini 
meruapakan bentuk ideal negara aristokrasi yang mendasarkan diri pada argumen 
bahwa kaum bangsawan merupakan "para titisan dewa", dipenuhi rasa welas asih 
kepada rakyat, mempunyai rasa malu yang tebal untuk melakukan kesalahan, dan 
selalu bertindak bijaksana, cepat, dan tepat untuk kepentingan rakyat. Argumen 
ini telah lebih dari satu abad ditinggalkan.

      Aristokrasi ini mirip dengan teokrasi dalam hal teokrasi didasari argumen 
bahwa para pemimpina negara adalah "wakil Tuhan di dunia" karena merupakan 
keturunan para nabi atau dianggap mempunyai "sifat-sifat ketuhanan". Keduanya 
telah ditolak. Para pemimpin di mana pun di dunia ini adalah manusia biasa yang 
sudah berkali-kali terbukti sangat potensial melanggar hak-hak rakyat. 
Kekuasaan cenderung korupsi, dan kekuasaan absolut sudah pasti akan korupsi 
(power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely), kata Lord 
Acton lebih dari seabad lalu. Aristokrasi dan teokrasi yang merupakan 
pengejawantahan dua bentuk pemerintahan yang bertumpu pada kekuasaan pemimpin 
semata sudah pasti korupsi.

      Argumen keempat: para pemimpin adalah manusia bijaksana yang bertindak 
atas dasar rasa malu, cepat, dan tepat sesuai kebutuhan masyarakat. 
Kenyataannya kita tidak lagi memiliki pemimpin yang mempunyai sifat-sifat 
kenegarawanan, alih-alih kenabian dan keilahian. "Filsuf Raja", "The God King" 
semata-mata menjadi terminologi masa lalu. Para pemimpin adalah manusia yang 
penuh dengan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, sehingga tidak lagi 
bisa bertindak bijaksana, cepat, dan tepat.

      Lihat saja upaya pengungkapan kasus Bank Century yang sangat sulit. Kasus 
ini oleh banyak pihak diduga terkait dengan kepentingan satu kekuatan politik 
tertentu. Saya secara pribadi tidak memiliki informasi apa pun tentang benar 
tidaknya dugaan ini. Tetapi kasus ini sangat layak dibuka ke publik karena 
berkenaan dengan dana publik yang begitu besar. Sampai sekarang upaya ini masih 
belum jelas nasibnya karena adanya keengganan pihak-pihak yang diduga sarat 
kepentingan dengan kasus ini. Para pemimpin bukanlah orang-orang arif 
bijaksana, mereka manusia biasa yang sungguh-sungguh sudah terbukti punya 
banyak kelemahan dan kepentingan sehingga tidak bisa atau paling tidak 
terhalang untuk bertindak bijaksana, cepat, dan tepat.

      Sebagai penutup artikel ini, saya membatin, Prof. Sudjarwo mungkin 
berpikir bahwa saya adalah wong Jowo yang sudah kehilangan kebijakan Jawa 
tentang rasa malu. Saya memang tidak keberatan kehilangan sifat "kejawaan" saya 
kalau "kejawaan" itu dimaknai sebagai sifat malu mengungkap kesalahan pejabat 
publik. Menutupi kesalahan (apalagi kesalahan pejabat publik dalam ranah 
publik) berarti kita tidak akan pernah belajar dari kesalahan.

      Saya justru malu memiliki pemimpin yang kelakuannya memang 
sungguh-sungguh memalukan, bukan malu oleh bagaimana media mengungkap kelakuan 
para pejabat tersebut. Saya malu melihat bagaimana para pejabat bersumpah atas 
nama Tuhan, padahal dokumen menunjukkan dugaan sangat kuat atas fakta 
kebalikannya. Semoga kasus pengungkapan upaya kriminalisasi KPK merupakan pil 
sangat pahit yang akan membawa bangsa kita menuju baldatun thoyibatun wa robun 
ghofur.
     

<<bening.gif>>

Reply via email to