Refleksi: SBY atas nama  pemerintah rezim NKRI tidak meminta maaf kepada rakyat 
Aceh atas kekejaman yang dilakukan oleh TNI?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=132437


Pesantren Korban Konflik Aceh
Agar Dendam Tak Lagi Membara


Bocah itu baru berumur delapan tahun, duduk di kelas III sekolah dasar. Tapi ia 
sudah menyimpan dendam kesumat. Tengoklah cita-citanya: ingin menjadi anggota 
GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Alasannya? "Mau tembak tentara, karena tentara 
tembak ayah saya," ucap bocah bernama Alfisyahri itu dengan geram, ketika 
berbincang dengan wartawan Gatra, beberapa waktu lalu, di Dayah (pondok 
pesantren) Markaz al-Islah al-Aziziyah, Banda Aceh.

Alfisyahri baru sebulan nyantri di dayah yang terletak di Desa Luengbata, dekat 
dengan kampus Universitas Serambi Mekkah, tersebut. Ayahnya adalah anggota GAM 
yang tewas di tangan TNI ketika Alfisyahri masih balita. Tentu bocah itu tak 
paham bahwa sejak nota kesepahaman (MoU) antara GAM dan Pemerintah RI diteken, 
Agustus 2005 lalu, GAM tak lagi mengangkat senjata. GAM telah menempuh jalur 
politik dengan mendirikan Partai Aceh.

Sikap sang bocah yang masih dibalut dendam itu dimaklumi Tengku Bulqaini 
Tanjong, pemimpin dayah yang menampung anak-anak korban konflik tersebut. 
"Mereka masih anak-anak, belum paham. Yang ada hanya dendam," kata Bulqaini. 
Namun Bulqaini yakin, dalam waktu tak terlalu lama, Alfisyahri akan dapat 
melupakan dendam kesumatnya tadi.

Di Banda Aceh, Bulqaini memang dikenal sebagai tokoh yang peduli dan mampu 
menghapus dendam kesumat di benak anak-anak korban konflik. Lewat dayah yang 
dipimpinnya, puluhan anak dan remaja telah dapat disadarkan agar tak menyimpan 
dendam lagi. Bahkan tidak sedikit santri yang tadinya begitu membenci tentara 
malah berbalik bercita-cita menjadi anggota TNI.

Di Dayah Markaz al-Islah al-Aziziyah, para santri diajari untuk memaafkan dan 
menghilangkan dendam. Markaz al-islah sendiri berarti "sentral perdamaian". 
Metode yang dipakai, selain dengan mendalami agama, ya, dengan cara mendekatkan 
mereka kepada orang yang didendam. Misalnya, pada 2003, Bulqaini ingin 
mendaftarkan Nurfata, seorang santrinya, ke sebuah madrasah tsanawiyah negeri 
di Banda Aceh. Tapi pihak sekolah menolak karena Nurfata anak anggota GAM.

Tengku Bulqaini kemudian meminta bantuan Dandim 0101 Aceh Besar. Akhirnya 
Nurfata diterima bersekolah. "Kami memang bermusuhan dengan ayahnya, tapi kami 
tidak punya urusan dengan anaknya," kata Bulqaini, mengenang perkataan tentara 
utusan Dandim yang mengantarkan Nurfata ke sekolah. Pada saat itu, Nurfata 
adalah salah satu santri yang menaruh dendam besar kepada tentara.

Kepada Nurfata, Tengku Bulqaini menjelaskan bahwa Nurfata diterima di sekolah 
itu berkat bantuan tentara. Tapi ia juga tidak memaksa Nurfata untuk menganggap 
tentara yang membunuh orangtuanya itu tidak jahat. Ketika Nurfata bertanya, 
"Rupanya tentara itu tidak jahat?" Bulqaini menjelaskan, yang jahat itu hanya 
tentara yang membunuh ayah Nurfata, yang lain semuanya baik. Dan akhirnya 
Nurfata bisa menghilangkan dendamnya kepada tentara.

Begitu juga sebaliknya, kepada santri yang orangtuanya menjadi korban GAM, 
Bulqaini punya metode yang hampir sama. Ia mengundang seorang petinggi GAM dan 
menyuruh petinggi GAM itu memeluk si anak. "Si anak bertanya, GAM itu rupanya 
tidak jahat? Saya bilang, yang jahat itu cuma yang membunuh ayah kamu, yang 
lain semuanya baik," tutur Bulqaini.

Cara lain yang dipakai adalah menerima siapa saja yang ingin mengadakan acara 
hajatan di dayah itu, baik dari GAM maupun TNI. Kepada tentara yang datang ke 
tempat itu, ia menunjukkan santri yang orangtuanya dibunuh tentara. Kepada GAM, 
ia menunjukkan santri yang orangtuanya dibunuh GAM. "Saya suruh mereka memeluk 
anak-anak, biar anak itu bisa merasakan kebaikannya," ujar Bulqaini.

Saban hari, kecuali Jumat, santri-santri di dayah itu menjalani aktivitas 
mereka layaknya santri di kebanyakan dayah di Aceh: mengaji dan bersekolah. 
Pengajian dimulai usai salat subuh berjamaah hingga pukul 07.00 WIB. 
Dilanjutkan setelah salat lohor hingga waktu asar. Di malam hari, pengajian 
dimulai setelah salat magrib hingga pukul 21.00 WIB.

Di sela-sela pengajian, disajikan ceramah keagamaan tentang menghilangkan 
dendam. Menanamkan nilai-nilai agama memang menjadi tujuan utama dayah itu. 
"Saya sering bilang, Islam memang memperbolehkan qishash. Namun, dalam Islam, 
memaafkan itu lebih baik dan mulia. Saya juga coba yakinkan mereka bahwa apa 
yang menimpa orangtua mereka itu adalah ajal yang telah ditentukan Allah," kata 
Bulqaini.

Dayah Markaz al-Islah didirikan pada 2001, ketika konflik Aceh memanas. 
Bulqaini merasa terpanggil untuk mendirikan dayah karena prihatin mencermati 
dendam kesumat yang merasuki benak anak-anak malang itu. Bulqaini adalah 
anggota Rabitah Thaliban Aceh, organisasi perhimpunan santri-santri dayah 
salafiah di Aceh.

Awalnya, dayah itu hanya berupa bilik sederhana di atas lahan seluas 1.000 
meter persegi. Jumlah santrinya pada waktu itu hanya 15 orang. Berkat bantuan 
para donatur, dayah itu berkembang pesat. Lahan dan bangunannya juga bertambah 
luas. Endang Suwarya, mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, merupakan salah satu 
donatur yang menyedekahkan tanah seluas 1.200 meter persegi.

Kini Dayah Markaz al-Islah memiliki bangunan dua lantai, yang berdiri di atas 
lahan 7.000 meter persegi. Santrinya berjumlah 150 orang --50 perempuan, 100 
laki-laki. Sebagian besar adalah korban konflik, sebagian lainnya anak-anak 
yatim piatu korban tsunami 2004. Dayah ini mendapat bantuan alakadarnya dari 
Dinas Sosial Aceh, PT Perkebunan Langsa, dan Yayasan Sambinoe pimpinan Darwati 
A. Gani, istri Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

Dengan segala keterbatasannya, Bulqaini bertekad akan terus fokus mengurus 
anak-anak yatim korban konflik Aceh. Ia yakin, usahanya meredam dendam 
anak-anak yatim korban konflik akan berhasil, dan sudah banyak buktinya. 
"Setiap santri yang pertama kali kemari datang dengan dendam. Di sini, 
alhamdulillah, dendam itu bisa diredam," ucap Bulqaini.

Lukman, 14 tahun, adalah salah seorang santri yang kini telah meredam dendam. 
Siswa kelas III SMP itu berasal dari Desa Batee Pila, Kecamatan Nisam, Aceh 
Utara. Pada masa konflik, daerah ini termasuk basis utama gerilyawan GAM. 
Ayahnya meninggal pada 1998. Tiga abang Lukman juga meninggal pada masa 
konflik. Mereka adalah gerilyawan GAM.

Lukman nyantri di dayah itu sejak 2004. Remaja berkulit bersih ini bercita-cita 
menjadi penerbang Angkatan Udara. Ia yakin mampu meraih cita-citanya itu. 
"Sekarang Aceh sudah aman. Tidak ada lagi konflik, sudah bisa bersekolah dengan 
aman, sudah bisa pergi ke mana-mana," kata Lukman penuh syukur.

Qahar Muzakar dan Taufik Alwie
[Astakona, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 12 November 2009] 

<<7.jpg>>

Kirim email ke