Sebuah Percakapan Tentang Kemerdekaan

Oleh Nouval Murzita 

Today at 06:55


Siang itu seorang laki-laki yang berwajah tegas dengan sorot mata
tajam, berjalan menghampiriku. Ia mengulurkan tangannya dan dijabatnya
tanganku dengan keras. “Namaku Tan Malaka.” Begitu ucapnya sambil duduk
di sebelahku. Aku tertegun dan belum sempat menjawab ketika ia kemudian
bilang, “Katanya kamu ingin bertanya banyak padaku?”



Aku mencoba mengingat-ingat wajah seorang yang duduk di sampingku ini.
Bajunya putih bersih dengan garis wajah yang diselimuti kabut. Tan
Malaka, pria yang telah berhasil membuat bangsa ini memiliki keharuman.
Tan Malaka, pria yang telah menuliskan banyak karya raksasa. Tan
Malaka, seorang aktivis pergerakan yang menggoreskan perlawanan dengan
kata-kata lugas.



”Ya aku ingin banyak bertanya dengan anda yang sering disebut-sebut sebagai 
seorang pejuang.” Tanpa ragu aku menjawab.



“Jangan kau sebut aku pejuang kalau apa yang aku dan teman-teman
lakukan kalian sia-siakan.” Dengan muka lugas ia ucapkan kata-kata itu.



Aku terhenyak dan sembari agak menjauh kulihat paras mukanya dari
samping. Tulang pipi yang kurus itu masih menampakkan kerutan yang
teguh. Aku seperti menyaksikan seorang yang tidak pernah bisa
dikalahkan oleh badai.



“Kalian telah menjerumuskan rakyat ini dalam penderitaan. Kulihat
kalian mewarisi sifat-sifat para penjajah. Malah kalian bukan hanya
meniru dengan persis, tapi melebihi apa yang penjajah lakukan dulu.”



Aku masih saja diam mendengar suaranya yang berat dan kering. Ikal
rambutnya yang agak bergelombang dengan sorot mata yang keras itu
membuatku yakin, kalau Tan Malaka adalah aktivis yang tidak pernah
memikirkan kepentingan dirinya sendiri.



“Kusaksikan kalian yang masih muda ini tidak punya keberanian untuk
menentang kesewenang-wenangan. Yang kalian kerjakan tidak seimbang
dengan penderitaan rakyat yang sudah melampaui batas. Kupikir tulisanku
sudah cukup bisa mendorong kalian untuk melakukan tindakan, tapi
ternyata aku keliru.”



Kulihat Tan Malaka menundukkan muka. Matanya menatap tanah hitam di
bawahnya dan kemudian menengokku. Matanya memandang diriku seolah-olah
aku makhluk unik.



“Apa yang kaukerjakan selama ini anak muda?” Begitu tanyanya.



“Aku seorang mahasiswa yang juga aktif dalam dunia gerakan, aku sama 
sepertimu.” Begitu jawabku agak yakin.



Tan Malaka menatapku tampak agak ragu dan berkata: “Ketika aku seusiamu
kujelajahi dunia pengetahuan bukan dengan pesona tapi bertanya. Saat
aku seusiamu kubikin sekolah rakyat yang tidak mengutip bayaran. Aku
ajari anak-anak tiga pelajaran penting, ketrampilan agar mereka menjadi
manusia merdeka, filsafat agar mereka tahu akar pengetahuan dan
berorganisasi agar mereka menjadi bagian dari pergerakan. Sayang
orang-orang kolonial itu menangkapku jauh lebih cepat dari yang kuduga.
Apa yang kaukerjakan sekarang anak muda?”



Agak terkejut aku dengan pertanyaanya yang tajam dan cepat. Kujawab
dengan ragu-ragu “yang kukerjakan diskusi, sesekali aku ikut merancang
demonstrasi dan pernah aku tertangkap polisi gara-gara membakar foto
penguasa. Aku juga ikut mengorganisir rakyat miskin dengan mendampingi
mereka dan memaksa agar parlemen bicara dengan mereka. Kini aku aktif
di salah satu LSM”



Ia tersenyum dan kulihat kabut di wajahnya berangsur-angsur memudar.
Kali ini ia mendekat dan menepuk pundakku. “Dulu aku punya kawan yang
wajahnya mirip denganmu. Namanya Semaun, ia seorang yang pintar dan
berani. Kami bertekad untuk mengangkat harga diri bangsa yang terjajah
ini, tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan dan perlawanan.
Kami berdua bikin sekolah dan aku diajaknya masuk Sarekat Islam. Apa
LSM itu seperti Sarekat Islam?”



Aku tertegun dan bingung memberi jawaban. Sesungguhnya aku sendiri tak
tahu apa yang dikerjakan oleh LSM. Aku kadang disuruh menulis proposal
lalu dibelakangnya ada anggaran dana yang jumlahnya besar sekali.
Sehabis itu aku disuruh mengerjakan training, pelatihan bahkan
pendidikan dengan honor dan biaya yang bisa untuk membeli HP. Tapi aku
malu menjawab pertanyaan Tan Malaka. Malah aku kemudian ganti bertanya,
“apa yang dikerjakan Sarekat Islam?”



Tiba-tiba Tan Malaka memandangku dengan heran. “Aku yakin kamu tak
pernah diberitahu apa itu Sarekat Islam. Inilah kekuatan politik rakyat
yang pertama-tama berteriak lantang melawan para penguasa kolonial.
Kami terdiri dari anak-anak muda sepertimu. Kami ajak rakyat untuk
melawan setiap kesewenang-wenangan. Diberi nama Sarekat Islam, karena
agama ini menolak untuk menjadikan orang menjadi budak. Hal yang
kemudian dikerjakan pula oleh PKI. Kami dulu menjadi anggota Sarekat
Islam sekaligus menjadi anggota PKI. Aku yakin cerita sejarah tentang
itu tak pernah sampai ke telingamu. Zaman sudah banyak berubah dan
kulihat nasib bangsa ini jauh lebih buram. Aku banyak mendengar, kalau
kalian sudah jadi penguasa yang menjajah rakyatnya sendiri. Rakyat itu
kalian jadikan budak. Sekali lagi kalau kupandang muka para penguasa
sekarang ini, aku jadi ingat muka para aparat kolonial dulu”



Aku hanya bisa tertunduk. Kuingat beberapa temanku yang menjadi
politisi curang. Mereka aktivis partai tapi tidak punya gagasan besar
untuk memerdekakan rakyat. Kuingat temanku yang menjadi kaum
profesional yang juga terlibat dalam persekongkolan dengan para
kapitalis.



“Kalian memiliki penguasa diktator yang kejam pada rakyat kecil.
Menggusur tempat tinggal mereka, membuat pendidikan dengan harga yang
mahal dan membebani rakyat kecil dengan ongkos kesehatan yang tinggi.
Beberapa kali kulihat kalian ikut mensukseskan program yang didanai
oleh bantuan asing dengan sikap yang loyal. Jika kausebut dirimu
seorang aktivis perubahan sosial apa yang akan kaukerjakan anak muda?”



Setelah berhenti sejenak ia melanjutkan. “Kaudiamkan seorang pejabat
yang kekayaannya melebihi pendapatan jutaan penduduk miskin. Kaubiarkan
seorang pejabat tinggi bergaji 110 juta per bulan jauh melambung
melebihi UMR buruh. Apa yang selama ini kaulakukan anak muda?”

Lagi-lagi aku terdiam lama sekali. Kuingat-ingat apa yang pernah
kukerjakan selama ini. Ikut dalam solidaritas teman-teman memantau
anggaran. Ikut melakukan pengorganisiran terhadap para pedagang kaki
lima. Ikut serta dalam barisan oposisi menentang militerisme yang
hendak berkuasa. Dan kadang-kadang ikut nimbrung dalam program
demokrasi.



Tan Malaka memandangku dengan rasa iba. Seolah-olah ia tahu kecamuk
pikiran yang kurasakan. Ia berdiri dan menatapku, lalu perlahan-lahan
ia mengucapkan serangkaian kalimat: “Anak muda apa yang kaukerjakan
selama ini memang masih jauh dari kebutuhan rakyat. Kau dikepung oleh
kekuatan kapitalis yang tumbuh dan berpengaruh luas. Kulihat kau
sendiri susah untuk mempertemukan teman-temanmu yang punya komitmen
serupa. Kulihat jumlah kalian yang sangat kecil dengan ikatan disiplin
yang longgar. Anak
muda organisasimu harus belajar banyak dari sejarah Sarekat Islam atau
PKI. Dua kekuatan politik yang dulu mampu mengetahui kebutuhan rakyat. “



Aku tertunduk sembari mencoba merenungkan kata-katanya yang tajam
bagaikan sembilu menusuk hati tersebut. Setelah hening sejenak aku
menatap wajahnya, dan kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan nada
seorang bapak yang sedang menasihati anaknya yang nakal.



“Rasa-rasanya kalian harus baca ulang apa yang kutulis dalam Massa
Aksi, Madilog dan Gerpolek. Pahami pikiran kami bukan dengan pisau
akademik semata melainkan juga dengan pisau gerakan. Pahami semangat
yang melandasi kami semua. Camkan bahwa struktur kapitalis hanya bisa
dilawan dengan kekuatan pengetahuan dan kekuatan pergerakan.
Pengetahuan yang mengabdi pada kepentingan rakyat bukan yang menjadi
alat bagi penguatan sistem produksi kapitalis. Maka senjata gagasan
harus kalian kerjakan lebih dulu. Disitu kulihat kalian malas. Tak
pernah kubaca tulisan kalian yang menggugah dan memberi inspirasi
rakyat untuk melawan. Tak pernahkah dalam benak kalian untuk mendirikan
pendidikan yang baik dan murah untuk melayani rakyat miskin?”



“Anak muda kau adalah tumpuan rakyat miskin, jika kau ingin mengenal,
memahami serta membela mereka, maka yang kaukerjakan hanya satu: hidup
dan hayatilah kehidupan bersama mereka.”

Ia menepuk pundakku dan melangkah pergi. Dari punggungnya kulihat ia
berjalan bergegas. Aku berdiri ingin mengejarnya. Tapi langkah itu
terlalu cepat dan ia menghilang di balik gubuk-gubuk yang baru digusur.
Akh, Tan Malaka semasa hidupnya ia bersama orang miskin dan kini
kutemukan dirinya di tengah perkampungan miskin.



Kampung orang miskin yang jumlahnya sangat padat dan penduduknya
menjadi golongan yang dulu diperjuangkan kemerdekaanya oleh Tan Malaka.
Tan Malaka, bagiku kau adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh
waktu. Menjadi martir untuk sebuah perubahan yang kini memakan korban
anak bangsa sendiri. Andai kau masih di depanku tentu aku hendak
mengatakan



“Ya, kami memang tidak mampu melakukan seperti yang kaukerjakan. Kami
berada dalam lingkungan pendidikan yang busuk. Pendidikan yang tidak
bisa membuat kami dekat dengan penderitaan rakyat. Kami hanya memiliki
sedikit intelektual besar yang mampu menuliskan penderitaan rakyat.
Intelektual kami hanya sibuk dengan urusan perutnya sendiri. Kami juga
tidak memiliki pemimpin gerakan yang berpandangan terbuka, bergerak
progresif dan bisa memahami kebutuhan rakyat. Yang kami punya hanya
pemimpin karbitan, pemimpin yang muncul sekejab dan tidak memiliki
pikiran-pikiran besar yang menjangkau ke arah masa depan. Indonesia
yang dulu kauperjuangkan kini sudah banyak berubah. Negeri ini telah
membiakkan kebusukan: korupsi, perdagangan anak, pembunuhan,
kriminalitas, dan kemiskinan. Tapi kami anak muda, yang ingin berbuat
seperti yang kaulakukan. Kami ingin melawan, melawan, dan terus
melawan. Terhadap penguasa yang diktator, aktivis yang menjadi broker
politik, intelektual yang melacurkan ilmunya, dan preman yang
menggunakan kekerasan pada rakyatnya sendiri. Itu yang ingin dan sedang
kami kerjakan.”
Sumber: 
http://www.facebook.com/profile.php?id=1201851970#/notes/nouval-murzita/sebuah-percakapan-tentang-kemerdekaan/191949327481

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

Kirim email ke