http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/fokus-pengelolaan-hutan-berkelanjutan/
Senin, 07 Desember 2009 14:21 Presiden Direktur Asia Pasific Resources International Limited (APRIL) Indonesia Kartika D Antono Fokus Pengelolaan Hutan Berkelanjutan OLEH: EFFATHA TAMBURIAN Jakarta - Indonesia memiliki hutan tropis sangat luas di dunia, mencapai 120 juta hektare. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang luar biasa yang dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya dan penyumbang devisa besar bagi negara. Akan tetapi, potensi yang besar itu tidak dapat dimanfaatkan tanpa adanya pengelolaan hutan yang baik dan berkesinambungan, sehingga seluruh komponen yang mengisi ekologi dan ekosistem hutan tetap terjaga. Untuk itu, diperlukan manajemen pengelolaan hutan yang sempurna sehingga hutan terbebas dari penjarahan, penusakan, penghancuran, serta kebakaran hutan yang setiap saat mengancam, sebab hutan sesungguhnya merupakan sebuah areal yang terbuka (open access). Presiden APRIL Indonesia Kartika D Antono mengatakan, akses yang terbuka pada hutan menyebabkan semua orang bisa masuk dan melakukan apa saja, sehingga hutan menjadi gundul. Menurutnya, jika tidak dijadikan hutan bagi tanaman industri sebagai bahan baku untuk industri kehutanan, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan penanaman kembali, disebabkan tingginya biaya penanaman. Setelah menanam, hutan juga harus dipelihara dan dijaga untuk pemanenan berikutnya. Itu semua bisa terjadi kalau ada pengembangan model Hutan Tanaman Industri (HTI). Oleh sebab itu, Kartika menegaskan, semua pihak yang bergerak dalam bidang HTI harus fokus melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, atau sustainable forest management (SFM). Pengelolaan hutan berkelanjutan dalam industri kehutanan, khususnya industri pulp and paper, adalah kunci yang akan meng-upgrade banyak hal, sebab industri tidak akan menebang hutan dengan sembarangan, mengalokasikan yang memang untuk konservasi dengan baik, walaupun itu pasti ada biaya ekonominya. Jika itu dilakukan, itu akan baik untuk industrinya sendiri karena bersifat jangka panjang dan berkesinambungan. "Kalau kita main babat maka siklusnya akan pendek, tetapi kalau kita replanting lagi, dialokasikan, sehingga gambutnya tidak kering, airnya tidak kering, water management-nya juga dikelola dengan baik, sehingga itu sangat bagus," jelas Kartika. Selain itu, target Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia juga akan tercapai. Ia mencontohkan konsep ecohydro yang dilakukan di Semenanjung Kampar, berdasarkan studi ilmiah yang telah dilakukan akan menurunkan emisi karbon hingga 50 persen. "Dengan ecohydro ada buffer-nya, aliran air betul-betul diatur sehingga tidak menimbulkan kekeringan di lahan gambut," jelasnya. Untuk mendesain konsep itu, APRIL sudah mengeluarkan biaya yang cukup banyak, bisa mencapai lebih dari 1 juta euro untuk sebuah planning section-nya saja. Model Kampar Ring merupakan model yang kalau diterapkan bisa menjadi model pengelolaan hutan di Indonesia, karena hutan konservasi berada di tengah dan dilindungi oleh hutan industri di sekitarnya, sehingga orang tidak bisa masuk. Kartika mencatat di Kampar dari 56.000 hektare yang dikelola untuk HTI yang ditanami hanya 35.000 hektare, 15.000-an untuk konservasi, dan 5.300 hektare untuk tanaman kehidupan bagi masyarakat. Areal konservasi tersebut lebih dari 40 persen dibandingkan yang ditanam, apalagi kalau yang dikonservasi ditambah untuk masyarakat mencapai lebih dari 20.000 hektare. Ini berarti, 50 persen dari HTI sebenarnya untuk kegiatan lain. "Itu menunjukkan komitmen APRIL sangat besar," tandas Kartika. Masyarakat boleh menanam komoditas apa saja seperti karet, sawit, jamu dan hasilnya tidak perlu dijual kepada PT RAPP (Riau Andalam Pulp and Paper) sebagai anak perusahaan APRIL, meskipun menyediakan areal, tetapi masyarakat memang harus ,dimodali sehingga sebagian bibitnya dibantu dan akhirnya mereka bisa menjadi pengusaha sendiri. Industri Kompetitif Kartika opitimistis industri kehutanan di Indonesia, khususnya industri pulp dan paper, tetap kompetitif dan selalu dapat mendukung devisa negara, sebab orientasinya ekpor dan pengolahan dilakukan di Indonesia, sehingga memberikan nilai tambah yang begitu besar. Dengan demikian, seharusnya didukung oleh semua pihak, tidak hanya Departemen Kehutanan, tetapi juga Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, dan lainnya. Kartika menyebutkan, nilai investasi dari menanam sampai pabriknya, tergantung dari kapasitas pabrik, bisa mencapai belasan triliunan rupiah. Sementara itu, devisa yang disumbang industri pulp and paper, dicontohkannya dari APRIL Indonesia, perputaran penjualan mencapai US$ 1,5 miliar per tahun. Selain itu, Kartika menjelaskan, komitmen APRIL sebagai perwujudan kepatuhan pada pemerintah dalam membangun HTI berdasarkan prinsip 3P yaitu Planet yang menjadi konsederasi kami, People yaitu menciptakan lapangan pekerjaan baik bagi pegawai APRIL maupun community development, dan P ketiga adalah profit. Ketiganya harus ada keseimbangan, sebab APRIL serius dalam melakukan sustainable. Terkait itu, Kartika menandaskan tuduhan bagi industri kehutanan yang semakin gencar menjelang konferensi perubahan iklim (COP) ke-15 di Kopenhagen pekan ini, dapat menganggu pengiriman barang yang berarti menghambat kegiatan ekspor, hingga terjadi kerugian bila gangguan itu terus terjadi. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang berbeda pendapat jangan hanya memuaskan tujuan masing-masing dalam mengkaji sesuatu itu betul atau salah, tidak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga apakah membawa dampak sosial atau manfaat bagi masyarakat, karena bisnis ini menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar hutan. Isu Perubahan Iklim Kartika mengajak para pelaku industri kehutanan melihat isu perubahan iklim sebagai isu global yang harus disikapi. Hal tersebut merupakan bentuk dukungan industri terhadap target pemerintah bahwa Indonesia akan mengurangi emisi karbon sampai 60 persen hingga 2020. Kartika menilai peraturan pemerintah tentang pemberian izin konsesi HTI cukup ketat. Sementara itu, industri memiliki dua pilihan dalam mengelola HTI, yaitu mengikuti ketentuan HTI atau sesukanya. Dahulu, sebelum konsep HTI diatur, orang boleh melakukan penebangan di mana saja, sebab saat itu orang menganggap bahwa hutan milik semua orang. Akan tetapi, dengan adanya HTI sudah diatur yang mana harus menjadi wilayah konservasi, tanaman industri, dan mana yang ditanami tanaman kehidupan. Hal itu membuat hutan-hutan menjadi produktif, terutama hutan-hutan yang sudah dalam kondisi rusak, serta menjadikan hutan produktif sebagai program pemerintah. Menurutnya, jika Semenanjung Kampar dibiarkan karena telah rusak akibat penebangan liar, maka emisi karbonnya menjadi lebih besar, dan semua dunia akan terkena dampaknya. Itu juga dapat dibuktikan secara scientific bahwa dengan pengelolaan Kampar dapat mengurangi emisi karbon. APRIL Indonesia sangat terbuka, ungkap Kartika, namun jika ada perbedaan pendapat sebaiknya dapat dibuktikan secara scientific, bukan dengan prinsip pokoknya tidak setuju yang seharusnya didiskusikan secara terbuka. Prinsip kerja APRIL adalah free and prior concern, sehingga apa pun yang terkait dengan masyarakat tidak ada yang ditutupi. Secara scientific, APRIL juga telah dinilai oleh NGO internasional seperti WWF, Carbopeat, Proforest, Wetlands International, termasuk University of Leicester Inggris, Universitas Wageningen Belanda, dan IPB. Kartika mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, kontribusi perusahaan (Riaupulp) sejak 1999-2005 terhadap output perekonomian makro Riau mencapai Rp 17,4 triliun, menyumbang fiskal bagi penerimaan negara sekitar Rp 873,09 miliar di mana 22,81 persen atau Rp 199,15 miliar bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia, serta dampak community development, yaitu membangun 287 kilometer jalan dan 12 unit jembatan dengan total biaya sekitar US$ 6,85 juta. n