Ralat
Refleksi : Bagaimana rumah sakit bisa berpihak kepada rakyat kalau negara yang 
diciptakan berpenguasa tidak memihak kepada rakyat?? Bukan saja rumah sakit, 
bidang pendidikan  dsb pun demikian halnya. 


http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/rumah-sakit-belum-berpihak-pada-rakyat-miskin/

Senin, 21 Desember 2009 12:44 
Rumah Sakit Belum Berpihak pada Rakyat Miskin


Jakarta - Rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, belum ramah 
terhadap warga dan pasien miskin. 

     
Hal ini terbukti dengan banyaknya keluhan pasien miskin, terutama dari kelompok 
perempuan, terhadap pelayanan rumah sakit. 


Demikian kesimpulan yang ­diper­oleh melalui survei Citizen Report Card (CRC) 
Indonesia Corruption Watch  (ICW) pada bulan November 2009, yang disampaikan 
Ade Irawan, Koor­di­nator Divisi Monitoring Pelayan­an Publik di Jakarta, akhir 
pekan lalu.


Keluhan tersebut, antara lain ter­kait dengan buruknya pelayanan perawat, 
sedikitnya kunjungan ­dokter pada pasien rawat inap, serta lamanya pelayanan 
oleh tenaga kesehatan (apoteker dan petugas laboratorium). Selain itu, pasien 
juga mengeluhkan buruknya kualitas ­toilet, tempat tidur, ma­kanan pasien dan 
rumitnya ­pengurusan administrasi, serta mahalnya harga obat.


Survei ini mengambil sampel 738 pasien miskin (pasien rawat inap dan jalan yang 
memegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas), Keluarga Miskin 
(Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di 23 rumah sakit yang ada di 
lima daerah, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Dengan jumlah 
sampel ini, diprediksi margin of error (MOE) sebesar 3-4 persen. Metode 
penari­kan sampel menggunakan two stage random sampling with pps.

Rumit
Ade mengungkapkan, pasien miskin menyatakan bahwa pengurus­an administrasi 
rumah sakit masih rumit dan berbelit-belit (28,4 persen) dan dengan antrean 
yang panjang (46,9 persen). Pasien rawat inap misalnya mengeluhkan rendahnya 
kunjungan dan disiplin dokter terhadap mereka. Sementara itu, pasien perempuan 
rawat inap mengeluhkan sikap ­pera­wat yang kurang ramah dan ­simpatik terhadap 
mereka (65,4 persen).


Hasil survei CRC juga menunjukkan, masih ada pasien miskin pemegang kartu 
jaminan kesehatan, seperti Jamkesmas, Gakin dan SKTM, harus membeli obat (22,1 
persen). Hal ini dilakukan karena sebagian obat tidak masuk daftar yang dijamin 
oleh jaminan kesehatan dan habisnya stok obat rumah sakit. 


Meski telah mendapatkan layanan rumah sakit, namun pasien miskin ternyata juga 
menghadapi kendala mendapatkan kartu jaminan kesehatan. Hal ini terjadi karena 
rumitnya persyaratan administrasi dan adanya berbagai pungutan untuk 
mendapat­kan keringanan atau berobat gratis.


Dari 738 pasien miskin, 7,9 persen di antaranya mengaku dipungut biaya untuk 
mendapatkan kartu jaminan kesehatan. Besarnya biaya tersebut cukup variatif, 
bergantung jenis kartu. Pasien Jamkesmas mengeluarkan biaya rata-rata sebesar 
Rp 345.000, pasien Gakin Rp 101.000 dan pasien SKTM Rp 89.000.


Untuk itu, Ade memberikan saran dibukakan mekanisme keluhan atau pengaduan 
(complain mechanism), serta menindaklanjuti keluhan ­terse­but secara 
transparan dan bertanggung jawab, sesuai Pasal 36 dan 37 UU No 25 Tahun 2009 
tentang Pelayanan Publik.


Menteri Kesehatan (Menkes) juga diminta untuk segera membentuk Badan Pengawas 
Rumah Sakit, sebagaimana diatur dalam UU Rumah Sakit. Badan ini diharapkan 
mampu mengawasi pelayanan rumah sakit dan pemenuhan hak-hak pasien, serta 
mengambil tindakan administratif ­terhadap rumah sakit yang memberikan 
pelayanan buruk terhadap pasien miskin. Berdasarkan UU Rumah Sakit, Menkes 
dapat mengambil tindakan berupa peringatan ­tertulis, pencabutan izin sementara 
atau izin tetap. (heru guntoro)

Kirim email ke