http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009122802084855
Senin, 28 Desember 2009 OPINI NUANSA: Pemiskinan Politik PETANI tengah sibuk menghadapi berbagai kesulitan yang datang menyerbu tak henti. Kemarau, banjir, hama tikus, dan belalang mengancam tanaman padi. Ada juga tetelo dan flu burung yang mematikan ribuan ternak. Rakyat kecil kemudian mesti pula menerima cobaan berupa berbagai penyakit semacam deman berdarah, malaria, AIDS, dan sebagainya. Di sisi yang sangat bertolak belakang, kaum elite politik, pejabat negeri/daerah, dan politikus menyibukkan diri dengan urusan mereka sendiri. Kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh terlalu menggiurkan dilewatkan begitu saja. Itu barangkali lebih riil ketimbang harus turun ke bawah melihat sendiri penderitaan masyarakat kecil. Saat rakyat menderita menemui berbagai musibah yang datang beruntun dan tak henti, legislator malah sibuk memperjuangkan uang pengabdian, uang jasa, uang terima kasih, uang kehormatan atau uang apa pun yang diatur atau tidak diatur perundang-undangan. Mamak Kenut membatin, bagaimana mungkin pejabat dan politisi itu lupa dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang masih menghinggapi kebanyakan masyarakat negeri ini? Bagaimana mungkin mereka tega melakukan itu semua tanpa merasa harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan dan tanpa melihat apa akibat kelakuan mereka? Kritik tetaplah banyak, tetapi hampir sama sekali tak berarti. Koruptor, manipulator, dan berbagai pelaku kejahatan besar atau kecil tetap saja berkeliaran. "Keadilan begitu mudah dibeli; dengan kuasa atau harta. Hukum tak berarti banyak. Ini riil. Bukan semata tudingan-tudingan, semacam gerundelan orang yang sering dituding karena belum kebagian, bicaranya keras. Ada apa sih?" tanya Mat Puhit. Barangkali itu terjadi karena orang biasa berpikir monokausal; melihat masalah hanya dari satu sebab langsung tanpa mempertimbangkan berbagai dimensinya (Franz Magnis-Suseno). Dengan pendekatan ini dengan gampang kita akan berkata orang mencopet karena ia jahat, orang korupsi karena kebutuhan, orang berunjuk rasa karena benci, orang mengkritik karena iri, dan seterusnya. Kalau itu penyebabnya, kita barangkali tak perlu repot-repot, ambil tindakan represif dengan mengerahkan polisi, bahkan militer atau otoritas tertentu. Namun, tentu saja tindak itu sering jauh dari esensi menyelesaikan masalah. Sebab, sangat boleh jadi di balik sebuah tindakan terkandung banyak hal tidak akan mungkin diselesaikan dengan cara-cara instan seperti itu. Sebaliknya, dengan melihat satu hal dari suatu masalah, hanya menambah kusut masalah. Kebiasaan menghadapi masalah dengan monokausal ini merupakan bentuk pendangkalan dan pemiskinan politik. Model pendekatan ini adalah adik kandung pragmatisme yang mewarnai mentalitas dan cara berpikir produk sistem pendidikan yang menghendaki hasil segera. Sebenarnya, pragmatisme positif. Paham ini menyatakan sesuatu dikatakan baik jika memecahkan masalah tanpa terjerumus dalam perdebatan yang kontraproduktif. Tapi, pragmatisme menjadi otoriter ketika menafikan perdebatan teoretis, diskusi tentang nilai, perdebatan ideologis atau diskusi tentang prioritas hanya demi mengejar hasil segera. "Kita ini suka meremehkan segala sesuatunya. Alah gampang. Kalau sudah begitu, terabas aja semua. Etika, moral, nilai, norma, kepantasan, bahkan peraturan perundang-undangan tak berarti apa-apa. Begitukah?" tanya Udien. Induh! n ZULKARNAIN ZUBAIRI
<<bening.gif>>