================================================= THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia." ================================================= [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia Quotient] Memyambut TAHUN BARU 1 Januari 2010 "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Gus Dur Telah Pergi Senin, 4 Januari 2010 | 02:53 WIB Oleh: Franz Magnis-Suseno Meskipun tahu bahwa Gus Dur sakit-sakitan, saat kemarin Tuhan mengatakan, ”Gus, sudah cukup!”, mengagetkan juga. Banyak dari kita, khususnya tokoh dan umat berbagai agama di Indonesia, merasa kehilangan. Kita menyertai arwahnya dengan doa-doa kita agar ia dengan aman, gembira, dan pasti terheran-heran dapat sampai ke asal-usulnya. Betapa luar biasa Abdurrahman Wahid, Gus Dur kita ini! Seorang nasionalis Indonesia seratus persen, dengan wawasan kemanusiaan universal. Seorang tokoh Muslim yang sekaligus pluralis dan melindungi umat- umat beragama lain. Enteng-enteng saja dalam segala situasi, tetapi selalu berbobot; acuh-tak acuh, tetapi tak habis peduli dengan nasib bangsanya. Orang pesantren yang suka mendengarkan simfoni-simfoni Beethoven. Rahasia Gus Dur adalah bahwa ia sama sekali mantap dengan dirinya sendiri. Ia percaya diri. Ia total bebas dari segala perasaan minder. Karena ia tidak pernah takut mengalah kalau itu lebih tepat, ia tidak takut kehilangan muka (dan karena itu memang tak pernah kehilangan muka), dan ia juga tidak gampang tersinggung karena hal-hal sepele. Gus Dur berhati terbuka bagi semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Umat-umat minoritas merasa aman padanya. Gus Dur membuat mereka merasa terhormat, ia mengakui martabat mereka para minoritas, para tertindas, para korban. Tak perlu defensif Ada yang tidak mengerti mengapa Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama minoritas, tetapi sering keras terhadap agamanya sendiri. Namun, Gus Dur demikian karena ia begitu mantap dalam agamanya. Karena itu, ia tidak perlu defensif dan tidak takut bahwa agamanya dirugikan kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda. Apakah Gus Dur seorang demokrat? Ia sendiri sebenarnya lebih menyerupai kombinasi antara kiai dan raja Jawa. Namun, ia seorang demokrat dalam arti yang lebih mendalam. Ia betul-betul meyakini dan menghayati hak-hak asasi manusia. Ia tidak tahan melihat seseorang terinjak martabatnya, ia menentang kekejaman atas nama apa pun. Bagi saya, Gus Dur mewujudkan Islam yang percaya diri, positif, terbuka, ramah. Dengan demikian, ia memproyeksikan gambar yang positif tentang Islam. Dan, kalau pada kunjungan negara ia menyalami kepala negara lain dengan lelucon, mereka menyadari bahwa presiden Muslim ini seorang humanis dan warga dunia. Bahwa karier politik aktif Gus Dur kontroversial berkaitan juga dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat melihat. Keterbukaannya tidak pernah berubah. Apa yang tinggal sesudah Gus Dur pergi? Sekurang-kurangnya dua. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama yang dirintisnya akan berkembang terus. Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis, dan cerdas; modal bagus bagi masa depan bangsa. Yang dirintis Gus Dur akan berjalan terus. Nevertheless, Gus, we will miss you. Resquiescat in pace. Franz Magnis-Suseno Rohaniwan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Kompas, 4/1/10 IN MEMORIAM Diplomasi Frans Seda Senin, 4 Januari 2010 | 03:29 WIB Tidak ada yang keliru saat Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Frans Seda agar lebih baik beristirahat. Maklum, Frans Seda saat itu sudah berusia 81 tahun. Beliau juga sudah duduk di kursi roda pula. Namun, keinginan Frans Seda yang disampaikan kepada Wapres Kalla untuk membantu menyelesaikan utang Indonesia di Dana Moneter Internasional atau IMF itu adalah bagian dari semangat diplomasi yang kuat dan andal dalam diri Frans Seda. Pria bernama lengkap Franciscus Xaverius Seda ini mencatat sukses dalam misi diplomasi yang diembannya. Masih segar dalam ingatan, bagaimana pria sederhana kelahiran Lekebai, Kabupaten Sikka, Flores, ini mengisahkan misi diplomasinya menghindari perang pembebasan Irian Jaya yang kini dikenal dengan Papua. Saat wawancara dengan beliau guna mempersiapkan artikel ”Lebih Jauh dengan Frans Seda”, berkenaan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70 pada 4 Oktober 1996, Frans Seda mengisahkan bagaimana dia memainkan peran diplomasi ke Belanda guna melunakkan Pemerintah Belanda saat itu yang tetap tak mau menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia. ”Angkatan Darat pernah menugaskan saya, tahun 1962, menyelesaikan Irian Jaya (Barat),” ujarnya bersemangat saat ditemui di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Frans Seda selalu berapi-api jika menceritakan perannya menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Saat itu Pemerintah Amerika Serikat, di bawah Presiden John F Kennedy, mengajukan upaya perdamaian yang dikenal dengan Plan Bunker. ”Kita sudah setuju Plan Bunker dari Kennedy untuk menyelesaikan soal Irian Jaya, tapi Belanda belum. Bersama ABRI dan Nasution (Jenderal Abdul Haris Nasution), kita mencari jalan. Saya lalu dikirim ke Belanda untuk diplomasi,” tegasnya. Plan Bunker intinya meminta Indonesia dan Belanda agar mengupayakan jalan damai bagi penyelesaian Irian Jaya. John F Kennedy mengutus adiknya, Robert Kennedy, ke Jakarta pada Februari 1961 untuk menyampaikan rencana ini, tetapi Pemerintah Belanda saat itu tetap menolak. Menlu Belanda Joseph Luns (1952-1971) paling keras menolak. Karena Frans Seda saat itu tokoh Partai Katolik di Indonesia, mula-mula pembicaraan dilakukan dengan Partai Katolik di Belanda yang juga partai berkuasa. ”Tapi mereka tidak mau menerima, apalagi pemerintah. Menlu Belanda Joseph Luns saat itu juga melarang semua menteri menemui saya. Saya bilang, terserah,” ujar Frans Seda. Frans Seda hanya mengatakan, ”Saya datang untuk menyatakan kalau kamu tidak menerima rencana itu, terjadi perang. Dan kalau terjadi perang, kau yang salah, kau yang harus pikul darah orang-orang yang mati.” Saat itu Indonesia memiliki sejumlah kapal perang, kapal selam, pengebom, dan pesawat tempur mutakhir buatan Uni Soviet. Pada 2 Januari 1962, Komando Mandala untuk membebaskan Irian Jaya sudah dibentuk. Panglimanya Brigjen TNI Soeharto (kemudian Presiden Soeharto) yang saat itu menjabat Deputi KSAD Wilayah Indonesia Timur. Pada hari ke-10, Partai Katolik Belanda rapat dan membicarakan masalah Plan Bunker dan akan mengusulkan ke kabinet. ”Saya bilang, tanggal 19 Mei saya masuk Indonesia dari Singapura. Kalau bisa, saya dapat kabar sebelum itu karena harus lapor kepada Bung Karno,” ujar Frans Seda. Dari sana Frans Seda ke Roma (Italia), bertemu dengan Menlu Vatikan. ”Saya bilang bila Belanda tidak menerima Plan Bunker, berarti perang. Vatikan bila dengar soal pembunuhan amat responsif,” tutur Frans Seda. Pendekatan sebagai sesama Katolik dimanfaatkan. Pulang ke Singapura. Pada 18 Mei 1962 malam, telepon berdering. ”Frans, dengar siaran radio Pemerintah Belanda semalam? Pemerintah Belanda menerima rencana itu.” Tiba di Jakarta, Frans Seda langsung ke Istana dan bertemu dengan Jenderal Achmad Yani. Saat Frans Seda bertemu dengan Achmad Yani, datang Mayjen Soeharto. Sebagai Panglima Komando Mandala, pangkat Soeharto dinaikkan satu tingkat. ”Ia marah karena di luar diberitakan soal Irian ini kemenangan diplomasi Deplu,” ujar Frans Seda yang untuk pertama kalinya bertemu dengan Soeharto. Tapi Achmad Yani langsung bilang, ”E... nanti dulu Pak Harto. Ini orangnya. Yang menjalankan diplomasi bukan mereka, tetapi kita. Ini orangnya di sini. Jangan kecil hati.” Frans Seda hanya berdiam diri saat ditunjuk Jenderal Achmad Yani. Achmad Yani menegaskan, ini kemenangan tentara, walau di bidang diplomasi. ”Bukan kemenangan Subandrio,” ujar Frans Seda mengutip Achmad Yani. Subandrio adalah Menteri Luar Negeri yang ketika itu bertolak belakang secara politik dengan tentara. Frans Seda sudah berpulang kepada Sang Pencipta 31 Januari 2009. Pertanyaan terakhir pada wawancara itu, apa yang dilakukan Pak Frans jika diperkenankan mengulang hidup lagi. Dengan tertawanya yang khas, Frans Seda menjawab, ”Pertama, saya akan kawin lagi dengan istri yang sama, ha-ha-ha.... Kedua, bila diberi kesempatan, saya akan kembali turut mengatur negara ini sebab bangsa ini bangsa yang baik. Bila ditangani orang baik, akan bagus. Ketiga, coba lagi menjadi Katolik, ha-ha-ha..., jadi Katolik yang lebih baik.” Frans Seda menikahi Yohanna Maria Pattinaya pada 11 Mei 1961 di Jakarta. Frans gemar menonton tonil yang salah satu bintangnya adalah sang istri. Terima kasih Pak Frans Seda. (Pieter P Gero) Kompas, 4/1/10. -------- Semaian dan tebaran pemikiran yang dilakukannya dengan tekun, gigih dan sepenuh hati.... telah tumbuh subur, berkembang memenuhi hati, jiwa rakyat dan bangsanya bagi proses kemajuan bangsa Indonesia, bahkan terasa hingga ke penjuru dunia. Jasa dan teladannya tak akan usang diterpa zaman, bagaikan permata2 yang indah, terus bercahaya menyertai langkah kehidupan, di setiap generasi bangsanya. Terima kasih para pahlawan bangsa, suri tauladan senantiasa telah engkau tunjukkan. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. Best Regards, Retno Kintoko Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] Sedia Bibit Ikan Patin
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3